Rabu, 11 Juli 2012

(Ngaji of the Day) Seputar Perbedaan Ilmu Hisab dan Penentuan Hari Raya (2-habis)


Seputar Perbedaan Ilmu Hisab dan Penentuan Hari Raya (2-habis)



Jika sudah terbukti metoda hisab tertentu paling akurat, maka metoda-metoda hisab yang lain harus disesuaikan, atau, kalau tidak, ditinggalkan. Sebab perhitungan tentang saat ijtima’ adalah satu variabel, sedangkan perhitungan tentang irtifa’ hilal adalah variabel yang lain. Samanya hasil perhitungan saat ijtima’ dari dua metoda hisab yang berbeda, belum tentu menghasilkan natijah atau hasil ketingian (irtifa’) hilal yang sama.



Upaya memperkecil perbedaan hasil hisab ini adalah sebuah kerja besar yang memerlukan keseriusan dan kebesaran jiwa. Kerja besar ini perlu segera dimulai karena hasilnya akan berdampak positif bagi umat. Organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain, yang produk hisabnya berpengaruh di kalangan umat, adalah pihak-pihak yang paling bertanggung jawab untuk bekerjasama memulainya.



Prediksi Rukyat



Jika rukyat dilakukan secara benar dan hisab menghasilkan perhitungan yang akurat tentu natijah atau hasilnya akan sama karena yang dicari adalah hilal yang satu. Jika tidak begitu, pasti ada yang tidak benar atau tidak akurat. Boleh jadi hisabnya, dan boleh jadi pula rukyatnya.



Nah, kapan Bulan itu disebut hilal? Ternyata konsep hilal ahli rukyat berbeda dengan konsep hilal ahli hisab. Hilal dalam konsep ahli rukyat adalah Bulan sabit yang “dilihat pertama kali” sesaat setelah ghuni Matahari paska ijtima’. Dalam konsep ahli hisab, hilal adalah Bulan yang “posisinya sudah di atas ufuk” pada saat ghuruv setelah berlangsungnya ijtima’.



Maka jika ahli rukyat mau berkompromi dengan ahli hisab dan sebaliknya, kedua konsep hilal mereka tersebut dapat dikombinasikan menjadi sebagai berikut : "Hilal adalah Bulan yang pada saat ghurub Matahari paska ijtima’ sudah mungkin atau visible untuk dirukyat (imkanur rukyat) menurut hisab dan senyatanya memang berhasil dirukyat."



Nah, sekiranya muncul pertanyaan: "Bagaimana seandainya ada yang mengaku melihat hilal pada hari Kamis petang itu?", maka esensi pertanyaan tersebut sama persis dengan pertanyaan: "Bagaimana seandainya ada yang rnengaku melihat Matahari pada waktu subuh?" Artinya kedua pertanyaan yang berisi pengandaian tersebut sama-sama tidak punya tempat di dalam lingkaran nalar yang sehat.



Ada beberapa teori yang bisa dijadikan dasar analisis imkanur rukyat ini, yaitu :



Pertama, teori visibilitas hilal yang dikemukakan oleh Andre Danjon. Dengan mengumpulkan sekitar 50 potret Bulan Sabit yang berbeda-beda, Danjon mendapatkan besarnya sudut batas visibilitas yang besamya 7 derajat. Jika jarak sudut Bulan-Matahari kurang dari 7 derajat, Bulan tidak mungkin dapat dilihat.



Jika jarak sudut Bulan-Matahari ditentukan 7 derajat, maka melalui perhitungan dapat diketahui variasi ketinggian hilalnya sebagai berikut:

§  Jika selisih azimutnya 0 derajat, maka ketinggian hilalnya 7 derajat.

§  Jika selisih azimutnya 2 derajat, maka ketinggian hilalnya 6,7 derajat.

§  Jika selisih azimutnya 5 derajat, maka ketinggian hilalnya 4,9 derajat.



Kedua, konferensi kalender Islam di Istambul Turki pada tahun 1978 menetapkan bahwa syarat fundamental hilal dapat dirukyat adalah: Jarak Bulan-Matahari sekurang-kurangnya 8 derajat, dan irtifa’ (ketinggian) hilal pada saat terbenam Matahari tidak kurang dari 5 derajat.



Ketiga, para ahli astronomi modern memberikan kreteria sederhana yang diturunkan secara empirik, yaitu Bulan mulai terlihat jika fraksi (bagian) Bulan yang tercahayai Matahari dan menghadap ke Bumi sudah mencapai 1% (dari keseluruhan permukaan Bulan). Ini terjadi jika jarak sudut Bulan-Matahari sekurang-kurangnya 11,5 derajat. Wallahu A'lam.



KH Abdul Salam Nawawi

Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar