Berpuasa di Pesantren;
Menilik Budaya Kilatan Kitab Kuning
Oleh: Wasid Mansyur
Sebagai orang yang beriman kewajiban puasa
bulan Ramadhan telah menjadi sebuah keyakinan, yang tidak dapat digugat.
Keutamaannya sebagaimana termaktub dalam beberapa teks-teks keagamaan, al
Qur’an maupun al Hadith, menjadi spirit tersendiri bagi bergeraknya hasrat
untuk meraih dan berebut keutamaannya.
Beragamnya ritual keagamaan dilakukan sebagai
momentum bagi proses peningkatan nilai-nilai spiritual. Ramainya agenda-agenda
keagamaan ini juga, Misalnya buka bersama, tadaarus al Qur’an dan lain-lain,
bila diamati telah membudaya dalam kehidupan masyarakat serta memiliki kekhasan
nilai lokal.
Nuansa Ramadhan nampaknya semakin terasa,
jika dilihat dari tumbuhnya semangat keberagamaan di berbagai media massa, baik
cetak maupun eletronik. Hampir setiap canel pertelevisian memiliki kekhasan
dalam mengisi bulan Ramadhan. Begitu juga media cetak tidak ketinggalan ramai
memberitakan berbagai aktivitas ramadhanan, meskipun tidak sedikit apa yang
dilakukan hanya sebatas ritual-ritual semu, yang tidak membekas pada
kepribadian setiap individu, karena yang dilakukan lebih banyak sebagai ajang
pemenuhan kebutuhan produksi, daripada menciptakan nuansa peningkatan spiritual
khalayak masyarakat.
Tidak ketingggalan, pesantren yang konon
dikenal menjadi pusat munculnya pengetahuan agama, dalam konteks ini, juga
memiliki budaya khas ramadhanan. Sebagai orang yang pernah nyantri (baca:
belajar), menurut penulis, budaya ramadhan di pesantren memiliki daya tarik
tersendiri dibandingkan di luar pesantren.
Hal ini, dapat diamati khususnya mengenai
budaya baca kitab kuning (baca: kilatan) yang menjadi tradisi tahunan. Hampir
semua pesantren yang memiliki budaya kilatan menawarkan kitab-kitab yang
memakai bahasa aslinya, yaitu Arab, dengan menerjemahkannya dalam bahasa lokal,
misalnya, bahasa Jawa, sehingga tidak jarang budaya ini menjadi ajang
kontestasi kebaikan (istibāq al khairāt) antar pesantren.
Budaya kilatan yang berkembang turun menurun
dari generasi ke generasi pemangku pesantren telah menjadi kehidupan yang tidak
bisa dipisahkan dari keberadaan pesantren di Indonesia. Karenanya, Berangkat
dari sebuah pemahaman yang dituturkan Nursyam (2007) bahwa kebudayaan wujud
beriringan dengan wujudnya kehidupan manusia dan kehidupan manusia tidaklah
hidup dalam ruang hampa, tetapi hidup dalam keseluruan sistemik yang membentuk
jaringan tak terpisahkan, maka tersentaklah dalam benak penulis dimanakah
kekhasan nilai budaya kilatan? Yang sampai hari ini masih eksis membudaya dan
diminati kalangan di lingkungan pesantren.
Ruang Publik dan Tradisi Baca
Kilatan adalah sebuah istilah yang masyhur di
lingkungan pesantren. Istilah ini muncul berkaitan, dengan jarak yang tidak
begitu jauh, dengan kemunculan pesantren dan kitab kuning di Indonesia.
Keberadaannya merupakan ekspresi dari pembacaan kitab-kitab tertentu, yang
dikenal dengan kitab kuning dan dilakukan pada hari-hari libur pesantren, yang
berkaitan dengan hari besar keagamaan, misalnya maulid nabi atau bulan
Ramadhan.
Karenanya, Sebagai sebuah budaya, kilatan tak
ubahnya merupakan budaya baca dengan sistem cepat dengan target menghatamkan
kitab-kitab yang telah ditentukan oleh pesantren, yang dalam bulan Ramadhan
biasa dimulai pada tanggal 1 Ramadhan hingga pertengahan Ramadhan. Berbagai
ragam disiplin keilmuan pesantren itu menawarkan jasa, tanpa terjebak pada
kadar keuntungan materi, sebagaimana terjadi dalam lembaga-lembaga pendidikan
pada umumnya dan pelatihan-pelatihan yang dilakukan pada bulan Ramadhan.
Jika dikaitkan dengan pola sistem pendidikan,
ada fenomena yang menarik dalam pola budaya kilatan kitab kuning di pesantren,
khususnya pada bulan Ramadhan. Pertama, budaya ini mampu menjadi perekat
pesantren dengan masyarakat sekitar, yang secara khusus para santri baik alumni
maupun yang masih aktif.
Hubungan yang rekat ini sekaligus menjadi
ajang silaturrahim. Dari sini, dapat dimaknai bahwa pesantren bukan sekedar
lembaga pendidikan, tapi menjadi lembaga yang mampu menjadi ruang publik bagi
khalayak umat, yang mampu memberikan nuansa dialogis antara pengasuh pesantren
dan masyarakat, Sebagaimana terjadi di Pondok pesantren Maslakul Huda Pati Jawa
Tengah, pimpinan KH. Muhammad Ahmad Sahal Maffudh, yang memiliki tradisi
menutup kilatan Ramadhan dengan diskusi dan sharing bersama dalam menentukan
kitab-kitab yang akan dibaca pada kilatan Ramadhan tahun depan.
(dumas,17/09/2007) atau tradisi di LP. Al Khoziny, pimpinan KH.R. Abdul Mujib
Abbas, yang melestarikan budaya sowan (Baca: bertemu kiai) setelah kilatan ini
usai, dari mengharap petuah mengenai kehidupan atau sekedar meminta doa secara
khusus.
Kedua, budaya kilatan bila diamati membangun
kultur baca. Sehubungan dengan ini, membaca merupakan kebutuhan yang sangat
penting bagi tambahnya pengetahuan seseorang dan jarang ditemukan tokoh besar
bangsa ini lahir, jika tidak berlebihan, tanpa dibekali minat baca yang tinggi,
sebut saja diantaranya Bung Karno, Bung Hatta, KH. Hasyim Asy’ari dan
lain-lain.
Target menghatamkan dalam Budaya kilatan yang
dilakukan para kiai atau ustadz menjadi fenomena tersendiri terhadap intensitas
minat bacanya, di mana intensitas yang dilakukan tidak mengenal waktu dan
tujuan pemenuhan nilai-nilai pragmatis. Apalagi dilakukan dalam kondisi puasa,
yang penuh dengan lapar dan haus. Kilatan biasa dilakukan sehari penuh, bahkan
tidak jarang sampai pada malam hari. Komitmen baca ini, dengan target
menghatamkan kitab-kitab kuning yang telah ditentukan, menjadi point yang
sangat penting bagi pembentukan minat baca baik bagi santri atau khalayak
masyarakat di satu sisi dan kiai atau ustadz menjadi teladan mereka di sisi
yang berbeda.
Tidak adanya dorongan pragmatis yang
menggerakkan individu-individu pembaca, kiai atau ustadz, dalam pelaksanaan
kilatan di pesantren-pesantren semakin meneguhkan bahwa pesantren bukanlah
lembaga pendidikan yang berorientasi pada ambil keuntungan materi, tapi lebih
banyak pada proses pengabdian dan tangggung jawab moral sebagai orang yang
berpengetahuan (al âlim). Karenanya, dalam tradisi pesantren dipahami bahwa
proses belajar (al Ta’allum) adalah wajid sebagaimana kewajiban ini berlaku
bagi proses mengajar (al Ta’lim). Dan ini maksud dari anjuran al Qur’an Surat
Al Taubah:122 “...liyataffaqahữ fi al dỉn wa liyundzirữ qawmahum..”
Sebagai Budaya Bangsa
Dari realitas yang telah disebutkan, maka
dapat dipahami bahwa kilatan merupakan khas budaya bangsa yang harus tetap
dijaga dan dilestarikan, khususnya bagi kalangan insan pesantren-pesantren di
Indonesia. Kekhasan budaya kilatan pada konteks tertentu memuat perangkat nilai
dan sekaligus melestarikan ajaran keberagamaan khas Indonesia, yang saat ini
terasa terganggu, jika tidak terancam, dengan berkembangnya ajaran yang tidak
memiliki akar kesejarahan.
Sebagai aset bangsa, kekhasan model
keberagamaan dan dakwah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pesantren tak ubahnya
bagian dari respon realitas kebangsaan itu sendiri. Dari sini, kilatan dimaknai
sebagai media menciptakan keteladan person kepada publik dengan kekhasan budaya
yang dimilikinya, karenanya Wahid Zaini (1988 ) menjelaskan apa yang dilakukan
oleh tokoh pendiri pesantren (baca: Kiai) dalam melakukan pembinaan kepada
masyarakat selalu disesuaikan dengan kontruksi sosial dan budaya masyarakat
setempat. Sambil larut dalam aktivitas masyarakat secara umum, misalnya
keterlibatan dalam seni dan budaya.
Dari realitas yang arif, terkait dengan
hubungan pesantren dengan ragamnya budaya bangsa, menjadi salah satu alasan
pesantren-pesantren di Indonesia eksis sebagai lembaga yang perlu
diperhitungkan, di tengah-tengah persaingan lembaga-lembaga pendidikan yang
semakin mahal.
Akhirnya, budaya puasa di pesantren dengan
kilatan sebagai kegiatan pokoknya menjadi momentum tersendiri di tengah-tengah
kondisi puasa dengan ragam keutamaannya. Tidak ada makna yang penting
digambarkan dalam budaya ini, kecuali keteladaan sikap dan penciptaan budaya
baca-tulis dalam kalangan masyarakat. Wallahul Muwaffiq.
*Koordinator Forum Komunikasi Santri Surabaya (FOKSA) dan Pengurus Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar