Meroketnya Harga Pangan:
Kedlaliman bagi Shoimun
Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz*
Swasembada beras, gula, jagung, kedele dan
daging sapi, 2014, kembali menggelora dalam Konferensi DKP, Dewan Ketahanan
Pangan, 16-18 Juli. Semangat membangun kedaulatan dan kemandirian pangan
nasional ini pantas diapresiasi dalam kondisi ancaman pangan global yang
semakin akut. Satu hal yang pasti, bahwa spirit kejuangan seperti ini tidak
bisa main-main, akan tetapi butuh komitmen kebangsaan memadai.
Peringatan tentang komitmen dilontarkan karena belum juga berselang masa, ironi terjadi sangat menggelikan dan mengindikasikan tergeting swasembada RUU, Republik Undur-Undur, basa-basi. Konferensi DKP menekankan pentingnya konsistensi. Pada saat sama, harga beberapa produk pangan pokok ternyata hiruk-pikuk berebut naik bagai pacuan. Eskalasi harga pangan telah beberapa hari terjadi menyongsong Ramadlan dan pasti disusul kemudian dengan lonjakan harga yang lebih luar biasa mendekati Idul Fitri.
Krisis harga pangan senantiasa kembali berulang musiman di Bulan Ramadlan meski kebutuhan publik sudah teramat rutin berjalan dan bisa diramalkan. Pengendalian harga pangan musiman mestinya menjadi bagian terpenting tugas pembangunan perekonomian Negara, terlebih kebutuhan yang terkait dengan Ramadlan adalah kepentingan mayoritas warga bangsa dan karenanya semestinya menjadi perhatian Kabinet Indonesia Bersatu II.
Absennya Negara?
Pertanyaan besarnya, dimanakah negara ketika rutinitas krisis terjadi? Persoalan rutin saja kok tidak pernah bisa menata? Begitu pertanyaan mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa di akar rumput. Teramat mudah dimaklumi manakala spekulasi dagang terjadi, karena spekulasi adalah bagian dari perilaku pasar, dimanapun, ketika diramalkan bakal terjadi peningkatan permintaan. Tetapi, ketidakmampuan Pemerintah dalam mengatasi polemik pasar musiman, sungguh tidak bisa dimaklumi oleh shoimun.
Belum juga permasalahan klasik dibenahi pemerintah, lapangan sudah diwarnai oleh gerakan massa yang berteriak bahwa harga kedele sudah meroket, sangat tidak masuk akal dan menuntut turunnya harga kedele berdasarkan fakta terganggunya pabrik tahu-tempe. Ketidakmampuan negara untuk menjamin harga murah sumber protein nabati publik ini juga menjadi puncak caci maki pengrajin tahu-tempe.
Balada harga pangan Ramadhan yang super rutin ini memunculkan kecurigaan publik bahwa ketidakmampuan pengendalian tersebut terjadi by design. Kecurigaan tersebut bermuara pada sejalannya kepentingan antara pengambil keputusan, kelompoknya dan spekulan dalam tujuan jangka pendek. Setidaknya kecurigaan tersebut didukung oleh sikap pembiaran terhadap eskalasi harga untuk kemudian bisa dimanfaatkan sebagai pembenaran terhadap importasi, dengan segala madu-rente dan moral hazardnya.
Kecurigaan publik sangat beralasan. Lihat rencana importasi satu juta ton beras. DKP bertekad surplus 10 juta ton beras, 2014. Presiden telah memberikan penghargaan kepada 10 Gubernur dan 130 Bupati/Walikota karena sukses meningkatkan produksi beras 5% lebih. Ketika penghargaan Presiden diterimakan Wapres, 18 Juli 2012, ternyata terdengar sayup rencana importasi satu juta ton beras. Belum berselang masa, dan rencana itu pun aneh bin ajaib, karena data yang dilaporkan dalam konferensi DKP mengindikasikan progres produksi yang optimistik. Kalau data produksi tersebut benar adanya, importasi satu juta ton beras sudah kelewat batas sembrono. Sekali lagi, ‘kalau data itu benar’.
Benahi internal
Dan kalau data itu benar pula, maka persoalannya adalah sangat internal dan memerlukan solusi-solusi yang internal berkenaan dengan sistem produksi, kecanggihan sistem cadangan, keadilan tataniaga dan keandalan distributif. Memprihatinkan sekali manakala persoalan internal tersebut justru terperangkap pemikiran para pemimpin yang hobinya importasi. Sementara, rente dan madu liar importasi sungguh luar biasa menggiurkannya.
Tidak kalah menariknya adalah meramalkan solusi yang bakal diambil KIB II untuk kedele. Mudah sekali diduga bahwa ujung dari solusi krisis kedele dewasa ini pasti membebaskan bea masuk import kedele sekaligus menghapuskan pajak pertambahan nilai dengan senjata kebijakan Pemerintah DTP, Ditanggung Pemerintah. Seperti halnya beras, benah internal demi kedaulatan dan kemandirian sebenarnya lebih masuk akal.
Potensi agraris RI yang ditunjukkan dalam konferensi DKP sangat menjanjikan bagi keswasembadaan melalui benah internal. Akan tetapi, kalau untuk urusan internal yang rutin saja tidak mampu menyelesaikan, maka ada baiknya eksistensi otoritas pangan terkait ditinjau ulang secara tuntas oleh pemerintah.
Sayangnya, jalan pintas mengatasi pacuan harga pangan pasti impor. Jelas sekali bahwa importasi tidak hanya akan membunuh petani di gudang pangannya sendiri. Importasi akan sekaligus menghambat laju produksi dan swasembada 2014 nanti. Kedaulatan dan kemandirian pangan RI hanya bisa dibangun melalui benah internal. Benah internal inilah yang harus menjadi solusi semesta, bukannya malah memperbesar syahwat importasi.
Kedlaliman bagi shoimun
Perhatian ini perlu sekali dilontarkan karena
implikasi ketidakbecusan dalam tata-harga sungguh luar biasa. Pertama, kenaikan
harga pangan pasti inflationary, mengakibatkan membengkaknya angka inflasi 2012
dan beban ekonomi publik. Kedua, dalam kegalauan mengatasi inflasi, jalan
pintas yang dipilih pasti yang paling gampang dilakukan, yaitu importasi.
Padahal jalan pintas ini membunuh rakyat tani karena pengaruh kendali harga
yang kebablasan sekaligus menjauhkan RI dari keswasembadaan. Ketiga, ujung dari
segala kedlaliman kebijakan sembrono tersebut pasti terganggunya stabilitas
ekonomi-politik nasional. Keempat, dampak publik eskalasi harga pangan telah
mengganggu kekhusukan hidup mereka yang sedang ibadah puasa dan berada di akar
rumput. Pacuan harga pangan di bulan Ramadhan tentu adalah ketdlaliman negara
terhadap shoimun.
* Ketua PBNU, guru besar bidang Sosio Ekonomi
Agroindustri Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar