Rabu, 25 Juli 2012

Kang Said: Momen Kembali ke Jalan Lurus


Momen Kembali ke Jalan Lurus

Oleh: Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj



Ramadhan adalah bulan suci umat Islam yang penuh rahmat dan pengampunan. Di dalamnya tersimpuh ajaran adiluhung untuk melatih diri (riyadhah al-nafs) dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Artinya, puasa bukanlah sekadar ”ritual kosong”, melainkan bermakna secara spiritual, psikologis, humanis dan sosial.



Saking mendalamnya ”bobot” puasa, sampai-sampai diwartakan bahwa ibadah puasa menjadi lelaku yang ”sangat privat”. Maksudnya, orang yang berpuasa punya ikatan atau tanggung jawab langsung dengan Allah. Beda dengan ibadah lainnya, seperti shalat yang secara lahiriah mudah dikenali, orang yang berpuasa akan sulit diketahui dari lahiriahnya.



Manakala kita melaksanakan puasa Ramadhan, sejatinya kita sedang melaksanakan dua hal. Pertama, menahan diri dari segala hal yang merusak. Kedua, mendekatkan diri kepada Allah.



Di sini tersimpuh kata al-imsak, yang dalam tata bahasa Arab bisa bergandengan dengan kata ‘an atau dengan bi. Bila bergandengan dengan ‘an (imsak ‘an), berarti menahan diri untuk tak melakukan sesuatu. Bila dengan bi (imsak bi), berarti berpegang teguh pada sesuatu yang dijadikan pegangan.



Orang yang ber-imsak bi seharusnya ia ber-imsak ‘an, baik dalam puasa maupun di luar puasa. Berpuasa Ramadhan mestinya dengan sepenuh jiwa, melatih diri agar dalam kondisi apa pun tetap teguh iman. Menahan diri dari ketamakan, korupsi, bertindak zalim, dan segala rupa perbuatan batil.



Dengan berpuasa Ramadhan, kita mengembalikan harkat kemanusiaan kita yang lebih mulia dari segala yang ada di dunia ini sebagai makhluk ciptaan Allah. Kitalah yang mengendalikan harta, bukan harta mengendalikan kita. Kitalah yang mengendalikan makanan, bukan makanan yang mengendalikan kita. Kita kembalikan jalan hidup kita ke jalan lurus.



Berpuasa Ramadhan sejatinya pula sebuah penegasan kembali doa dan ikrar kita agar selalu ditunjukkan ke jalan yang lurus (ihdina al-shirat al-mustaqim). Menyitir Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, istilah shirat bagaikan jalan tol. Kita tidak dapat lagi keluar atau tersesat setelah memasukinya. Bila memasukinya, kita telah ditelan olehnya dan tidak dapat keluar kecuali sampai pada akhir perjalanan.



Pembebasan



Bertumpuknya hikmah Ramadhan ini sesungguhnya bisa dikembalikan pada semangat Islam, yakni semangat pembebasan yang integratif dengan spirit kemanusiaan. Ramadhan menjadi pijakan untuk meneguhkan fitrah yang menghajatkan dimensi ekologis yang kental dengan dimensi transendental untuk menggapai keadilan hakiki. Dalam semangat fitrah terpapar etika untuk mencapai kesalehan secara masif, tidak serta-merta transendental, juga tanpa pengebirian terhadap kesucian hak manusia lainnya.



Spirit semacam ini akan menghalau kesenjangan sosial, sikap serba cuek dengan sekitarnya. Jika semangat pembebasan telah berurat akar, fitrah manusia akan kembali menemukan harmonisasi di tengah kosmos. Kehidupan yang merupakan pancaran aura ketuhanan dengan potensi azali manusia akan saling bersahutan demi membangun masyarakat yang adil.



Kemiskinan, kebodohan, dan borjuasi kehidupan telah menggurita di berbagai lapisan masyarakat. Kaum Muslim hanya berkompetisi di depan publik dengan pemberian hadiah pada saat momen religius saja. Di luar itu, basis kebajikan manusia kembali mengakar pada teosentrisme, sebuah hal yang lagi-lagi dilogikakan demi kepentingan Tuhan yang sebenarnya. Seorang Muslim yang baik semestinya tidak mengukur pahala sebagai standardisasi pola kerja kebajikannya, tetapi menggunakan realitas sosial sebagai parameter kesuksesan kebajikan.



Krisis yang timbul di kalangan elite dan masyarakat kita sekarang ini karena mereka kehilangan kendali diri dan menjauh dari jalan lurus. Bahkan, di zaman modern, manusia sudah kehilangan rasa kebersamaan dan solidaritas sosial. Tak salah kalau banyak yang kelaparan pada saat kita semua menjalankan ibadah puasa karena puasa hanya sekadar kewajiban.



Bila disimak secara saksama, puasa Ramadhan masih terpampang sebatas simbol ibadah yang belum memberikan nilai transformatif kepada masyarakat. Puasa Ramadhan hanya sekadar rutinitas dan tren unjuk beragama. Bila begitu terus, tak hanya menjadikan agama teralienasi dari pesan moral dan ajaran agama yang formal, tetapi juga agama teralienasi dari hakikat makan dan fungsi agama di tengah mobilisasi simbol keagamaan. Dalam Al Quran, Allah mengutuk orang yang shalat, tetapi lalai. Mereka yang dikatakan lalai itu adalah yang tidak tulus (riya’) dan tidak mau menolong orang lain (QS. Al-Ma’un: 5-7).



Begitulah dampak puasa belum ditumbuhkan dalam kehidupan konkret. Berbagai bentuk kezaliman terus merajalela, kejahatan terus mengalami eskalasi yang luar biasa, kekerasan tetap marak di mana-mana, proses dehumanisasi terus berlangsung dalam kehidupan. Atau dengan kata lain, ibadah puasa umat Islam masih bersifat individu-vertikal belum sampai ke tingkat sosial-horizontal.



Andai puasa Ramadhan tak berhenti sebagai ritus, diserap benar-benar sebagai mentalitas dan perilaku, bisa jadi sebagian penyimpangan sosial manusia bisa ditekan. Betapa indah andai kita hidup di tengah masyarakat yang mengembangkan dan menjaga mentalitas Ramadhan, yaitu pengendalian dalam apa saja dengan berbasiskan bahasa hati. Ketika bahasa hati yang bicara, bahasa sistem dalam upaya menciptakan kendali, misalnya dalam membangun good governance, kita yakini bakal menemukan efektivitasnya. Segi-segi ideal itulah yang selalu muncul dalam gambaran ketika Ramadhan tiba.



Titik lompatan



Jika pada bulan-bulan lain para elite politik seenaknya mengumbar kata-kata, selama puasa harus berlatih untuk lebih bijak dalam bertutur. Kalau pada bulan selain Ramadhan para pelaku birokrasi begitu mudah menyimpangkan anggaran negara, saat puasa mereka mesti berupaya mengakhirinya. Tidak ada momentum sekhidmat Ramadhan yang bisa dijadikan titik untuk membuat lompatan.



Tentu sangat banyak cobaan dan godaan selama menjalankan puasa. Namun, dengan kebesaran hati dalam menjalankan perintah agama, kiranya semua persoalan itu bisa diatasi. Jangan sampai tergoda dengan hal-hal yang kurang baik dan dapat mengurangi makna puasa.



Walhasil, saatnya kita berdoa dan bertekad kembali agar puasa Ramadhan tahun ini bisa menyadarkan dan mencerahkan kita semua untuk kembali ke jalan lurus. Jalan menuju transformasi diri yang berangkat dari kesadaran spiritual individual dan kemudian berurutan mewujud dalam kesadaran sosial sehingga bisa membawa manfaat bagi negeri kita tercinta ini, yang tengah membangun dalam suasana plural dan multikultural. Selamat berpuasa bagi saudara-saudara kita yang sedang menunaikannya.



Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU



Sumber:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar