Menghindari
Perkawinan Inces di Padang Savana
Senin, 09 Juli 2012
Dari NT ke NTT. Itulah jadwal perjalanan Presiden SBY pekan lalu. Dari North Teritory (NT) di Australia ke NTT (Nusa Tenggara Timur) di belahan timur Indonesia. Wilayahnya berdekatan, kondisi alamnya mirip-mirip, dan keduanya menjadi andalan untuk produksi daging bagi negara masing-masing.
Bedanya, produksi
ternak di NT berlebih untuk Australia, sedangkan produksi ternak NTT tidak
cukup untuk Indonesia. Tahun lalu Indonesia harus mengimpor sapi sampai 350.000
ekor, kebanyakan dari NT.
Problem itulah yang
menjadi fokus kunjungan Presiden SBY ke NT. Ini sangat serius karena bisa jadi
impor ternak dari NT akan terus bertambah, yang ujung-ujungnya kelak Indonesia
akan bergantung pada Australia. Apalagi, konsumsi daging kita akan terus
membubung seiring dengan terus naiknya kelas menengah di Indonesia.
Menurut laporan Bank
Dunia, jumlah kelas menengah kita naik drastis dalam delapan tahun terakhir.
Tahun lalu sudah mencapai 56,5 persen (131 juta), dari hanya 37 persen pada
2003.
Karena itu, kali ini
Presiden SBY membawa misi dua jalur: silakan pengusaha NT terus mengeskpor sapi
ke Indonesia, tapi juga harus diimbangi dengan investasi ternak di NTT. Atau di
provinsi lain di kawasan timur Indonesia.
Melihat kuatnya
imbauan presiden soal investasi ternak ini, saya menafsirkannya begini: kalau
Australia tidak juga mau investasi ternak di Indonesia, jangan salahkan
Indonesia kalau suatu saat nanti ada investor lain (asing maupun lokal) yang
menanam modal di NTT dan akhirnya Indonesia tidak akan mengimpor sapi lagi!
Dalam perjalanan
pulang ke NTT, Presiden SBY menegaskan agar para menteri aktif
menindaklanjutinya. Karena itu, ketika masih di dalam pesawat, saya minta izin:
mengunjungi padang savana Kabaru, 100 km dari Waingapu. Saya ingin tidur di
savana Kabaru untuk melihat peternakan besar di situ. Saya berjanji pagi-pagi
sudah tiba kembali di Waingapu untuk ikut penerbangan pesawat kepresidenan
kembali ke Jakarta.
Di savana Kabaru,
BUMN memiliki 7.000 ha padang gembalaan. Dibangun pada 1973, padang gembalaan
ini pernah berjaya. Dananya dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan manajemennya
dipegang ahli dari Australia. Tapi, kejayaan proyek ini tidak lama. Sejak
1980-an, tidak terlalu diurus lagi. Terakhir proyek ini, entah mengapa, berada
di bawah naungan PTPN 14 yang tugas pokoknya mengurus perkebunan.
Selama ini sebenarnya
sudah ada BUMN yang mengurus peternakan: PT Berdikari. Tapi, Berdikari juga
tidak terlalu fokus. Di samping memiliki peternakan seluas 6.000 ha di Sidrap,
Sulsel, PT Berdikari mengurus bisnis asuransi, pupuk, dan bahkan mebel.
Dengan hasil
kunjungan presiden ke NT itu, mau tidak mau, PT Berdikari harus lebih fokus.
Mengurus peternakan saja, tapi habis-habisan. Bidang usaha asuransi, pupuk, dan
mebel harus dilepas ke BUMN lain. Sebaliknya, PTPN 14 juga harus fokus ke
perkebunan dengan cara menyerahkan peternakan di savana Kabaru, Sumba, ke PT
Berdikari.
Saat saya tiba di
savana Kabaru, hari sudah malam. Sudah pukul 20.00. Mestinya sudah gelap. Tapi,
langit Sumba sangat terangnya: rembulan nisfu sya”ban mejeng dengan menornya.
Musim dingin di Australia membuat Sumba kebagian pula sejuknya. Sebuah purnama
di padang savana yang sangat sempurna. Sebuah malam yang tidak mungkin didapat
di Jakarta.
Malam itu, di gazebo
yang diterangi api unggun dan bulan purnama, masa depan padang penggembalaan
itu dibicarakan. Di situ ada Dirut PTPN 14 Budi Purnomo, Dirut PT Berdikari
Librato El Arif, dan Dirut PTPN 12 Singgih Irwan Basri. Ada juga Pak Wayan,
manajer peternakan yang tinggal di situ sejak 30 tahun lalu. Pak Wayanlah saksi
hidup pembangunan, kejayaan, dan kemerosotan peternakan BUMN ini.
Sementara rapat
sedang berlangsung, di dapur rumah Pak Wayan puluhan ibu sedang memasak: ayam
goreng kampung, telur tanpa kimia, daun pepaya, dan sambal terasi. Rapat pun
diskors ketika aroma ayam goreng dan sambal terasi terbawa angin sepoi savana
ke gazebo. Makan malam pun berlangsung di bawah langit malam yang terang,
disaksikan bulan purnama yang sangat ceria!
Menjelang tengah
malam, kesimpulan pun disepakati: peternakan ini harus berjaya kembali. Tentu
di bawah manajemen PT Berdikari. Bahkan, seperti yang ditekadkan oleh manajemen
PTPN 3, peternakan-peternakan di seluruh perkebunan sawit pun akan diserahkan
pengelolaannya ke PT Berdikari. Dengan demikian, program Sa-Sa (sapi-sawit)
juga akan mendapatkan manajemen yang tepat.
Yang masih memerlukan
kajian lebih lanjut adalah: perlukah peternakan ini dikombinasikan dengan
tanaman sorgum. Perlukah mengadopsi sistem kombinasi antara peternakan lepas
dan peternakan kandang. Perlukah membangun rumah potong hewan di situ agar
tidak mengalami keruwetan pengiriman sapi lewat laut ke Jawa.
Memang aneh, di pusat
peternakan sapi seperti Sumba belum ada industri pemotongan hewan. Ketika masih
jaya-jayanya pun, untuk menjualnya, sapi hasil Kabaru ini harus digiring ke
pelabuhan Waingapu yang berjarak hampir 100 km jauhnya. Rombongan sapi itu
digiring melalui savana tiga hari tiga malam (malam hari sapi ditidurkan di
perjalanan). “Saya sering ikut menggiring dengan cara naik kuda,” kata Pak
Wayan.
Susutnya berat sapi
dalam proses pengiriman ke Jawa ini tentu tidak terjadi kalau ada pemotongan
hewan di Sumba. Proses pengiriman dagingnya pun bisa lebih sederhana. Di masa
lalu mungkin tidak gampang mencari ahli pemotongan dan sumber listrik untuk
cold storage-nya. Namun, dengan adanya kemajuan pembangunan belakangan ini
mestinya berbagai hambatan itu tidak seberat dulu.
Kini, dengan
pengelolaan seadanya pun, masih terdapat 3.700 sapi di Kabaru. Jumlah ini
sebenarnya perkiraan saja. Menghitung sapi yang dilepas liar di padang yang
begitu luas tentu tidaklah mudah. Setiap periode semua sapi memang dikumpulkan
di satu kawasan untuk dihitung ulang.
Tapi, sapi yang terus
bergerak sulit dihitung. Pernah suatu saat dipakai cara ini: sapi yang sudah
dihitung dipotong buntutnya. Ini agar ketahuan mana yang sudah dihitung dan
mana yang belum. Tapi, cara ini menyiksa. Bahkan, banyak juga sapi yang
bersembunyi di gulma-gulma liar yang sulit dimasuki kuda.
Kelak, cara yang
lebih modern harus dilakukan. Misalnya di setiap telinga sapi dipasangi chip
yang bisa dimonitor di komputer. Ini sekaligus untuk mengetahui adakah sapi
yang dicuri dan apakah ada yang disate di savana itu sendiri.
Yang juga harus
dilakukan adalah mendatangkan pejantan murni. Impor pejantan kelihatannya harus
dilakukan secara rutin. Yang terjadi selama ini, sapi-sapi di savana tersebut
sudah saling kawin silang. Bisa jadi pejantan yang ada sudah mengawini ibunya
atau neneknya sendiri. Inilah yang menyebabkan sapinya kian mengecil sehingga
kurang menguntungkan.
Ini berbeda dengan
masa jaya dulu. Di samping didatangkan sapi khusus pejantan, dilakukan gerakan
pengebirian masal. Setiap lahir sapi jantan, langsung dikebiri. Memang kasihan
sapi jantan di situ yang tidak pernah bisa menikmati kejantanannya. Namun,
itulah cara menghindari perkawinan inces yang hanya akan memerosotkan kualitas
ternak.
Kekurangan 350.000
ekor sapi setiap tahun bukanlah perkara yang mudah mengatasinya. Satu padang
penggembalaan yang begitu luas di Kabaru pun hanya bisa menghasilkan 5.000-an
sapi per tahun. Kalaupun nanti dikombinasikan dengan sistem kandang, paling
hanya bisa meningkat menjadi 10.000 ekor. Betapa banyak peternakan yang masih
harus dibangun.
Tapi, bukankah untuk
mencapai seribu langkah tetap saja harus ada ayunan pertama? (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar