Rukyat Internasional dan
Khilafah Tidak Logis
Dalam Muktamar ke-30 Nahdlatul Ulama di
Pondok Pesantren Lirboyo tahun 1999, rukyat internasional menjadi salah satu
agenda bahasan Bahtsul Masail Diniyah. Permasalahannya adalah apakah boleh
penentuan awal bulan qamariyah atau hijriyah, khususnya Ramadhan, Syawal dan
Zulhijjah, didasarkan atas rukyat internasional?
Dengan pendekatan fiqh, muktamirin memutuskan
bahwa penggunaan rukyat internasional untuk penentuan awal bulan qamariyah
dengan mengenyampingkan batas-batas matla’ dan batas-batas kesatuan wilayah
hukumah (pemerintahan) tidaklah dibenarkan.
Di dalam wacana fiqh, jawaban untuk masalah
ini diwakili oleh dua teori, yakni teori ittifaq al-Matali’ yang disusun oleh
mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, dan teori ikhtilaf al-Matali’ yang dibangun
oleh mazhab Syafi'i. NU, sebagai ormas keagamaan Islam yang akrab dengan
belukar pemikiran fiqh mazhab Syafi'i, tentu saja condong berpegang pada teori
ikhtilaf al-mntali’.
Menurut teori ittifaq al-Matali’, peristiwa
terbit hilal yang dapat dirukyat dari suatu kawasan Bumi tertentu mengikat
seluruh kawasan Bumi lainnya di dalam mengawali dan menyudahi puasa Ramadhan.
Dasarnya ialah bahwa sabda Nabi Muhammad SAW: Sumu liru'yatihi... (berpuasalah
kalian karena melihat hilal), itu ditujukan untukseluruh umat secara umum,
sehingga apabila salah seorang dari mereka telah merukyat hilal, di belahan
Bumi mana pun ia berada, maka rukyatnya itu berlaku juga bagi mereka
seluruhnya.
Sedangkan menurut teori ikhtilaf al-Matali’,
rukyat hilal itu hanya berlaku untuk kawasan rukyat itu sendiri dan untuk semua
kawasan lainnya yang terletak di sebelah baratnya. Sedangkan untuk sebelah
timurnya, rukyat hilal itu hanya berlaku bagi kawasan yang berada di dalam atau
tidak melampaui batas matla’.
Rukyat di suatu kawasan, menurut teori ini,
tidak dapat diberlakukan untuk seluruh dunia karena, pertama, berdasarkan
riwayat Kuraib yang ditakhrij oleh Imam Muslim, bahwa Ibnu Abbas yang tinggal
di Madinah menolak berpegang pada rukyat penduduk Syam kendati telah diisbat
oleh khalifah Mu'awiyah. Ibnu Abbas mengemukakan alasan, Hakadza Amarana
Rasulullah (Begitulah Rasulullah menyuruh kami). Kedua, adanya perbedaan terbit
dan terbenam Matahari di pelbagai kawasan di Bumi menyebabkan tidak mungkin
seluruh permukaan Bumi disamaratakan sebagai satu matila’.
Karena "ajaran" perbedaan matla'nya
inilah, teori ikhtilaf al-Matali’ dengan mudah dipersepsi sebagai biang
terjadinya perbedaan hari dalam memulai maupun mengakhiri puasa Ramadhan di
berbagai kawasan di Bumi. Bahkan, lebih jauh, teori ini pun kemudian dituding
sebagai pemicu perpecahan umat.
Maka, dalam beberapa tahun terakhir ini
muncul di kampus-kampus gerakan untuk memasyarakatkan teori ittifaq al-Matali’
(kesatuan matla’ intemasional) yang diharapkan menjadi jurus pamungkas
pemersatu awal dan akhir Ramadhan di seantero dunia. Malah bila perlu, untuk
menuju kesatuan waktu ibadah tersebut kaum muslimin digalang untuk bersatu di
bawah satu kepemimpinan Islam sejagat (khilafah).
Tapi persoalannya, logiskah perintah Nabi
SAW, Sumu liru'yatihi... itu difahami sebagai dalil yang menghendaki berlakunya
rukyat secara intemasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu
melihatnya dengan pendekatan yang proporsional.
Pertama, kiranya kita sepakat bahwa hadis
kandungan di atas adalah petunjuk tentang penentuan waktu memulai dan
mengakhiri puasa Ramadhan. Karena berkenaan dengan waktu, maka pemahaman akan
implementasinya haruslah menggunakan logika sistem perjalanan waktu, bukan
logika pengertian bahasa.
Kedua, sunnatullah tentang sistem perjalanan
waktu di Bumi adalah bersifat setempat-setempat (lokal), tidak bersifat global.
Waktu di Bumi mengalir dari timur ke barat sejalan dengan aliran siang dan
malam. Kawasan di timur mengalami syuruq dan ghurub Matahari lebih dulu
daripada kawasan di barat. Semakin jauh jarak barat-timur antar kedua kawasan,
semakin besar beda waktu antara keduanya. Maka, orang yang melakukan perjalanan
jauh, melepaskan diri kawasan tinggalnya, akan menghadapi kesulitan-kesulitan
yang berkaitan dengan beda waktu.
Dengan begitu, semua waktu yang disebut di
dalam dalil-dalil syari’at logisnya adalah dipahami sesuai logika sistem
perjalanan waktu di Bumi yang bersifat setempat-setempat itu. Kalau pada saat
ghurub Matahari di Indonesia hilal belum bisa dirukyat, adalah tidak logis
kalau kita kemudian mengikuti rukyatnya orang Mekah. Sama persis tidak logisnya
dengan memahami masuknya waktu Zuhur untuk Indonesia pada kira-kira pukul 4
sore karena mengacu pada “tergelincir Matahari” nya Mekah, atau pada kira-kira
pukul 10 pagi karena mengikuti "tergelincir Matahari"nya Tokyo.
Dari segi lain, sekiranya rukyat intemasional
itu kita pegangi, benarkah ia adalah jurus pamungkas untuk menyatuharikan awal
dan akhir Ramadhan untuk seluruh kawasan di Bumi? Mari kita coba menjawabnya
dengan mengacu pada rambu-rambu kesepakatan berikut ini:
Pertama, bahwa rukyat hilal adalah dasar
pergantian bulan-bulan qamariyah. Kedua, bahwa pola pergerakan Bumi, Bulan, dan
Matahari telah menyebabkan belahan Bumi yang pertama kali mengalami rukyat
hilal selalu berubah-ubah setiap bulan. Ketiga, bahwa umur bulan qamariyah
secara syar’i adalah 29 atau 30 hari. Keempat, bahwa umur tanggal adalah setara
dengan umur hari, yakni 24 jam, karena tidak logis ada tanggal yang umumya
hanya beberapa jam saja. Kelima, bahwa saat pergantian tanggal di dalam
kalender qamariyah adalah pada waktu ghurub Matahari.
Sekarang, mari kita buat ilustrasinya
sebagaimana berikut ini:
Kota Surabaya terletak pada 1120 45' bujur
Timur, dan kota New York pada 740 bujur Barat. Berarti, garis bujur kedua kota
dipisahkan oleh jarak sebesar 1860 45', dan berarti pula keduanya dipisahkan
oleh beda waktu sebesar 12 jarn 27 menit. Jelasnya, ketika Surabaya sudah
mengalami ghurub Matahari pada hari Selasa, misalnya, New York masih mengalami
suasana menjelang terbit Matahari hari Selasa. Ketika New York sendiri kemudian
mengalami ghurub Matahari pada Selasa itu, Surabaya sudah memasuki Rabu pagi.
Sekarang kita andaikan bahwa hari Selasa itu
tadi adalah tanggal 29 Ramadhan. Kalau pada petang hari Selasa itu Surabaya
mengalami rukyat hilal awal Syawal, kemudian berkat kecanggihan teknologi media
informasi berita tentang rukyat itu dalam hitungan menit sudah bisa diterima di
New York, maka di New York ketika itu masih Selasa pagi, dan kaum muslimin di
sana baru memulai puasa untuk hari ke-29. Nah, apa yang harus dilakukan oleh
muslimin New York?
Tentu saja altematifnya hanya ada dua.
Pertama, mereka terus melanjutkan puasanya, karena pergantian tanggal baru akan
terjadi pada saat ghurub Matahari petang harinya nanti (sesuai kesepakatan poin
keempat dan kelima di atas). Dengan demikian, mereka tidak ber-Idul Fitri pada
Selasa itu, melainkan pada Rabu, sama harinya dengan muslimin Malang.
Kedua, mereka langsung membatalkan puasanya
begitu menerima berita rukyat dari Surabaya dan berIdul Fitri pada hari itu
juga. Berarti, puasa mereka hanya 28 hari (menyalahi kesepakatan poin ketiga),
dan Idul Fitri mereka adalah pada hari Selasa (lebih dulu satu hari daripada
Surabaya).
Melihat akibat dari pilihan yang kedua di
atas, seharusnya kita sepakat bahwa kaum muslimin New York wajib mengambil
pilihan yang pertama, yakni melanjutkan puasa mereka pada hari itu, sekalipum
sejak paginya mereka sudah memerima berita rukyat dari Surabaya.
Kalau demikian kesepakatan kita, maka
kesepakatan ini pulalah yang harus diterapkan untuk muslimin Surabaya manakala
yang terjadi adalah sebaliknya. Yakni kalau pada hari Selasa itu muslimin
Surabaya tidak mengalami rukyat hilal, tapi muslimin New York yang
mengalaminya.
Tentu saja, karena sudah merukyat hilal,
muslimin New York ber-Idul Fitri pada Rabu besok harinya. Tetapi muslimin
Surabaya, ketika menerima berita rukyat hilal dari New york, sudah memasuki
hari Rabu pagi dan baru memulai puasa untuk hari ke-30. Sesuai pilihan yang
kita sepakati, mereka harus melanjutkan puasanya, karena pergantian tanggal
baru akan terjadi pada saat ghurub Matahari petang harinya nanti. Dengan demikian,
muslimin Surabaya akan ber- Idul Fitri pada hari Kamis, lebih akhir satu hari
dibanding New York.
Dengan ilustrasi di atas terbukti bahwa bukan
saja pandangan yang menghendaki diberlakukannya rukyat secara internasional itu
tidak logis, tetapi sekiranya diberlakukan juga rukyat internasional itu tidak
menjamin bisa selalu disatuharikannya awal dan akhir Ramadhan untuk seluruh
kawasan di Bumi.
Kesatuan hari awal dan akhir Ramadhan hanya
dimungkinkan terjadi manakala kawasan yang pertama kali merukyat hilal pada
saat ghurub Matahari adalah kawasan yang pertama kali berganti hari, yakni
kawasan yang terletak di sekitar garis bujur 1800 Timur. Dengan demikian,
kawasan-kawasan lain di sebelah baratnya yang mengalami ghurub Matahari lebih
larnbat dari kawasan itu tadi, secara berturut-turut akan memasuki awal bulan
baru pada hari yang sama.
Dengan demilkian, secara syar'i maupun ilmiah
tidaklah relevan menjadikan penyatuan hari ibadah lewat isu rukyat
internasional sebagai inspirasi gerakan penyatuan Islam sedunia di bawah payung
politik satu khilafah. Sebab, sekiranya benar bahwa bahwa dunia Islam kelak
bisa disatukan, maka hanya khalifah yang "naif" sajalah yang akan
menggunakan otoritas politiknya untuk memaksakan penyatuan hari ibadah untuk semua
kawasan tinggal umat Islam di seluruh dunia. Wallahu a’lam.
KH Salam Nawawi
Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar