Momen Kembali ke Jalan Lurus
Oleh: Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj
Ramadhan
adalah bulan suci umat Islam yang penuh rahmat dan pengampunan. Di dalamnya
tersimpuh ajaran adiluhung untuk melatih diri (riyadhah al-nafs) dan penyucian
jiwa (tazkiyah al-nafs). Artinya, puasa bukanlah sekadar ”ritual kosong”,
melainkan bermakna secara spiritual, psikologis, humanis dan sosial.
Saking
mendalamnya ”bobot” puasa, sampai-sampai diwartakan bahwa ibadah puasa menjadi
lelaku yang ”sangat privat”. Maksudnya, orang yang berpuasa punya ikatan atau
tanggung jawab langsung dengan Allah. Beda dengan ibadah lainnya, seperti
shalat yang secara lahiriah mudah dikenali, orang yang berpuasa akan sulit
diketahui dari lahiriahnya.
Manakala
kita melaksanakan puasa Ramadhan, sejatinya kita sedang melaksanakan dua hal.
Pertama, menahan diri dari segala hal yang merusak. Kedua, mendekatkan diri
kepada Allah.
Di
sini tersimpuh kata al-imsak, yang dalam tata bahasa Arab bisa
bergandengan dengan kata ‘an atau dengan bi. Bila bergandengan
dengan ‘an
(imsak ‘an), berarti menahan diri untuk tak melakukan sesuatu. Bila
dengan bi
(imsak bi), berarti berpegang teguh pada sesuatu yang dijadikan
pegangan.
Orang
yang ber-imsak
bi seharusnya ia ber-imsak ‘an, baik dalam puasa maupun di luar
puasa. Berpuasa Ramadhan mestinya dengan sepenuh jiwa, melatih diri agar dalam
kondisi apa pun tetap teguh iman. Menahan diri dari ketamakan, korupsi,
bertindak zalim, dan segala rupa perbuatan batil.
Dengan
berpuasa Ramadhan, kita mengembalikan harkat kemanusiaan kita yang lebih mulia
dari segala yang ada di dunia ini sebagai makhluk ciptaan Allah. Kitalah yang
mengendalikan harta, bukan harta mengendalikan kita. Kitalah yang mengendalikan
makanan, bukan makanan yang mengendalikan kita. Kita kembalikan jalan hidup
kita ke jalan lurus.
Berpuasa
Ramadhan sejatinya pula sebuah penegasan kembali doa dan ikrar kita agar selalu
ditunjukkan ke jalan yang lurus (ihdina al-shirat al-mustaqim). Menyitir Prof
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, istilah shirat bagaikan jalan tol.
Kita tidak dapat lagi keluar atau tersesat setelah memasukinya. Bila
memasukinya, kita telah ditelan olehnya dan tidak dapat keluar kecuali sampai
pada akhir perjalanan.
Pembebasan
Bertumpuknya
hikmah Ramadhan ini sesungguhnya bisa dikembalikan pada semangat Islam, yakni
semangat pembebasan yang integratif dengan spirit kemanusiaan. Ramadhan menjadi
pijakan untuk meneguhkan fitrah yang menghajatkan dimensi ekologis yang kental
dengan dimensi transendental untuk menggapai keadilan hakiki. Dalam semangat
fitrah terpapar etika untuk mencapai kesalehan secara masif, tidak serta-merta
transendental, juga tanpa pengebirian terhadap kesucian hak manusia lainnya.
Spirit
semacam ini akan menghalau kesenjangan sosial, sikap serba cuek dengan
sekitarnya. Jika semangat pembebasan telah berurat akar, fitrah manusia akan
kembali menemukan harmonisasi di tengah kosmos. Kehidupan yang merupakan
pancaran aura ketuhanan dengan potensi azali manusia akan saling bersahutan
demi membangun masyarakat yang adil.
Kemiskinan,
kebodohan, dan borjuasi kehidupan telah menggurita di berbagai lapisan
masyarakat. Kaum Muslim hanya berkompetisi di depan publik dengan pemberian
hadiah pada saat momen religius saja. Di luar itu, basis kebajikan manusia
kembali mengakar pada teosentrisme, sebuah hal yang lagi-lagi dilogikakan demi
kepentingan Tuhan yang sebenarnya. Seorang Muslim yang baik semestinya tidak
mengukur pahala sebagai standardisasi pola kerja kebajikannya, tetapi
menggunakan realitas sosial sebagai parameter kesuksesan kebajikan.
Krisis
yang timbul di kalangan elite dan masyarakat kita sekarang ini karena mereka
kehilangan kendali diri dan menjauh dari jalan lurus. Bahkan, di zaman modern,
manusia sudah kehilangan rasa kebersamaan dan solidaritas sosial. Tak salah
kalau banyak yang kelaparan pada saat kita semua menjalankan ibadah puasa
karena puasa hanya sekadar kewajiban.
Bila
disimak secara saksama, puasa Ramadhan masih terpampang sebatas simbol ibadah
yang belum memberikan nilai transformatif kepada masyarakat. Puasa Ramadhan
hanya sekadar rutinitas dan tren unjuk beragama. Bila begitu terus, tak hanya
menjadikan agama teralienasi dari pesan moral dan ajaran agama yang formal,
tetapi juga agama teralienasi dari hakikat makan dan fungsi agama di tengah
mobilisasi simbol keagamaan. Dalam Al Quran, Allah mengutuk orang yang shalat,
tetapi lalai. Mereka yang dikatakan lalai itu adalah yang tidak tulus (riya’)
dan tidak mau menolong orang lain (QS. Al-Ma’un: 5-7).
Begitulah
dampak puasa belum ditumbuhkan dalam kehidupan konkret. Berbagai bentuk
kezaliman terus merajalela, kejahatan terus mengalami eskalasi yang luar biasa,
kekerasan tetap marak di mana-mana, proses dehumanisasi terus berlangsung dalam
kehidupan. Atau dengan kata lain, ibadah puasa umat Islam masih bersifat
individu-vertikal belum sampai ke tingkat sosial-horizontal.
Andai
puasa Ramadhan tak berhenti sebagai ritus, diserap benar-benar sebagai
mentalitas dan perilaku, bisa jadi sebagian penyimpangan sosial manusia bisa
ditekan. Betapa indah andai kita hidup di tengah masyarakat yang mengembangkan
dan menjaga mentalitas Ramadhan, yaitu pengendalian dalam apa saja dengan
berbasiskan bahasa hati. Ketika bahasa hati yang bicara, bahasa sistem dalam
upaya menciptakan kendali, misalnya dalam membangun good governance, kita
yakini bakal menemukan efektivitasnya. Segi-segi ideal itulah yang selalu
muncul dalam gambaran ketika Ramadhan tiba.
Titik lompatan
Jika
pada bulan-bulan lain para elite politik seenaknya mengumbar kata-kata, selama
puasa harus berlatih untuk lebih bijak dalam bertutur. Kalau pada bulan selain
Ramadhan para pelaku birokrasi begitu mudah menyimpangkan anggaran negara, saat
puasa mereka mesti berupaya mengakhirinya. Tidak ada momentum sekhidmat
Ramadhan yang bisa dijadikan titik untuk membuat lompatan.
Tentu
sangat banyak cobaan dan godaan selama menjalankan puasa. Namun, dengan
kebesaran hati dalam menjalankan perintah agama, kiranya semua persoalan itu
bisa diatasi. Jangan sampai tergoda dengan hal-hal yang kurang baik dan dapat
mengurangi makna puasa.
Walhasil,
saatnya kita berdoa dan bertekad kembali agar puasa Ramadhan tahun ini bisa
menyadarkan dan mencerahkan kita semua untuk kembali ke jalan lurus. Jalan
menuju transformasi diri yang berangkat dari kesadaran spiritual individual dan
kemudian berurutan mewujud dalam kesadaran sosial sehingga bisa membawa manfaat
bagi negeri kita tercinta ini, yang tengah membangun dalam suasana plural dan
multikultural. Selamat berpuasa bagi saudara-saudara kita yang sedang
menunaikannya.
Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar