Seputar Perbedaan Ilmu
Hisab dan Penentuan Hari Raya (1)
Ilmu hisab (astronomi) tentang posisi bulan
yang berkembang di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1.
Ilmu Hisab Hakiki Taqribi. Yang
termasuk kelompok ini antara lain Sullamun Nayyirayn oleh Muhammad manshur Ibn
Abdil Hamid ibn Muhammad ad-Damiri al-batawi dan Fathur Rauful Mannan oleh KH
Dahlan Semarang.
2.
Ilmu Hisab Hakiki Tahqiqi. Yang
termasuk kelompok ini antara lain Khulashotul Wafiyah oleh KH Zubeir, Badi’atul
Mitsal oleh KH Ma’shum dan Nurul Anwar oleh KH Nur Ahmad
3.
Ilmu Hisab Hakiki Tahqiqi Kontemporer.
Yang termasuk kelompok ini antara lain New Comb, Astronomic Almanac, Nautical
Almanac, Islamic Calender, dan Astronomical Formula for Computer.
Pengelompokan tersebut didasarkan atas usia
temuan data tentang gerakan benda-benda langit –terutama Matahari, Bulan dan
Bumi– yang menjadi acuan hisabnya, yakni mulai dari temuan Sultan Ulugh Beyk di
abad ke-14 Masehi (abad ke-9 Hijriyah) hingga temuan temuan astronomis di abad
ke-20 serta temuan kontemporer yang selalu dikoreksi dengan rukyat demi rukyat
(baca: observasi demi observasi). Oleh karena itu pengelompokan tersebut
sekaligus meneunjukkan derajat kecermatan atau akurasinya.
Persoalannya adalah bahwa ilmu-ilmu hisab
dari semua kelompok yang memiliki derajat ketelitian yang berbeda-beda tersebut
sama-sama ikut mengambil bagian untuk “didengar suaranya” dalam menentukan awal
bulan qamariyah (Hijriyah) di Indonesia. Oleh karena itu manakala kepada para
ahli hisab kapan awal bulan A atau awal bulan B qamariyah, maka lumrah saja
jika jawaban mereka kadang berbeda-beda.
Memperkecil Perbedaaan
Terjadinya perbedaan hasil hisab tentang saat
terjadinya ijtima’ (konjungasi) dan irtifa’ (ketinggian) hilal dalam derajat
yang amat mencolok dari sudut ilmu pasti sangat sulit untuk ditoleransi.
Apalagi obyek kajian ilmu hisab yang berbeda-beda hasil hitungannya itu tadi
adalah gerakan dan lintasan benda-benda langit yang sama. Karena itu --tidak
bisa tidak-- upaya untuk memperpendek jarak perbedaan --jika belum mungkin
untuk menyamakannya-- harus segera dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh para
ahli hisab sendiri. Sebab, suara para ahli hisab yang berbeda-beda --di samping
membingungkan lambat-laun akan menurunkan wibawa mereka sendiri di mata umat.
Mengingat produk hitungan ilmu hisab itu
bukanlah perkara “ghaib” yang bersangkut paut dengan iman, melainkan produk
dari suatu metoda ilmiah, maka hubungan seorang ahli hisab dengan metoda hisab
yang dianutnya hendaknya tidak mengambil pola pendekatan imani dengan
menempatkan metoda hisabnya itu sebagai “kaidah yang diturunkan dari langit”,
melainkan harus mengambil pola pendekatan ilmiah juga, yakni siap menguji
kebenarannya secara empirik. Jika tenyata ada selisih, ia harus memiliki
kesiapan untuk memodifikasi metoda hisab itu, atau dengan sikap terbuka
menerima kehadiran metoda hisab lain yang lebih akurat. Bersikukuh untuk tetap
menyuarakan hasil perhitungan dari metoda hisab yang terbukti selalu meleset
sama artinya dengan sengaja memfatwakan kekeliruan.
Pengujian secara empirik hasil perhitungan
dari sesuatu metoda hisab adalah dengan rukyat atau observasi, baik untuk
variable ijtima’ maupun untuk variable irtifa’. Mengingat kedudukannya sebagai
media pengujian, maka rukyat tersebut harus dilakukan dengan ketajaman akurasi
yang memadai, baik dari segi ukuran ruang maupun waktu. Kerjasama dengan
lembaga-lembaga yang memiliki otoritas di bidang ini, seperti pusat-pusat
observatorium astronomi, mutlak diperlukan dalam rangka memperoleh rukyat yang
akurat itu tadi.
Terdapat kesulitan untuk menguji ijtima’
dengan rukyat karena peristiwa ijtima’ itu sangat jarang yang dapat dirukyat.
Bahagian terbesar dari peristiwa ijtima’ sama sekali tidak dapat dirukyat. Di
dalam Compton's Pictured Encyclopedia jilid 9 halaman 480 (The Plulse of the
Moon) dinyatakan: “The new moon can be the subject of no pictured errors since
we see it at all.” (Bulan baru/ijtima’ dapat menjadi penyebab
kesalahan-kesalahan yang tak tergambarkan karena kita tidak pemah merukyatnya).
Nah, peristiwa ijtima’ yang dapat dirukyat
adalah kusufusy syams atau gerhana Matahari. Oleh karena itu peristiwa gerhana
Matahari total yang terjadi kemarin merupakan kesempatan emas bagi para ahli
hisab untuk menguji akurasi hasil hisabnya tentang saat terjadinya ijtima’.
Kesulitan pengujian ijtima' yang diakibatkan
oleh jarangnya terjadi peristiwa gerhana Matahari bisa diatasi dengan pengujian
peristiwa istiqba1, yaitu dengan merukyat peristiwa khusuful qamar atau gerhana
Bulan yang tenyata lebih sering terjadi. Tingkat kekeliruan hasil perhitungan
mengenai saat terjadinya khusuful qamar adalah gambaran dari tingkat kekeliruan
hasil perhitungan mengenai saat terjadinya ijtima’.
Soal Sulamun Nayyirayn
Dalam hubungan ini terobosan hisab kitab
Sullamun Nayyirayn patut diajukan sebagai contoh. Suatu tanbih atau peringatan
dari kitab hisab Sullamun Nayyirayn yang ditujukan kepada para pengguna metoda
tersebut menegaskan bahwa apabila terjadi selisih waktu antara saat ijtima-'
atau istiqbal yang dihasilkan dari Sullamun Nayyirayn dengan saat Khusuf dan
Kusuf senyatanya yang bisa dirukyat, maka untuk penyesuaian agar diperoleh yang
lebih tepat hendaknya selisih waktu tersebut ditambahkan kepada saat ijtima-'
yang dihasilkan dari hisab Sullamun Nayyirayn. Sebab, tabel hisab Sultan Ulugh
Beyk al-Samarqandi yang diacu oleh Sullamun Nayyirayn adalah tabee hisab yang
sudah lama yang natijah-natijahnya sudah kurang tepat setelah berlalunya masa
yang panjang. “Penyesuaian” adalah langkah penting yang senantiasa ditempuh
oleh para falaki dalam rangka mempertajam perhitungan mengenai gerakan
an-Nayyirayn (Matahari dan Bulan). Esensi tanbih yang dinamis dan terbuka dari
Sullamun Nayyirayn ini adalah menifestasi dari sikap ilmiah falaki yang sejati.
Selanjutnya untuk variabel irtifa’ atau
ketinggian hilal, pengujiannya dengan rukyat hilal tanggal satu adalah relatif
sulit. Disamping karena ketinggiannya rendah dan saat munculnya di atas ufuk
relatif singkat, juga karena cahayanya masih terlalu lemah dan tipis sehingga
mudah hilang ditelan oleh kecerlangan warna mega yang melatarbelakanginya atau
ditutup oleh polusi udara dan mendung yang tipis sekalipun. Untuk kepentingan
pembuktian, rukyat hilal perlu dilakukan pada tanggal dua atau tanggal tiga
dengan mengukur irtifa’nya secara cermat dengan memanfaatkan alat ukur
ketinggian benda langit yang teruji akurasinya. Pengukuran itu hendaknya
dilakukan berkali-kali dalam bulan yang berlainan, dan hasilnya difungsikan
sebagai juri yang adil untuk memutuskan metode hisab mana yang paling akurat
hasil hitungan irtifa' hilalnya.
KH Abdul Salam Nawawi
Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)
Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar