Mencari Titik Temu Awal
Ramadhan (2-habis)
Oleh: KH Ghazalie Masroeri
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU
Awal bulan ditandai dengan penampakan hilal yang dapat dilihat dengan mata di awal malam (sesaat setelah matahari terbenam). Kalau tidak tampak tidak disebut hilal. Hilal tidak hanya dalam angan-angan/
pemikiran; dan tidak hanya dalam dugaan/
keyakinan. Untuk mengetahui adanya penampakan hilal (ظُهُوْرُ
الْهِلاَل), diperlukan
upaya-upaya observasi, pengamatan, atau rukyah di lapangan.
Rukyah adalah sepatah kata isim berbentuk masdar, mempunyai fi’il ro-aa – yaroo (رَأَى - يَرَى). Kata رَأَى dan tashrifnya mempunyai banyak arti, antara lain: melihat, mengerti, mengetahui, memperhatikan, berpendapat, menduga, yakin, dan bermimpi.
Ketika kata ro-aa (رَأَى) dan tashrifnya dirangkaikan dengan objek / maf’ul bih (مَفْعُوْلٌ بِهِ) yang fisikal / thobii’iyyaat (طَبِيْعِيَّات) maka masdarnya adalah rukyah (رُؤْيَة); dan mempunyai arti tunggal yaitu “melihat dengan mata kepala”, baik dengan mata telanjang maupun dengan alat pembesar. Contoh :
رَأَى كَوْكَبًا – رُؤْيَةُ كَوْكَبٍٍ : Melihat Bintang
رَأَى اْلقَمَرَ –
رُؤْيَةُ الْقَمَرِ : Melihat Bulan
رَأَى الشَّمْسَ –
رُؤْيَةُ الشَّمْسِ : Melihat Matahari
رَأَى الْهِلاَلَ –
رُؤْيَةُ الْهِلاَلِ : Melihat Hilal. لِرُؤْيَتِهِ(Karena
Melihat Hilal)
Baca Surat Al-an’am ayat 76 s/d 78 untuk contoh 1, 2, dan 3. Dan baca berbagai As-Sunnah untuk contoh no. 4.
Sedangkan ro-aa (رَأَى) yang mempunyai arti lain, objeknya tidak fisikal (غَيْرُ طَبِيْعِيَّات). Adakalanya tanpa objek dan masdarnya bukan Rukyatun, tetapi ro’yun (رَأْيٌ). Ketika ro-aa mempunyai dua maf’ul bih (objek), maka mempunyai arti menduga atau yakin. Dan adakalanya bermakna mimpi, masdarnya ru’ya (الرُؤْيَا).
Rukyah sebagai sistem penentuan awal bulan qomariyah dengan cara melakukan pengamatan/ observasi terhadap penampakan hilal di lapangan, baik dengan mata telanjang maupun dengan menggunakan alat seperti teropong, pada hari ke 29 malam ke-30 dari bulan yang sedang berjalan. Apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar Rukyatul hilal. Tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu adalah tanggal 30 dari bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar Istikmal (menggenapkan 30 hari bagi bulan sebelumnya).
Ada pendapat bahwa rukyah itu hanya berlaku bagi masyarakat ummi/awam yang tidak mengetahui ilmu hisab, tetapi bagi masyarakat modern cukup dengan ilmu hisab tidak perlu rukyah. Pendapat ini mendasarkan pada hadits :
اِنَّا اُمَّةٌ اُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا (متفق عليه). قَالَ اْلبُخََارِيُّ : يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi,
tidak dapat menulis dan tidak dapat menghitung (menghisab). Umur bulan itu
sekian dan sekian,” (HR. Muttafaq ‘alaih). “Menurut al-Bukhari “sekian dan
sekian” ialah “kadang 29 hari dan kadang 30 hari.””
Pendapat demikian ini menunjukkan adanya pemahaman terhadap hadits tersebut secara hitam putih. Padahal sesungguhnya di balik hadits ini terdapat hikmah yang mendalam, yaitu:
Sifat keummian itu justru menunjukkan secara yakin tentang otentitas ad-dinul islam dibangun atas dasar wahyu, bukan dibangun atas dasar hasil pemikiran.
Hadits itu mengajarkan, bahwa usia bulan Qomariyyah kadang 29 hari dan kadang 30 hari, berbeda dengan umur bulan syamsiyah.
Nabi saw. mengajarkan rukyah sebagai kemudahan untuk umatnya.
Rukyah mempunyai nilai ibadah jika hasilnya digunakan untuk pelaksanaan ibadah seperti shiyam, ‘id, sholat gerhana, dan lain-lain.
Rukyah, pengamatan dan observasi benda-benda langit seperti letak matahari terbenam, posisi dan tinggi hilal, dan jarak antara hilal dan matahari dapat menambah kekuatan iman.
Rukyah itu ilmiah. Rukyah, pengamatan dan observasi benda-benda langit ribuan tahun lamanya dicatat dan dirumuskan, kemudian lahirlah ilmu astronomi dan ilmu hisab. Rukyah melahirkan hisab. Tanpa rukyah tak ada hisab.
Pendapat yang mengatakan tidak perlu rukyah
tetapi cukup hisab tersebut, sesungguhnya belum dapat memberi jalan keluar atas
terjadinya perbedaan pada metode dan kriteria hisab. Metode dan kriteria hisab
mana yang harus digunakan?
Pendapat yang mengatakan cukup dengan ilmu hisab, tidak sejalan dengan nash Mafhuumul ayat S. Al-baqarah a.185 dan a.189, Yunus a.5, dan Yasin a.39
Hadits-hadits
Tidak kurang dari 23 hadits tentang rukyah diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan lain-lain.
Rukyah dan hisab tidak perlu dipertentangkan. Keduanya dapat digunakan bersamaan. Rukyah sebagai penentu dan hisab sebagai pendukung. Hisab yang berkualitas tahqiqi/ tadqiqi/ ’ashri dan memenuhi kriteria imkanurrukyah dapat dijadikan sebagai pendukung, pemandu, dan pengontrol rukyah, sehingga menghasilkan rukyah yang berkualitas. Sebaliknya, rukyah dapat dijadikan sebagai sarana uji verifikasi atas hipotesis hisab.
Kriteria imkanurrukyah itu, secara empirik memenuhi ketentuan tinggi hilal 2 derajat, umur bulan 8 jam / jarak antara Matahari dan Bulan 3 derajat. Kriteria inipun sudah disepakati untuk kriteria Taqwim dan kriteria rukyah oleh Ormas-Ormas Islam dalam Lokakarya Hisab Rukyah yang diselenggarakan oleh Sub Direktorat Hisab Rukyah dan Pembinaan Syari’ah Kemenag RI, di Cisarua tahun 2011, yang kemudian disempurnakan dalam Lokakarya di Semarang tahun itu juga. Kriteria imkanurrukyah ini bukan dimaksudkan untuk mengganti rukyah, tetapi sebagai instrumen untuk menolak apabila ada laporan terlihatnya hilal ketika mayoritas ahli hisab menyatakan bahwa hilal pada hari itu belum imkanurrukyah.
Dari seluruh paparan tersebut, diharapkan dapat menjadi masukan dalam rangka mencari titik temu atas perbedaan yang serba majmu’ dalam menentukan awal Ramadlan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah.
* Makalah disampaikan dalam acara Mudzakarah di Aula TK Islam Al-Azhar lt.II Kampus Al-Azhar Kebayoran Baru, Senin 2 Juli 2012, yang dipanel dengan Prof. DR. Thomas Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN), dan Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Moderator : Dr. HM. Hartono, MM (Ka. Sekretariat Masjid Agung Al Azhar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar