Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
FOKUS pada masalah politik kekuasaan,
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun terisolasi dari persoalan yang
sedang dihadapi rakyat. Juga aneh karena presiden senang dengan fakta-fakta
yang menunjukan pemerintahannya tidak bersih.
Dua pernyataan Presiden SBY sepanjang pekan
lalu membuat banyak orang bingung. Pertama, ketika presiden mengaku senang
dengan terungkapnya kasus-kasus penyimpangan penggunaan anggaran yang
melibatkan oknum eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR). Kedua, saat
presiden mengimbau para menteri yang sibuk mengurusi partai politiknya untuk
mundur dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II.
Pada saat bersamaan, rakyat sedang menghadapi
kenyataan atau masalah yang sama sekali tidak menyenangkan. Utamanya adalah
lonjakan harga kebutuhan pokok. Sementara di beberapa daerah, konflik
berlatarbelakang perebutan lahan terus berlanjut. Konflik yang melibatkan warga
versus aparat keamanan dan pemerintah, atau warga versus pemodal swasta. Dua isu
ini dikedepankan media di Jakarta secara berkelanjutan. Sayang, tetap saja
lolos dari perhatian presiden. Karena presiden sibuk mengelola politik
kekuasaan, dia pun terisolir dari sejumlah persoalan yang sedang dihadapi
rakyagt.
Terlihat bahwa Presiden SBY dan para
menterinya bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga tidak antisipatif. Lonjakan
harga sembako selalu terjadi menjelang puasa dan Lebaran. Sebelum Juli tahun
ini, presiden mestinya memerintahkan Menteri koordinator perekonomian, Menteri
Perdagangan, Menteri Pertanian hingga Kepala Banda Uruisan Logistik (Bulog)
untuk mengantisipasi lonjakan harga kebutuhan pokok menjelang bulan Ramadhan.
Namun, tindakan atau langkah antisipatif tidak juga dilakukan sehingga lonjakan
harga pun tak terelakan. Alih-alih prihatin dengan masalah ini, ada menteri
yang menilai lonjakan harga saat ini sebagai hal yang wajar karena memberi
kenikmatan kepada petani.
Pemerintah seperti tidak punya nyali untuk
melakukan intervensi pasar. Sebab, setiap kali lonjakan harga di angkat sebagai
persoalan, para menteri seperti ingin mengalihkan masalah dengan mengatakan
pasokan dan stok dalam posisi aman. Lalu, dimunculkan janji untuk melakukan
operasi pasar. Janji itu tidak efektif karena hingga awal Ramadhan tahun ini,
harga sejumlah komoditas kebutuhan pokok justru terus meroket.
Sementara itu, konflik berlatarbelakang
perebutan lahan terus mengalami eskalasi. Sepanjang periode Januari -
Juni 2012, luas lahan yang diperebutkan mencapai 377.159 hektar dalam 101
kasus, melibatkan sekitar 25.000 kepala keluarga di seluruh Indonesia. Dalam
konteks berbisnis atau berusaha, rentetan konflik lahan di sektor pertambangan,
perkebunan dan sektor kehutanan sudah barang tentu akan melahirkan pertanyaan
seputar masalah kepastitan hukum.
Di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan,
konflik lahan di area perkebunan tebu Cinta Manis terus berlanjut. Setelah
warga dari 17 desa membakar lahan tebu, emosi warga kembali diletupkan dengan
cara membakar rumah karyawan PTPN VII. Sementara di pulau Padang, tidak
kurang dari 200 warga mendatangi kawasan Senalit, Desa Lukit, karena PT
Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) melakukan penanaman bibit akasia. Padahal,
Kementerian Kehutanan sudah memerintahkan perusahaan itu untuk menghentikan
operasinya, karena konflik yang belum terselesaikan. Warga Pulau Padang akan
terus melancarkan protes terhadap pemerintah yang mengabaikan persoalan
di pulau itu.
Kalau publik melihat dua masalah di atas
sebagai persoalan yang sangat serius, Presiden dan jajaran anggota kabinetnya
barangkali mempersepsikan dua masalah itu sebagai hal yang biasa-biasa saja.
Itu sebabnya, presiden tidak merasa perlu memberikan respons yang segera dan
signifikan. Tentu saja sikap presiden seperti itu sulit dipahami, mengingat dua
masalah itu sangat strategis. Lonjakan harga sembako berkait dengan perut lebih
dari 100 juta warga negara, sementara persoalan konflik lahan berdimensi lebih
luas. Mulai dari aspek kepastian hukum dalam berbisnis, prospek perekonomian
rakyat di atas lahan yang disengketakan, aspek keamanan hingga potensi konflik
berdarah dengan jatuhnya korban jiwa.
Peduli dan Tegas
Benar bahwa para pembantu presiden seharusnya
sigap bergerak untuk mereduksi dan menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Akan
tetapi, manakala persoalannya terus tereskalasi atau berulang, presiden tentu
saja tidak bisa tinggal diam. Minimal, kepada para pembantunya, presiden
mempertanyakan, meminta pertanggungjawaban, bahkan kalau perlu menghardik.
Kalau menteri atau pejabat setingkat menteri kesulitan menyelesaikan
persoalan-persoalan itu, tidak ada salahnya presiden turun tangan
langsung. Sebab, dalam praktiknya, memang tidak semua persoalan bisa
diselesaikan oleh seorang menteri. Apalagi jika persoalannya mencakup
kewenangan lintas sektor.
Muncul dugaan atau kekhawatiran bahwa
pemerintahan sekarang ini tidak fokus mengurusi persoalan-persoalan yang sedang
dihadapi rakyat. Itu sebabnya, antara suara atau aspirasi rakyat dengan
respons pemerintah sering kali tidak nyambung. Ketika rakyat mengeluhkan
lonjakan harga sembako, Presiden justru menunjukan kepedulian pada isu lain.
Tidak berarti presiden melakukan kekeliruan, tetapi presiden dengan sendirinya
paham apa yang seharusnya diprioritaskan.
Wajar jika presiden memberi perhatian
terhadap pengungkapan sejumlah kasus penyimpangan pemanfaatan anggaran
pembangunan. Namun, merasa senang atas pengungkapan kasus-kasus itu jelas tidak
menyelesaikan masalah. Pengungkapan sejumlah kasus penyimpangan penggunaan
anggaran pembangunan itu seharusnuya membuat presiden prihatin. Sebab,
pengungkapan kasus-kasus itu menjadi bukti kalau pemerintahannya tidak bersih.
Keinginannya mewujudkan good governance di ambang kegagalan. Sebagai kepala
pemerintahan di republik ini, Presiden SBY seharusnya prihatin.
Bahkan, karena penyimpangan anggaran itu
melibatkan oknum pejabat pemerintah, Presiden seharusnya pro aktif. Ambil contoh
pada kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Proses penganggaran proyek
Hambalang yang penuh misteri adalah skandal bernuansa kejahatan kerah putih.
Presiden seharusnya merasa dipermalukan oleh skandal ini. Kabinetnya layak
dinilai amatiran. Jika ada kementerian yang berani merealisasikan sebuah
proyek tanpa mengikuti mekanisme penganggaran yang benar, berarti menteri
bersangkutan terang-terangan melanggar undang-undang. Tak elok jika
Presiden tidak meminta pertanggungjawaban dari menteri bersangkutan.
Presiden juga terlihat lemah dan tidak tegas
ketika hanya bisa mengimbau para menteri untuk mundur dari kabinet jika sibuk
mengurusi partai. Imbauan itu, boleh jadi, mengacu pada data atau informasi
yang ada di tangan presiden. Bukankah presiden berbicara harus
berdasarkan data? Maka, kalau ada menteri yang tidak bisa berkonsentrasi
menjalankan tugasnya, presiden punya hak prerogatif untuk memberhentikan
menteri bersangkutan. Jadi, cukup menggunakan hak yang satu itu dengan tegas
dan lugas. Sebab, sekali lagi, imbauan atau saran tidak akan bisa menyelesaikan
persoalan.
Imbauan presiden SBY terhadap para menteri
itu justru dikembangkan sebagai lelucon di ruang publik. Kalau menteri yang
sibuk mengurusi partai diimbau oleh presiden untuk mundur dari kabinet, apa
konsekuensinya jika seorang presiden pun sibuk mengurusi partainya sendiri?
Harus mundur juga dari jabatan presiden?
Sebagai pemimpin, SBY wajib memberi contoh.
Imbauan itu seperti pepatah ‘Menepuk Air di Dulang Terpercik Muka Sendiri’.
Publik tahu bahwa Presiden masih menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat
dan tokoh sentral partai itu. Tentu saja, presiden tidak bisa menyalahkan para
menteri jika ada di antara mereka yang masih bisa mengurusi partai di waktu
luang. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar