Kamis, 19 Juli 2012

(Ngaji of the Day) Rukyat Internasional dan Khilafah Tidak Logis


Rukyat Internasional dan Khilafah Tidak Logis



Dalam Muktamar ke-30 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Lirboyo tahun 1999, rukyat internasional menjadi salah satu agenda bahasan Bahtsul Masail Diniyah. Permasalahannya adalah apakah boleh penentuan awal bulan qamariyah atau hijriyah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, didasarkan atas rukyat internasional?



Dengan pendekatan fiqh, muktamirin memutuskan bahwa penggunaan rukyat internasional untuk penentuan awal bulan qamariyah dengan mengenyampingkan batas-­batas matla’ dan batas-batas kesatuan wilayah hukumah (pemerintahan) tidaklah dibenarkan.



Di dalam wacana fiqh, jawaban untuk masalah ini diwakili oleh dua teori, yakni teori ittifaq al-Matali’ yang disusun oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, dan teori ikhtilaf al-Matali’ yang dibangun oleh mazhab Syafi'i. NU, sebagai ormas keagamaan Islam yang akrab dengan belukar pemikiran fiqh mazhab Syafi'i, tentu saja condong berpegang pada teori ikhtilaf al-mntali’.



Menurut teori ittifaq al-Matali’, peristiwa terbit hilal yang dapat dirukyat dari suatu kawasan Bumi tertentu mengikat seluruh kawasan Bumi lainnya di dalam mengawali dan menyudahi puasa Ramadhan. Dasarnya ialah bahwa sabda Nabi Muhammad SAW: Sumu liru'yatihi... (berpuasalah kalian karena melihat hilal), itu ditujukan untukseluruh umat secara umum, sehingga apabila salah seorang dari mereka telah merukyat hilal, di belahan Bumi mana pun ia berada, maka rukyatnya itu berlaku juga bagi mereka seluruhnya.



Sedangkan menurut teori ikhtilaf al-Matali’, rukyat hilal itu hanya berlaku untuk kawasan rukyat itu sendiri dan untuk semua kawasan lainnya yang terletak di sebelah baratnya. Sedangkan untuk sebelah timurnya, rukyat hilal itu hanya berlaku bagi kawasan yang berada di dalam atau tidak melampaui ­batas matla’.



Rukyat di suatu kawasan, menurut teori ini, tidak dapat diberlakukan untuk seluruh dunia karena, pertama, berdasarkan riwayat Kuraib yang ditakhrij oleh Imam Muslim, bahwa Ibnu Abbas yang tinggal di Madinah menolak berpegang pada rukyat penduduk Syam kendati telah diisbat oleh khalifah Mu'awiyah. Ibnu Abbas mengemukakan alasan, Hakadza Amarana Rasulullah (Begitulah Rasulullah menyuruh kami). Kedua, adanya perbedaan terbit dan terbenam Matahari di pelbagai kawasan di Bumi menyebabkan tidak mungkin seluruh permukaan Bumi disamaratakan sebagai satu matila’.



Karena "ajaran" perbedaan matla'nya inilah, teori ikhtilaf al-Matali’ dengan mudah dipersepsi sebagai biang terjadinya perbedaan hari dalam memulai maupun mengakhiri puasa Ramadhan di berbagai kawasan di Bumi. Bahkan, lebih jauh, teori ini pun kemudian dituding sebagai pemicu perpecahan umat.



Maka, dalam beberapa tahun terakhir ini muncul di kampus-kampus gerakan untuk memasyarakatkan teori ittifaq al-Matali’ (kesatuan matla’ intemasional) yang diharapkan menjadi jurus pamungkas pemersatu awal dan akhir Ramadhan di seantero dunia. Malah bila perlu, untuk menuju kesatuan waktu ibadah tersebut kaum muslimin digalang untuk bersatu di bawah satu kepemimpinan Islam sejagat (khilafah).



Tapi persoalannya, logiskah perintah Nabi SAW, Sumu liru'yatihi... itu difahami sebagai dalil yang menghendaki berlakunya rukyat secara intemasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihatnya dengan pendekatan yang proporsional.



Pertama, kiranya kita sepakat bahwa hadis kandungan di atas adalah petunjuk tentang penentuan waktu memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan. Karena berkenaan dengan waktu, maka pemahaman akan implementasinya haruslah menggunakan logika sistem perjalanan waktu, bukan logika pengertian bahasa.



Kedua, sunnatullah tentang sistem perjalanan waktu di Bumi adalah bersifat setempat-setempat (lokal), tidak bersifat global. Waktu di Bumi mengalir dari timur ke barat sejalan dengan aliran siang dan malam. Kawasan di timur mengalami syuruq dan ghurub Matahari lebih dulu daripada kawasan di barat. Semakin jauh jarak barat-timur antar kedua kawasan, semakin besar beda waktu antara keduanya. Maka, orang yang melakukan perjalanan jauh, melepaskan diri kawasan tinggalnya, akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan beda waktu.



Dengan begitu, semua waktu yang disebut di dalam dalil-dalil syari’at logisnya adalah dipahami sesuai logika sistem perjalanan waktu di Bumi yang bersifat setempat-setempat itu. Kalau pada saat ghurub Matahari di Indonesia hilal belum bisa dirukyat, adalah tidak logis kalau kita kemudian mengikuti rukyatnya orang Mekah. Sama persis tidak logisnya dengan memahami masuknya waktu Zuhur untuk Indonesia pada kira-kira pukul 4 sore karena mengacu pada “tergelincir Matahari” nya Mekah, atau pada kira-kira pukul 10 pagi karena mengikuti "tergelincir Matahari"nya Tokyo.



Dari segi lain, sekiranya rukyat intemasional itu kita pegangi, benarkah ia adalah jurus pamungkas untuk menyatuharikan awal dan akhir Ramadhan untuk seluruh kawasan di Bumi? Mari kita coba menjawabnya dengan mengacu pada rambu-rambu kesepakatan berikut ini:



Pertama, bahwa rukyat hilal adalah dasar pergantian bulan-bulan qamariyah. Kedua, bahwa pola pergerakan Bumi, Bulan, dan Matahari telah menyebabkan belahan Bumi yang pertama kali mengalami rukyat hilal selalu berubah-ubah setiap bulan. Ketiga, bahwa umur bulan qamariyah secara syar’i adalah 29 atau 30 hari. Keempat, bahwa umur tanggal adalah setara dengan umur hari, yakni 24 jam, karena tidak logis ada tanggal yang umumya hanya beberapa jam saja. Kelima, bahwa saat pergantian tanggal di dalam kalender qamariyah adalah pada waktu ghurub Matahari.



Sekarang, mari kita buat ilustrasinya sebagaimana berikut ini:



Kota Surabaya terletak pada 1120 45' bujur Timur, dan kota New York pada 740 bujur Barat. Berarti, garis bujur kedua kota dipisahkan oleh jarak sebesar 1860 45', dan berarti pula keduanya dipisahkan oleh beda waktu sebesar 12 jarn 27 menit. Jelasnya, ketika Surabaya sudah mengalami ghurub Matahari pada hari Selasa, misalnya, New York masih mengalami suasana menjelang terbit Matahari hari Selasa. Ketika New York sendiri kemudian mengalami ghurub Matahari pada Selasa itu, Surabaya sudah memasuki Rabu pagi.



Sekarang kita andaikan bahwa hari Selasa itu tadi adalah tanggal 29 Ramadhan. Kalau pada petang hari Selasa itu Surabaya mengalami rukyat hilal awal Syawal, kemudian berkat kecanggihan teknologi media informasi berita tentang rukyat itu dalam hitungan menit sudah bisa diterima di New York, maka di New York ketika itu masih Selasa pagi, dan kaum muslimin di sana baru memulai puasa untuk hari ke-29. Nah, apa yang harus dilakukan oleh muslimin New York?



Tentu saja altematifnya hanya ada dua. Pertama, mereka terus melanjutkan puasanya, karena pergantian tanggal baru akan terjadi pada saat ghurub Matahari petang harinya nanti (sesuai kesepakatan poin keempat dan kelima di atas). Dengan demikian, mereka tidak ber-Idul Fitri pada Selasa itu, melainkan pada Rabu, sama harinya dengan muslimin Malang.



Kedua, mereka langsung membatalkan puasanya begitu menerima berita rukyat dari Surabaya dan ber­Idul Fitri pada hari itu juga. Berarti, puasa mereka hanya 28 hari (menyalahi kesepakatan poin ketiga), dan Idul Fitri mereka adalah pada hari Selasa (lebih dulu satu hari daripada Surabaya).



Melihat akibat dari pilihan yang kedua di atas, seharusnya kita sepakat bahwa kaum muslimin New York wajib mengambil pilihan yang pertama, yakni melanjutkan puasa mereka pada hari itu, sekalipum sejak paginya mereka sudah memerima berita rukyat dari Surabaya.



Kalau demikian kesepakatan kita, maka kesepakatan ini pulalah yang harus diterapkan untuk muslimin Surabaya manakala yang terjadi adalah sebaliknya. Yakni kalau pada hari Selasa itu muslimin Surabaya tidak mengalami rukyat hilal, tapi muslimin New York yang mengalaminya.



Tentu saja, karena sudah merukyat hilal, muslimin New York ber-Idul Fitri pada Rabu besok harinya. Tetapi muslimin Surabaya, ketika menerima berita rukyat hilal dari New york, sudah memasuki hari Rabu pagi dan baru memulai puasa untuk hari ke-­30. Sesuai pilihan yang kita sepakati, mereka harus melanjutkan puasanya, karena pergantian tanggal baru akan terjadi pada saat ghurub Matahari petang harinya nanti. Dengan demikian, muslimin Surabaya akan ber- Idul Fitri pada hari Kamis, lebih akhir satu hari dibanding New York.



Dengan ilustrasi di atas terbukti bahwa bukan saja pandangan yang menghendaki diberlakukannya rukyat secara internasional itu tidak logis, tetapi sekiranya diberlakukan juga rukyat internasional itu tidak menjamin bisa selalu disatuharikannya awal dan akhir Ramadhan untuk seluruh kawasan di Bumi.



Kesatuan hari awal dan akhir Ramadhan hanya dimungkinkan terjadi manakala kawasan yang pertama kali merukyat hilal pada saat ghurub Matahari adalah kawasan yang pertama kali berganti hari, yakni kawasan yang terletak di sekitar garis bujur 1800 Timur. Dengan demikian, kawasan-kawasan lain di sebelah baratnya yang mengalami ghurub Matahari lebih larnbat dari kawasan itu tadi, secara berturut-turut akan memasuki awal bulan baru pada hari yang sama.



Dengan demilkian, secara syar'i maupun ilmiah tidaklah relevan menjadikan penyatuan hari ibadah lewat isu rukyat internasional sebagai inspirasi gerakan penyatuan Islam sedunia di bawah payung politik satu khilafah. Sebab, sekiranya benar bahwa bahwa dunia Islam kelak bisa disatukan, maka hanya khalifah yang "naif" sajalah yang akan menggunakan otoritas politiknya untuk memaksakan penyatuan hari ibadah untuk semua kawasan tinggal umat Islam di seluruh dunia. Wallahu a’lam.



KH Salam Nawawi

Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar