Rabu, 25 Juli 2012

(Ngaji of the Day) Ramadhan, Benarkah Bulan Penuh Barakah Bagi Umat Islam?


Ramadhan, Benarkah Bulan Penuh Barakah Bagi Umat Islam?

Oleh: Zainuddin*



Indonesia pantas mendapatkan acungan jempol dengan pemeluk agama Islam yang mayoritas. Mereka layak berbangga hati karena sampai saat ini, agama Islam bisa eksis dalam percaturan dunia global. Di saat paradigma pragmatis-materialistis menghegemoni laju kehidupan, agama, khususnya Islam tetap menjadi naungan yang bisa menyejukkan bangsa Indonesia. Hal ini menjadi bukti kongkret bahwa nilai spiritualitas tidak bisa ditukar dengan “kue” materialisme yang cenderung melupakan manusia akan moralitas.



Bagi umat Islam, kekokohan dan konsistensi mereka terhadap ajaran agama bisa diketahui dari perilaku dan amalan sehari-hari. Ibadah sebagai pemenuhan kewajiban menjadi simbol ketaatan mereka kepada Allah. Puasa misalnya, yang diidentikkan dengan upaya signifikan untuk melawan dan mengekang hawa nafsu, dipandang sebagai salah satu ibadah yang sangat mulia. Oleh karena itu, bulan puasa dipersepsikan suci alias bulan yang maha agung. Cara pandang ini mendasari pemahaman mereka terhadap urgensi melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan di bulan yang penuh barakah ini.



Namun, anggapan di muka bisa saja menjadi pemahaman yang tidak match dengan realitas umat Islam ketika nilai intrinsik puasa tidak diperhitungkan. Apa lagi, Indonesia, dengan segala problematika kebangsaannya, hampir tidak mencerminkan negara yang didiami oleh komunitas muslim. Maraknya praktik KKN, kriminalitas, penipuan, hujat-menghujat, dan segala bentuk prilaku yang berlawanan dengan spirit puasa, terposisikan sebagai tradisi buruk yang membudaya. Fenomena ini terjadi secara terus-menerus tanpa terkecuali bulan suci Ramadhan sehingga banyak umat Islam yang hanya bisa menikmati kekecewaan pada bulan ini. Dengan demikian, paradigma bahwa bulan puasa merupakan bulan yang penuh berkah perlu dikaji sehingga pandangan ini tidak hanya berbentuk mindset yang jauh dari hakikat kebenarannya di lapangan.



Konsep Sunnah dan Fenomena Sosial



Begitu banyak hadis nabi yang membahas tentang puasa. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan imam Bukhari dari Abu Hurairah, “ketika bulan Ramadhan tiba, pintu surga dibuka”, begitu juga “ketika bulan Ramadhan tiba, pintu langit dibuka, pintu neraka dikunci dan syetan-syetan dibelenggu”.



Dua hadis di muka cukup representatif kiranya untuk menyatakan bahwa Ramadhan merupakan bulan penuh rahmat dan berkah. Dengan terbukanya pintu surga, umat Islam meyakini bahwa bulan Ramadhan tidak lain kecuali waktu yang bertaburan kebaikan. Dengan terkuncinya pintu neraka, umat Islam bisa berbangga hati karena merasa aman dari ancaman gulapan api yang ganas. Dengan terbelenggunya syetan, terbangun persepsi bahwa umat Islam bebas ke mana saja karena musuh besar (syetan) telah dikerangkeng sehingga tidak bisa menggoda dan bahkan mengganggu mereka lagi.



Seolah-olah rasul menyampaikan pesan yang menjadi jaminan bagi keselamatan dan kebahagiaan umat Islam dengan hadirnya puasa. Beban kehidupan tersisihkan sehingga yang tampak hanyalah harapan prospektif untuk menjadi pemangku kehidupan penuh pesona. Seakan-akan Tanpa ada keraguan bahwa setiap orang bisa melakukan kebaikan dengan optimal karena Allah telah membentangkan fasilitas dan sarana yang kondusif untuk berbuat kebaikan.



Hadis di depan juga didukung oleh hadis nabi berikutnya yang juga diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Abu Hurairah bahwa “siapa saja yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan motif iman dan tulus (karena Allah), diampunilah segala dosa yang berlalu”. Hadis ini memberikan anggapan yang semakin kuat bahwa puasa Ramadhan bisa meleburkan segala dosa yang telah dilakukan. Dengan pemahaman sederhana, mereka memandang bahwa Ramadhan merupakan ajang permohonan maaf dengan “sekadar” puasa.



Sepintas, bisa dimaklumi bahwa keyakinan umat Islam atas kebenaran hadis nabi tidak perlu dipersoalkan. Apalagi, di dalam Al-Qur’an, hadis nabi diposisikan sebagai sumber hukum yang wajib diimani dan diikuti. Penentangan terhadap hadis berarti tindakan konfrontatif terhadap Al-Qur’an. Bisa dipahami dengan jelas bahwa sikap semacam itu merupakan perbuatan yang melawan Allah. Oleh kareana itu, orang yang melawan sunnah nabi adalah orang yang akan mendapatkan ancaman kecelakaan.



Akan tetapi, persoalan puasa dengan segala keutamaannya yang telah dikemukakan tidak sesederhana yang dikira oleh mayoritas muslim. Hal ini tampak ketika konsep tersebut dihadapkan dengan realitas umat Islam pada umumnya. Yang menjadi titik permasalahan di sini adalah kesesuaian umat Islam yang mengaku melaksanakan puasa dengan idealitas puasa itu sendiri sebagaimana yang diajarkan oleh rasul. Dengan ungkapan sederhana, mendapatkan ampunan dan surga-Nya tidak semudah membalik telapak tangan.



Kalau memang ampunan dan surga-Nya merupakan jaminan bagi semua umat Islam yang berpuasa, sepertinya ini kurang etis bagi muslim yang berpuasa, tetapi melakukan kemaksiatan dalam segala bentuknya. Kemaksiatan jelas-jelas perbuatan yang dilarang oleh Allah. Orang yang melakukannya diancam dengan neraka sehingga kemungkinan untuk mendapatkan ampunan ilahi bagi orang tersebut sangat kecil, meskipun dia berpuasa. Merupakan sebuah kemustahilan bahwa hal yang paradoksal bisa menyatu dalam waktu yang bersamaan. Lebih-lebih, bentuk kemaksiatan yang dilakukan merugikan orang banyak seperti tindak KKN di Indonesia yang membuat puluhan juta jiwa menderita hingga mereka kehilangan hak-haknya. Kiranya, tidak pantas orang semacam itu mendapatkan ampunan Allah, apalagi menikmati surga dengan mudah karena yang dilakukan jelas-jelas berlawanan dengan spirit puasa pada kakikatnya.



Hakikat puasa



Dalam Q.S. 2: 183, dinyatakan bahwa puasa merupakan upaya untuk meraih ketakwaan. Kemudian, dalam Q.S. 2: 177, dijelaskan dengan definitif bahwa ketakwaan bernuansa vertikal dan horizontal. Ketakwaan yang merupakan pelaksanakan segala perintah Allah dan tindakan menjauhi segala larangan-Nya, diidealkan sebagai tujuan tak terpisahkan dengan puasa. Pernyataan itu meniscayakan adanya limitasi perseptual tentang puasa sehingga tidak sebarang puasa yang bisa dikatagorikan sebagai puasa yang sebenarnya.



Universalitas ajaran Islam tetap menjadi persyaratan pokok yang teraplikasikan dalam benar tidak-nya kegiatan puasa. Puasa Ramadhan bukanlah harga mati yang pasti berisi ampunan dan surga. Dialektika antara umat Islam selaku pelaku puasa dengan Ramadhan itu sendiri menjadi parameter buah yang akan dihasilkan. Laksana sebuah barang elektronik dengan embel-embel high-tech. Bagi orang yang tidak bisa memanfaatkannya, barang itu hanya akan menjadi hiasan yang disfungsional, bahkan hanyalah barang rongsokan yang tidak bernilai. Tetapi, bagi yang bisa memanfaatkannya dengan baik, akan didapatkan faedah dan kegunaan yang sangat berguna.



Ketika kriminalitas, penipuan dan segala bentuk kemaksiatan lainnya menyertai puasa seseorang, bisa dipastikan bahwa puasanya sebatas formalitas pemenuhan kewajiban semata. Tidak makan dan tidak minum hanya menjadi tempat pelindungannya dari tuntutan menjalankan puasa. Penampakan kebaikan secara lahiriah saja dimanfaatkan sebagai ajang untuk menciptakan perisai kehormatan supaya tidak dianggap munafik. Tidak sedikit orang yang melakukan puasa hanya karena demi tujuan menghindari kritik sosial sehingga alasan penghianatan hati nuranilah yang tepat menjadi predikat orang semacam ini.



Meskipun demikian, orang semacam itu mengklaim diri mereka sebagai salah satu orang yang berhak menjadi golongan hamba Allah yang akan mendapatkan janji kegembiraan-Nya. harapannya didasarkan pada pemahaman ajaran Islam yang dangkal sehingga miskonsepsi dan mispersepsi menjeratnya ke dalam kebodohan pada hakikatnya. Dia tidak sadar bahwa ternyata perilakunya sendiri yang berupa kebohongan dan penghianatan, merupakan bom waktu yang sengaja diciptakan untuk meluluh-lantakkan amal baik dirinya sendiri. Tiadalah nilai bagi puasanya kecuali hanya sekadar menahan lapar dan dahaga.



Tipe yang seperti ini tidak sejalan dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukahri di muka kalau dikaji dengan seksama. Salah satu hadis itu meniscayakan keimanan dan ketulusan sebagai kualifikasi dan criteria untuk mendapatkan ampunan serta surga Allah. Keimanan dan ketulusan mengindikasikan keikhlasan dan pemasrahan diri kepada Allah semata. Pemasrahan ini berimplikasi pada ketundukan yang total di bawah supremasi hukum-Nya yang direfleksikan dalam kitab suci-Nya. Ajaran kebaikan dan kebenaran menjadi prioritas yang tersimpul di dalamnya sehingga berbuat baik kepada sesama, mengamalkan amal shaleh serta menghambakan diri kepada Allah semata, merupakan inti ajaran-Nya yang terkukuhkan. Inilah kira-kira inti ketulusan yang dipesankan lewat sabda nabi di depan. Dengan demikian, kandungan hadis itu bersifat holistik yang tidak bisa dipisahkan dengan universalitas ajaran Al-Qur’an.


*Dewan musyrif di pesantren mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Aktif di Forum Komunikasi Santri Surabaya (FoKSA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar