KH. Syamsuri Brabo, Tanggung Harjo, Grobogan
– Jawa Tengah
Kiai Syamsuri Brabo dan Kitabnya
TAHUN 1960, lantai masjid Al-Muhajirin di
Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Tanggung Harjo-Grobogan, Jawa Tengah, rusak
berat. Pengasuh pesantren Kiai Syamsuri risau, karena masjid tersebut pusat
syiar Islam. Di sanalah santri dan warga masyarakat berkumpul, untuk
sembahyang, ngaji, rapat desa dan sebagainya.
Suatu hari, sang kiai mengutarakan
kerisauannya di depan santri dan masyarakat. Intinya, ia menyampaikan bahwa
lantai masjid harus segera diperbaiki, dan ia ingin kayu milik Masjid Desa
Jragung Demak lama menjadi pengganti lantai masjidnya. Dana terkumpul, dari
iuran santri dan jariyah warga Desa Brabo. Tapi belum cukup.
Akhirnya, Kiai Syamsuri ambil “jalan pintas”, yakni menjual kitab Syarah Bukhori setebal 12 jilid kepada Anwar, kala itu pemilik toko Toha Putera di Semarang. Namun, sang kiai bilang kepada Anwar bahwa kitab ini jangan dijual dulu kepada orang lain, karena suatu saat, dirinya akan datang: membeli kembali Syarah Bukhori kesayangannya ini.
Beberapa waktu kemudian, Anwar dikunjungi
Kiai Hamid Kajoran Magelang. Biasalah, rumah pemilik toko kitab ada kitab-kitab
aneka macam yang tertata rapi. Kiai Hamid pun biasa melihatnya. Tapi hari itu,
mata Kiai Hamid tampak terpesona dengan setumpuk kitab teronggok. Tak lain,
kitab itu Syarah Bukhori milik Anwar yang dibeli dari Kiai Syamsuri. Kiai Hamid
tambah tertarik dengan kitab itu, karena setelah dibuka, semuanya telah diberi
makna dengan rapi dan bagus.
“Kang Anwar, buatku saja ya kitab ini,” begitu kira-kira Kiai Hamid meminta. Karena yang meminta Kiai Hamid, maka kitab tadi diberikan secara cuma-cuma.
Lain waktu, Kiai Hamid Kajoran dikunjungi
kiai muda bernama A. Baidhowi. Kedua kiai kita ini akrab, hangat, dan saling
menghormati. Karena lama tidak berjumpa, Kiai Hamid meminta tamunya menginap.
Dalam perbincangannya, Kiai Hamid cerita:
“Gus Dhowi, aku punya kitab.”
“Kitab nopo, Kiai.”
“Syarah Bukhori. Aku minta dari Toha Putra.
Tetapi, kitab itu akan saya hadiahkan untuk Sampeyan.”
“Waduh, matur suwun, Kiai.” Tapi Kiai Hamid
tidak memberi secara cuma-cuma. Ia meminta mahar dari Kiai Baidhowi.
Malamnya, tuan rumah mempersilakan sang tamu untuk istirahat di kamar pribadinya, di lantai dua. Namun penghormatan Kiai Hamid malah bikin tamunya tidak bisa tidur. Kiai Baidhowi merasa rikuh, di kamar bawah ada kiai yang dihormatinya.
Paginya, Kiai Hamid mengutarakan mahar keinginkannya. Kiai Baidhowi, demi kitab yang disenanginya, menyanggupi mahar.
“Mahar pertama, doakanlah semua anak
keturunanku suka dengan tamu,” kata Kiai Hamid mulai menyebutkan keinginannya.
“Mahar kedua, doakan semua anak cucuku bisa
haji,” lanjutnya.
“Mahar terakhir,” kata Kiai Hamid, “doakan anak cucuku suka mengaji.”
Dengan rikuh dan keterkejutan yang masih tersimpan, Kiai Baidhowi yang masih mudah berdoa di hadapan Kiai Hamid yang lebih sepuh dan sangat dihormatinya itu. Setelah semuannya selesai, sang tamu pamitan.
Kemudian, Kiai Baqoh Arifin, putra Kiai Hamid, mengantarkan tamunya sampai terminal Magelang, atas perintah ayahandanya.
Diceritakan, dalam perjalanan kitab Syarah Bukhori sempat jatuh. Sesampainya di kediamannya, Pesantren Sirojuth-Tholibin, Brabo, Kiai Baidhowi langsung menemui ayahandanya, Kiai Syamsuri, memberikan kitab yang dikasih Kiai Hamid.
Kiai Syamsuri kaget, ternyata kitab itu adalah kitab yang dulu dijual kepada Anwar . Sambil menangis, ia langsung memeluk kitab tadi. Lalu memeluk Kiai Badhowi, yang tak lain adalah putranya sendiri. Sang anak bingung, “Wonten nopo, Pak?”
***
Kiai Syamsuri lahir pada tanggal 21 April
1906, di Desa Tlogogedong Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Bapaknya bernama KH Dahlan bin Nolo Khoiron, imam dan pemuka agama di desanya.
Kakek Syamsuri adalah lurah di Sambak Wonosekar, Demak.
Kehadiran Syamsuri muda di Brabo bermula dari permintaan dua tokoh agama di Brabo Mbah Idris dan Mbah Hasan Hudori, kepada Kiai Syarqowi Tanggung Tanggungharjo. Keduanya meminta kepada Kyai Sarqowi agar “menanamkan” santrinya di desa Brabo. Kyai Syarqowi menunjuk santrinya yang bernama Syamsuri, yang tak lain menantunya, untuk mengabdi dan mengembangkan Islam di Brabo.
Kiai Syamsuri berdakwa dengan pelan-pelan. Pengajian bandongan kecil-kecilan digelar di serambi masjid. Sembari mengetahui seluk beluk warga Brabo, ia berkunjung ke rumah warga. Sifat sabar dan keuletannya, Kiai Syamsuri berhasil mendapat simpati masyarakat Brabo. Akhirnya, jangkauan pengajiannya hingga ke luar desa, dan jama’ah pengajian di serambi masjid makin ramai.
Melihat makin bertambahnya santri, masyarakat mengusulkan untuk mendirikan pesantren. Berdirilah pondok pesantren, dengan nama Sirojuth Tholibin, tahun 1941.
Nama pesantren, selain bermakna lentera penerang para penuntut ilmu, juga dalam rangka “menempelkan kitab” bernama Sirojuth Tholibin karya Syekh Muhammad Ihsan Jampes Kediri. Istilahnya, tabarukan. Kitab Sirajuth Thalibin adalah syarah atas kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghozali.
Syamsuri suka belajar agama. Syamsuri kecil sudah ngaji akidah, fiqih, Al-Qur’an. Guru pertamanya ayahnya sendiri, KH Dahlan.
Selanjutnya, ia belajar kepada KH Abdur Rohman di Tlogogedong Demak Jawa Tengah. Ia juga belajar kepada Kiai Irsyad Gablog dan nyantri di Mangkang sertai KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng.
Syamsuri muda pernah belajar ngaji Shohih Bukhori dan Shohih Muslim kepada Kiai Hasan Asy’ari di Poncol Bringin Salatiga. Tempat lain yang pernah disinggahi Syamsuri untuk belajar adalah Pesantren Tegalsari, Bringin Salatiga, asuhan Kiai Tholhah.
Di antara ulama yang seangkatan dengan Kiai Syamsuri adalah KH Muslih Mranggen Demak. Bahkan, keduanya sama-sama alumni Pondok Tanggung, di bawah asuhan Kiai Syarqowi.
Ada sebuah kisah tentang Kiai Syamsuri dan Kiai Muslih. Kiai Muslih pernah meminjam kitab Shohih Bukhori kepada Kiai Syamsuri. Lalu, Kiai Syamsuri meminjamkan kitab tersebut dengan mengutus muridnya, Shobari, untuk membawanya ke Mranggen. Konon Shobari membawa kitab tadi dengan dipikul memakai kayu.
Tokoh lain yang seangkatan adalah KH Arwani Kudus (hubungan dalam thoriqoh), KH. Shodaqoh, ayah dari KH Haris Shodaqoh, pengasuh PP Al Itqon Gugen Semarang), KH Nawawi Bringin Slatiga, dan KH Ihsan Brumbung Mranggen Demak.
Dalam hal tarekat, Kiai Syamsuri mengambil sanad dari Kiai Syarqowi, tepatnya tarekat Naqsabandiyah Kholidiyyah. Namun ia tidak diangkat menjadi mursyid, meski kadang ditunjuk sebagai badal. Sebab, Kiai Syamsuri diarahkan untuk lebih berkonsentrasi pada pendidikan santri di pesantren.
Kiai Syamsuri berpulang ke Rahmatullah, bakda Magrib, malam Rabu, 23 Shofar, bertepatan dengan 4 Oktober 1988.
Ditulis ulang oleh Hamzah Sahal dari dan atas
seizin www.Sirojuth-Tholibin.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar