Selasa, 24 Juli 2012

(Ngaji of the Day) Berpuasa di Pesantren; Menilik Budaya Kilatan Kitab Kuning


Berpuasa di Pesantren; Menilik Budaya Kilatan Kitab Kuning

Oleh: Wasid Mansyur



Sebagai orang yang beriman kewajiban puasa bulan Ramadhan telah menjadi sebuah keyakinan, yang tidak dapat digugat. Keutamaannya sebagaimana termaktub dalam beberapa teks-teks keagamaan, al Qur’an maupun al Hadith, menjadi spirit tersendiri bagi bergeraknya hasrat untuk meraih dan berebut keutamaannya.



Beragamnya ritual keagamaan dilakukan sebagai momentum bagi proses peningkatan nilai-nilai spiritual. Ramainya agenda-agenda keagamaan ini juga, Misalnya buka bersama, tadaarus al Qur’an dan lain-lain, bila diamati telah membudaya dalam kehidupan masyarakat serta memiliki kekhasan nilai lokal.



Nuansa Ramadhan nampaknya semakin terasa, jika dilihat dari tumbuhnya semangat keberagamaan di berbagai media massa, baik cetak maupun eletronik. Hampir setiap canel pertelevisian memiliki kekhasan dalam mengisi bulan Ramadhan. Begitu juga media cetak tidak ketinggalan ramai memberitakan berbagai aktivitas ramadhanan, meskipun tidak sedikit apa yang dilakukan hanya sebatas ritual-ritual semu, yang tidak membekas pada kepribadian setiap individu, karena yang dilakukan lebih banyak sebagai ajang pemenuhan kebutuhan produksi, daripada menciptakan nuansa peningkatan spiritual khalayak masyarakat.



Tidak ketingggalan, pesantren yang konon dikenal menjadi pusat munculnya pengetahuan agama, dalam konteks ini, juga memiliki budaya khas ramadhanan. Sebagai orang yang pernah nyantri (baca: belajar), menurut penulis, budaya ramadhan di pesantren memiliki daya tarik tersendiri dibandingkan di luar pesantren.



Hal ini, dapat diamati khususnya mengenai budaya baca kitab kuning (baca: kilatan) yang menjadi tradisi tahunan. Hampir semua pesantren yang memiliki budaya kilatan menawarkan kitab-kitab yang memakai bahasa aslinya, yaitu Arab, dengan menerjemahkannya dalam bahasa lokal, misalnya, bahasa Jawa, sehingga tidak jarang budaya ini menjadi ajang kontestasi kebaikan (istibāq al khairāt) antar pesantren.



Budaya kilatan yang berkembang turun menurun dari generasi ke generasi pemangku pesantren telah menjadi kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan pesantren di Indonesia. Karenanya, Berangkat dari sebuah pemahaman yang dituturkan Nursyam (2007) bahwa kebudayaan wujud beriringan dengan wujudnya kehidupan manusia dan kehidupan manusia tidaklah hidup dalam ruang hampa, tetapi hidup dalam keseluruan sistemik yang membentuk jaringan tak terpisahkan, maka tersentaklah dalam benak penulis dimanakah kekhasan nilai budaya kilatan? Yang sampai hari ini masih eksis membudaya dan diminati kalangan di lingkungan pesantren.


Ruang Publik dan Tradisi Baca



Kilatan adalah sebuah istilah yang masyhur di lingkungan pesantren. Istilah ini muncul berkaitan, dengan jarak yang tidak begitu jauh, dengan kemunculan pesantren dan kitab kuning di Indonesia. Keberadaannya merupakan ekspresi dari pembacaan kitab-kitab tertentu, yang dikenal dengan kitab kuning dan dilakukan pada hari-hari libur pesantren, yang berkaitan dengan hari besar keagamaan, misalnya maulid nabi atau bulan Ramadhan.



Karenanya, Sebagai sebuah budaya, kilatan tak ubahnya merupakan budaya baca dengan sistem cepat dengan target menghatamkan kitab-kitab yang telah ditentukan oleh pesantren, yang dalam bulan Ramadhan biasa dimulai pada tanggal 1 Ramadhan hingga pertengahan Ramadhan. Berbagai ragam disiplin keilmuan pesantren itu menawarkan jasa, tanpa terjebak pada kadar keuntungan materi, sebagaimana terjadi dalam lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya dan pelatihan-pelatihan yang dilakukan pada bulan Ramadhan.



Jika dikaitkan dengan pola sistem pendidikan, ada fenomena yang menarik dalam pola budaya kilatan kitab kuning di pesantren, khususnya pada bulan Ramadhan. Pertama, budaya ini mampu menjadi perekat pesantren dengan masyarakat sekitar, yang secara khusus para santri baik alumni maupun yang masih aktif.



Hubungan yang rekat ini sekaligus menjadi ajang silaturrahim. Dari sini, dapat dimaknai bahwa pesantren bukan sekedar lembaga pendidikan, tapi menjadi lembaga yang mampu menjadi ruang publik bagi khalayak umat, yang mampu memberikan nuansa dialogis antara pengasuh pesantren dan masyarakat, Sebagaimana terjadi di Pondok pesantren Maslakul Huda Pati Jawa Tengah, pimpinan KH. Muhammad Ahmad Sahal Maffudh, yang memiliki tradisi menutup kilatan Ramadhan dengan diskusi dan sharing bersama dalam menentukan kitab-kitab yang akan dibaca pada kilatan Ramadhan tahun depan. (dumas,17/09/2007) atau tradisi di LP. Al Khoziny, pimpinan KH.R. Abdul Mujib Abbas, yang melestarikan budaya sowan (Baca: bertemu kiai) setelah kilatan ini usai, dari mengharap petuah mengenai kehidupan atau sekedar meminta doa secara khusus.



Kedua, budaya kilatan bila diamati membangun kultur baca. Sehubungan dengan ini, membaca merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi tambahnya pengetahuan seseorang dan jarang ditemukan tokoh besar bangsa ini lahir, jika tidak berlebihan, tanpa dibekali minat baca yang tinggi, sebut saja diantaranya Bung Karno, Bung Hatta, KH. Hasyim Asy’ari dan lain-lain.



Target menghatamkan dalam Budaya kilatan yang dilakukan para kiai atau ustadz menjadi fenomena tersendiri terhadap intensitas minat bacanya, di mana intensitas yang dilakukan tidak mengenal waktu dan tujuan pemenuhan nilai-nilai pragmatis. Apalagi dilakukan dalam kondisi puasa, yang penuh dengan lapar dan haus. Kilatan biasa dilakukan sehari penuh, bahkan tidak jarang sampai pada malam hari. Komitmen baca ini, dengan target menghatamkan kitab-kitab kuning yang telah ditentukan, menjadi point yang sangat penting bagi pembentukan minat baca baik bagi santri atau khalayak masyarakat di satu sisi dan kiai atau ustadz menjadi teladan mereka di sisi yang berbeda.



Tidak adanya dorongan pragmatis yang menggerakkan individu-individu pembaca, kiai atau ustadz, dalam pelaksanaan kilatan di pesantren-pesantren semakin meneguhkan bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang berorientasi pada ambil keuntungan materi, tapi lebih banyak pada proses pengabdian dan tangggung jawab moral sebagai orang yang berpengetahuan (al âlim). Karenanya, dalam tradisi pesantren dipahami bahwa proses belajar (al Ta’allum) adalah wajid sebagaimana kewajiban ini berlaku bagi proses mengajar (al Ta’lim). Dan ini maksud dari anjuran al Qur’an Surat Al Taubah:122 “...liyataffaqahữ fi al dỉn wa liyundzirữ qawmahum..”


Sebagai Budaya Bangsa



Dari realitas yang telah disebutkan, maka dapat dipahami bahwa kilatan merupakan khas budaya bangsa yang harus tetap dijaga dan dilestarikan, khususnya bagi kalangan insan pesantren-pesantren di Indonesia. Kekhasan budaya kilatan pada konteks tertentu memuat perangkat nilai dan sekaligus melestarikan ajaran keberagamaan khas Indonesia, yang saat ini terasa terganggu, jika tidak terancam, dengan berkembangnya ajaran yang tidak memiliki akar kesejarahan.



Sebagai aset bangsa, kekhasan model keberagamaan dan dakwah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pesantren tak ubahnya bagian dari respon realitas kebangsaan itu sendiri. Dari sini, kilatan dimaknai sebagai media menciptakan keteladan person kepada publik dengan kekhasan budaya yang dimilikinya, karenanya Wahid Zaini (1988 ) menjelaskan apa yang dilakukan oleh tokoh pendiri pesantren (baca: Kiai) dalam melakukan pembinaan kepada masyarakat selalu disesuaikan dengan kontruksi sosial dan budaya masyarakat setempat. Sambil larut dalam aktivitas masyarakat secara umum, misalnya keterlibatan dalam seni dan budaya.



Dari realitas yang arif, terkait dengan hubungan pesantren dengan ragamnya budaya bangsa, menjadi salah satu alasan pesantren-pesantren di Indonesia eksis sebagai lembaga yang perlu diperhitungkan, di tengah-tengah persaingan lembaga-lembaga pendidikan yang semakin mahal.



Akhirnya, budaya puasa di pesantren dengan kilatan sebagai kegiatan pokoknya menjadi momentum tersendiri di tengah-tengah kondisi puasa dengan ragam keutamaannya. Tidak ada makna yang penting digambarkan dalam budaya ini, kecuali keteladaan sikap dan penciptaan budaya baca-tulis dalam kalangan masyarakat. Wallahul Muwaffiq.


*Koordinator Forum Komunikasi Santri Surabaya (FOKSA) dan Pengurus Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar