Seputar Perbedaan Ilmu
Hisab dan Penentuan Hari Raya (2-habis)
Jika sudah terbukti metoda hisab tertentu
paling akurat, maka metoda-metoda hisab yang lain harus disesuaikan, atau,
kalau tidak, ditinggalkan. Sebab perhitungan tentang saat ijtima’ adalah satu
variabel, sedangkan perhitungan tentang irtifa’ hilal adalah variabel yang
lain. Samanya hasil perhitungan saat ijtima’ dari dua metoda hisab yang
berbeda, belum tentu menghasilkan natijah atau hasil ketingian (irtifa’) hilal
yang sama.
Upaya memperkecil perbedaan hasil hisab ini
adalah sebuah kerja besar yang memerlukan keseriusan dan kebesaran jiwa. Kerja
besar ini perlu segera dimulai karena hasilnya akan berdampak positif bagi
umat. Organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan
lain-lain, yang produk hisabnya berpengaruh di kalangan umat, adalah
pihak-pihak yang paling bertanggung jawab untuk bekerjasama memulainya.
Prediksi Rukyat
Jika rukyat dilakukan secara benar dan hisab
menghasilkan perhitungan yang akurat tentu natijah atau hasilnya akan sama
karena yang dicari adalah hilal yang satu. Jika tidak begitu, pasti ada yang
tidak benar atau tidak akurat. Boleh jadi hisabnya, dan boleh jadi pula
rukyatnya.
Nah, kapan Bulan itu disebut hilal? Ternyata
konsep hilal ahli rukyat berbeda dengan konsep hilal ahli hisab. Hilal dalam
konsep ahli rukyat adalah Bulan sabit yang “dilihat pertama kali” sesaat
setelah ghuni Matahari paska ijtima’. Dalam konsep ahli hisab, hilal adalah
Bulan yang “posisinya sudah di atas ufuk” pada saat ghuruv setelah
berlangsungnya ijtima’.
Maka jika ahli rukyat mau berkompromi dengan
ahli hisab dan sebaliknya, kedua konsep hilal mereka tersebut dapat
dikombinasikan menjadi sebagai berikut : "Hilal adalah Bulan yang pada
saat ghurub Matahari paska ijtima’ sudah mungkin atau visible untuk dirukyat
(imkanur rukyat) menurut hisab dan senyatanya memang berhasil dirukyat."
Nah, sekiranya muncul pertanyaan:
"Bagaimana seandainya ada yang mengaku melihat hilal pada hari Kamis
petang itu?", maka esensi pertanyaan tersebut sama persis dengan
pertanyaan: "Bagaimana seandainya ada yang rnengaku melihat Matahari pada
waktu subuh?" Artinya kedua pertanyaan yang berisi pengandaian tersebut
sama-sama tidak punya tempat di dalam lingkaran nalar yang sehat.
Ada beberapa teori yang bisa dijadikan dasar
analisis imkanur rukyat ini, yaitu :
Pertama, teori visibilitas hilal yang
dikemukakan oleh Andre Danjon. Dengan mengumpulkan sekitar 50 potret Bulan
Sabit yang berbeda-beda, Danjon mendapatkan besarnya sudut batas visibilitas
yang besamya 7 derajat. Jika jarak sudut Bulan-Matahari kurang dari 7 derajat,
Bulan tidak mungkin dapat dilihat.
Jika jarak sudut Bulan-Matahari ditentukan 7
derajat, maka melalui perhitungan dapat diketahui variasi ketinggian hilalnya
sebagai berikut:
§
Jika selisih azimutnya 0 derajat, maka
ketinggian hilalnya 7 derajat.
§
Jika selisih azimutnya 2 derajat, maka
ketinggian hilalnya 6,7 derajat.
§
Jika selisih azimutnya 5 derajat, maka
ketinggian hilalnya 4,9 derajat.
Kedua, konferensi kalender Islam di Istambul
Turki pada tahun 1978 menetapkan bahwa syarat fundamental hilal dapat dirukyat
adalah: Jarak Bulan-Matahari sekurang-kurangnya 8 derajat, dan irtifa’
(ketinggian) hilal pada saat terbenam Matahari tidak kurang dari 5 derajat.
Ketiga, para ahli astronomi modern memberikan
kreteria sederhana yang diturunkan secara empirik, yaitu Bulan mulai terlihat
jika fraksi (bagian) Bulan yang tercahayai Matahari dan menghadap ke Bumi sudah
mencapai 1% (dari keseluruhan permukaan Bulan). Ini terjadi jika jarak sudut
Bulan-Matahari sekurang-kurangnya 11,5 derajat. Wallahu A'lam.
KH Abdul Salam Nawawi
Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)
Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar