Ramadhan, Benarkah Bulan
Penuh Barakah Bagi Umat Islam?
Oleh: Zainuddin*
Indonesia pantas mendapatkan acungan jempol
dengan pemeluk agama Islam yang mayoritas. Mereka layak berbangga hati karena
sampai saat ini, agama Islam bisa eksis dalam percaturan dunia global. Di saat
paradigma pragmatis-materialistis menghegemoni laju kehidupan, agama, khususnya
Islam tetap menjadi naungan yang bisa menyejukkan bangsa Indonesia. Hal ini
menjadi bukti kongkret bahwa nilai spiritualitas tidak bisa ditukar dengan
“kue” materialisme yang cenderung melupakan manusia akan moralitas.
Bagi umat Islam, kekokohan dan konsistensi
mereka terhadap ajaran agama bisa diketahui dari perilaku dan amalan
sehari-hari. Ibadah sebagai pemenuhan kewajiban menjadi simbol ketaatan mereka
kepada Allah. Puasa misalnya, yang diidentikkan dengan upaya signifikan untuk
melawan dan mengekang hawa nafsu, dipandang sebagai salah satu ibadah yang
sangat mulia. Oleh karena itu, bulan puasa dipersepsikan suci alias bulan yang
maha agung. Cara pandang ini mendasari pemahaman mereka terhadap urgensi
melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan di
bulan yang penuh barakah ini.
Namun, anggapan di muka bisa saja menjadi
pemahaman yang tidak match dengan realitas umat Islam ketika nilai intrinsik
puasa tidak diperhitungkan. Apa lagi, Indonesia, dengan segala problematika
kebangsaannya, hampir tidak mencerminkan negara yang didiami oleh komunitas
muslim. Maraknya praktik KKN, kriminalitas, penipuan, hujat-menghujat, dan
segala bentuk prilaku yang berlawanan dengan spirit puasa, terposisikan sebagai
tradisi buruk yang membudaya. Fenomena ini terjadi secara terus-menerus tanpa
terkecuali bulan suci Ramadhan sehingga banyak umat Islam yang hanya bisa
menikmati kekecewaan pada bulan ini. Dengan demikian, paradigma bahwa bulan
puasa merupakan bulan yang penuh berkah perlu dikaji sehingga pandangan ini tidak
hanya berbentuk mindset yang jauh dari hakikat kebenarannya di lapangan.
Konsep Sunnah dan Fenomena Sosial
Begitu banyak hadis nabi yang membahas
tentang puasa. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan imam Bukhari dari Abu
Hurairah, “ketika bulan Ramadhan tiba, pintu surga dibuka”, begitu juga “ketika
bulan Ramadhan tiba, pintu langit dibuka, pintu neraka dikunci dan
syetan-syetan dibelenggu”.
Dua hadis di muka cukup representatif kiranya
untuk menyatakan bahwa Ramadhan merupakan bulan penuh rahmat dan berkah. Dengan
terbukanya pintu surga, umat Islam meyakini bahwa bulan Ramadhan tidak lain
kecuali waktu yang bertaburan kebaikan. Dengan terkuncinya pintu neraka, umat
Islam bisa berbangga hati karena merasa aman dari ancaman gulapan api yang ganas.
Dengan terbelenggunya syetan, terbangun persepsi bahwa umat Islam bebas ke mana
saja karena musuh besar (syetan) telah dikerangkeng sehingga tidak bisa
menggoda dan bahkan mengganggu mereka lagi.
Seolah-olah rasul menyampaikan pesan yang
menjadi jaminan bagi keselamatan dan kebahagiaan umat Islam dengan hadirnya
puasa. Beban kehidupan tersisihkan sehingga yang tampak hanyalah harapan
prospektif untuk menjadi pemangku kehidupan penuh pesona. Seakan-akan Tanpa ada
keraguan bahwa setiap orang bisa melakukan kebaikan dengan optimal karena Allah
telah membentangkan fasilitas dan sarana yang kondusif untuk berbuat kebaikan.
Hadis di depan juga didukung oleh hadis nabi
berikutnya yang juga diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Abu Hurairah bahwa
“siapa saja yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan motif iman dan tulus (karena
Allah), diampunilah segala dosa yang berlalu”. Hadis ini memberikan anggapan
yang semakin kuat bahwa puasa Ramadhan bisa meleburkan segala dosa yang telah
dilakukan. Dengan pemahaman sederhana, mereka memandang bahwa Ramadhan
merupakan ajang permohonan maaf dengan “sekadar” puasa.
Sepintas, bisa dimaklumi bahwa keyakinan umat
Islam atas kebenaran hadis nabi tidak perlu dipersoalkan. Apalagi, di dalam
Al-Qur’an, hadis nabi diposisikan sebagai sumber hukum yang wajib diimani dan
diikuti. Penentangan terhadap hadis berarti tindakan konfrontatif terhadap
Al-Qur’an. Bisa dipahami dengan jelas bahwa sikap semacam itu merupakan
perbuatan yang melawan Allah. Oleh kareana itu, orang yang melawan sunnah nabi
adalah orang yang akan mendapatkan ancaman kecelakaan.
Akan tetapi, persoalan puasa dengan segala
keutamaannya yang telah dikemukakan tidak sesederhana yang dikira oleh
mayoritas muslim. Hal ini tampak ketika konsep tersebut dihadapkan dengan
realitas umat Islam pada umumnya. Yang menjadi titik permasalahan di sini
adalah kesesuaian umat Islam yang mengaku melaksanakan puasa dengan idealitas
puasa itu sendiri sebagaimana yang diajarkan oleh rasul. Dengan ungkapan
sederhana, mendapatkan ampunan dan surga-Nya tidak semudah membalik telapak
tangan.
Kalau memang ampunan dan surga-Nya merupakan
jaminan bagi semua umat Islam yang berpuasa, sepertinya ini kurang etis bagi
muslim yang berpuasa, tetapi melakukan kemaksiatan dalam segala bentuknya.
Kemaksiatan jelas-jelas perbuatan yang dilarang oleh Allah. Orang yang melakukannya
diancam dengan neraka sehingga kemungkinan untuk mendapatkan ampunan ilahi bagi
orang tersebut sangat kecil, meskipun dia berpuasa. Merupakan sebuah
kemustahilan bahwa hal yang paradoksal bisa menyatu dalam waktu yang bersamaan.
Lebih-lebih, bentuk kemaksiatan yang dilakukan merugikan orang banyak seperti
tindak KKN di Indonesia yang membuat puluhan juta jiwa menderita hingga mereka
kehilangan hak-haknya. Kiranya, tidak pantas orang semacam itu mendapatkan
ampunan Allah, apalagi menikmati surga dengan mudah karena yang dilakukan
jelas-jelas berlawanan dengan spirit puasa pada kakikatnya.
Hakikat puasa
Dalam Q.S. 2: 183, dinyatakan bahwa puasa
merupakan upaya untuk meraih ketakwaan. Kemudian, dalam Q.S. 2: 177, dijelaskan
dengan definitif bahwa ketakwaan bernuansa vertikal dan horizontal. Ketakwaan
yang merupakan pelaksanakan segala perintah Allah dan tindakan menjauhi segala
larangan-Nya, diidealkan sebagai tujuan tak terpisahkan dengan puasa.
Pernyataan itu meniscayakan adanya limitasi perseptual tentang puasa sehingga
tidak sebarang puasa yang bisa dikatagorikan sebagai puasa yang sebenarnya.
Universalitas ajaran Islam tetap menjadi
persyaratan pokok yang teraplikasikan dalam benar tidak-nya kegiatan puasa.
Puasa Ramadhan bukanlah harga mati yang pasti berisi ampunan dan surga.
Dialektika antara umat Islam selaku pelaku puasa dengan Ramadhan itu sendiri
menjadi parameter buah yang akan dihasilkan. Laksana sebuah barang elektronik
dengan embel-embel high-tech. Bagi orang yang tidak bisa memanfaatkannya,
barang itu hanya akan menjadi hiasan yang disfungsional, bahkan hanyalah barang
rongsokan yang tidak bernilai. Tetapi, bagi yang bisa memanfaatkannya dengan
baik, akan didapatkan faedah dan kegunaan yang sangat berguna.
Ketika kriminalitas, penipuan dan segala
bentuk kemaksiatan lainnya menyertai puasa seseorang, bisa dipastikan bahwa
puasanya sebatas formalitas pemenuhan kewajiban semata. Tidak makan dan tidak
minum hanya menjadi tempat pelindungannya dari tuntutan menjalankan puasa.
Penampakan kebaikan secara lahiriah saja dimanfaatkan sebagai ajang untuk
menciptakan perisai kehormatan supaya tidak dianggap munafik. Tidak sedikit
orang yang melakukan puasa hanya karena demi tujuan menghindari kritik sosial
sehingga alasan penghianatan hati nuranilah yang tepat menjadi predikat orang
semacam ini.
Meskipun demikian, orang semacam itu
mengklaim diri mereka sebagai salah satu orang yang berhak menjadi golongan
hamba Allah yang akan mendapatkan janji kegembiraan-Nya. harapannya didasarkan
pada pemahaman ajaran Islam yang dangkal sehingga miskonsepsi dan mispersepsi
menjeratnya ke dalam kebodohan pada hakikatnya. Dia tidak sadar bahwa ternyata
perilakunya sendiri yang berupa kebohongan dan penghianatan, merupakan bom
waktu yang sengaja diciptakan untuk meluluh-lantakkan amal baik dirinya
sendiri. Tiadalah nilai bagi puasanya kecuali hanya sekadar menahan lapar dan
dahaga.
Tipe yang seperti ini tidak sejalan dengan
hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukahri di muka kalau dikaji dengan seksama.
Salah satu hadis itu meniscayakan keimanan dan ketulusan sebagai kualifikasi
dan criteria untuk mendapatkan ampunan serta surga Allah. Keimanan dan
ketulusan mengindikasikan keikhlasan dan pemasrahan diri kepada Allah semata.
Pemasrahan ini berimplikasi pada ketundukan yang total di bawah supremasi
hukum-Nya yang direfleksikan dalam kitab suci-Nya. Ajaran kebaikan dan
kebenaran menjadi prioritas yang tersimpul di dalamnya sehingga berbuat baik
kepada sesama, mengamalkan amal shaleh serta menghambakan diri kepada Allah
semata, merupakan inti ajaran-Nya yang terkukuhkan. Inilah kira-kira inti
ketulusan yang dipesankan lewat sabda nabi di depan. Dengan demikian, kandungan
hadis itu bersifat holistik yang tidak bisa dipisahkan dengan universalitas
ajaran Al-Qur’an.
*Dewan musyrif di pesantren mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Aktif di Forum Komunikasi Santri Surabaya (FoKSA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar