Bentuk Pemerintahan Negara
Islam, "Sebuah Wacana yang Utopis"
Oleh Arif Gumantia*
Maraknya Perda Syariah di berbagai daerah
akhir-akhir ini, membuka sebuah ruang diskursus yang gegap gempita akan adanya
ide sebuah bentuk pemerintahan negara Islam yang coba diusung oleh berbagai
elemen yang terafiliasi pada Ideologi “Islam Kanan”. Tetapi sebelum kita lebih
jauh membahasnya, alangkah lebih baik jika saya coba uraikan, tentang ajaran
Islam yang substansif-filosofis dalam memandang dan memperlakukan umat
non-muslim.
Islam mengakui eksistensi agama-agama yang
ada dan menerima beberapa prinsip dasar ajarannya. Namun, ini tidak berarti
bahwa semua agama adalah sama. Atau disebut sebagai paham singularisme. Dan
yang berbeda jauh dengan paham Pluralisme. Karena, setiap agama, memiliki
kekhasan, keunikan, dan karakteristik yang membedakan satu dengan yang lain.
Mempunyai kekhasan dalam syariat dan ritualnya. Hal ini karena setiap agama
lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri.
Pluralisme agama tidak hendak menyatakan
bahwa semua agama adalah sama. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya
sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis.
Pluralisme adalah tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak
kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan
berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling
menghormati, demikian ungkap cendekiawan muslim Nurcholis Madjid.
Dan kalau kita mau jujur, semua agama baik
yang berada dalam rumpun tradisi Abrahamik, maupun yang bukan, ada benang merah
yang sama, mengarah pada satu titik tujuan yang sama, yaitu kemaslahatan dunia
dan kemaslahatan akhirat. Juga adanya kehidupan setelah kematian. Terlepas
bagaimana tafsir agama-agama tersebut akan bentuk surga atau nerakanya. Dengan
memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak
perlu dirisaukan. Sebagaimana prinsip dasar ajaran Islam yaitu rahmatan lil
alamin.
Sebagaimana disebut pada Kitab suci Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 62 : Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja, di antara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari kemudian, dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Ada baiknya kita tengok, sejarah terbentuknya negara Madinah. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah tahun 622 Masehi, kondisi penduduk adalah majemuk dan mudah tersulut konflik. Sebagian penduduk menyambut gembira dengan kedatangan Nabi , ada juga yang tidak senang dengan kedatangan nabi. Dan langkah pertama yang dilakukan Nabi setelah berada di Madinah adalah memberikan ketenangan jiwa bagi seluruh penduduk kota itu. Semua golongan, Muslim, Nasrani, Yahudi, penganut paganisme diberi kebebasan yang sama dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing. Juga diberi kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat serta kebebasan dalam mendakwahkan agama masing-masing.
Dan pada tahun pertama Hijrah, nabi membuat
perjanjian dengan perwakilan agama-agama lain, yang dikenal dengan nama Piagam
Madinah. Menurut cendekiawan Ashgar Ali piagam ini sangat revolusioner dan
sangat mendukung gagasan nabi bagi terciptanya suatu masyarakat yang tertib dan
damai. Yaitu perjanjian yang mengatur dan mengorganisasikan penduduk Madinah
yang heterogen dalam satu sistem hubungan tertib sosial yang mencakup semua
kelompok untuk hidup bersama dan bekerjasama dalam satu wilayah, dimana sebelumnya
masyarakat Arab tidak pernah hidup sebagai satu komunitas antarsuku dengan
suatu kesepakatan.
Yang menarik dari perjanjian atau Piagam Madinah itu adalah adanya jaminan kebebasan beragama bagi segenap penduduk Madinah disamping kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Dari sinilah saya sangat setuju dengan pendapat intelektual muslim dari Mesir Muhammad Husain Haikal, yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku. Dan jika kita berbicara tentang suatu bentuk pemerintahan, umat islam tidak boleh hanya terpaku pada ide umumnya, apakah pemerintahan itu berbentuk otoriter ataukah perwakilan, kerajaan atau republik, demokrasi atau despotis. Pembicaraan hendaknya mencakup banyak hal yang berkaitan dengan gagasan umum sebuah pemerintahan secara utuh. Hal ini berarti mencakup sistem ekonomi, sistem moral, sistem kemasyarakatan, dan berbagai sistem lainnya, terutama yang berkaitan dengan soal-soal perdamaian, peperangan, agama, dan ilmu pengetahuan.
Islam hanya meletakkan seperangkat tata nilai
etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku
manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya. Pedoman dasar itulah
yang bermuara pada prinsip persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Persaudaraan
meniscayakan adanya persatuan yang kokoh dan toleransi beragama di antara warga
negara yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku dan agama.
Prinsip persamaan antar manusia dalam
prakteknya mengarah kepada pelaksanaan musyawarah dan ditegakkannya keadilan.
Penguasa hendaknya bermusyawarah dalam mengambil suatu keputusan yang penting,
dan juga memperlakukan rakyatnya secara adil tanpa membedakan keturunan,
kesukuan, dan kekayaan mereka. Tanpa membedakan antara yang muslim dan bukan
muslim. Sebagaimana dikatakan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa memuliakan
manusia berarti memuliakan penciptanya, sebaliknya menistakan manusia berarti
menistakan penciptanya. Maka negara haruslah membela kemanusiaan tanpa syarat.
Juga Menurut Gus Dur, karena keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas
kemanusiaan maka harus diperjuangkan.martabat manusia hanya bisa dipenuhi
dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam masyarakat maka
negara harus selalu melindungi dan membela pada kelompok masyarakat yang diperlakukan
tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan.
Prinsip kebebasan manusia diterapkan dalam
bentuk memberikan kebebasan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat.
Karenanya hak-hak individu dijamin, kepercayaan dan keyakinan penduduk tetap
dijunjung tinggi. Penerapan ajaran kebebasan, khususnya kebebasan berfikir,
dalam suatu negara mendorong rakyat dari negara bersangkutan untuk maju dan
berkembang. Termasuk bebas dari rasa takut dan rasa lapar, sebagai syarat
mutlak agar dapat hidup sejahtera dan tenteram.
Dari paparan di atas, maka dapat kita
simpulkan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku, Islam
hanya meletakkan seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai
pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan
pergaulan dengan sesamanya. Pedoman dasar itulah yang bermuara pada prinsip
persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Dengan demikian jika ada sebuah wacana
yang ingin mendirikan negara Islam, khususnya di negeri ini, maka wacana
tersebut serupa tangga yang berguguran saat sejak menyusunnya, karena sudah
kehilangan pijakan historis dan argumentasi tafsirnya. Dan wacana tersebut akan
menjadi sesuatu yang utopis, sesuatu yang hanya berhenti pada wacana yang
diperdebatkan, karena sulit atau bahkan tidak mungkin diwujudkan dalam bangsa
dengan masyarakat yang majemuk.
Sehingga Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, sudah tepat, dengan landasan Ideologi Pancasila dan UUD 1945. Kalaulah akhir-akhir ini kita masuk dalam kategori negara gagal, karena para pengelola negara dalam hal ini pemerintah tidak dapat memenuhi amanat konstitusi,tidak memenuhi hak-hak dasar warga masyarakat. Pemerintah yang dipenuhi dengan korupsi di semua lini, korupsi di semua pusat-pusat kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan bukan karena bentuk negaranya. Dan yang kita perlukan bukanlah Perda Syariah, tapi Penegakan Konstitusi dan Hukum secara Tegas. Sebagai Penutup saya akan mengutip kalimat Gus Dur "Kita semua memikul beban untuk memperjuangkan kebenaran Illahi, tapi pada saat yang sama kita harus juga memperjuangkan nilai-nilai Kemanusiaan."
* Penggiat Komunitas GUSDURian Madiun dan
Ketua Majelis Sastra Madiun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar