Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
INTENSITAS penyelundupan Narkoba yang begitu
tinggi akhir-akhir ini memberi bukti tentang belum efektifnya strategi perang
melawan jaringan perdagangan narkotika internasional. Beragam bukti menunjukan
kelemahan terbesar justru ada di dalam negeri. Semua instrumen penangkal sudah
bisa dijebol sindikat internasional. BNN perlu menginisiasi sebuah
strategi baru yang lebih efektif.
Penelitian pada 2011 menyebutkan bahwa para
bandar besar narkoba berhasil memasukan 48 juta butir pil ekstasi ke ‘pasar’
Indonesia. Pihak berwajib hanya bisa menyita 880.000 butir. Artinya,
lebih dari 47 juta butir pil ekstasi bisa diperjualbelikan di dalam negeri.
Untuk jenis shabu. Jumlah yang dimasukan ke dalam negeri mencapai 49.000 ribu
kilogram. Tetapi, pihak berwajib hanya bisa menyita 354 kilogram. Volume shabu
yang diperdagangkan di dalam negeri sangat besar. Angka-angka ini
mengilustrasikan kelemahan Indonesia dalam memerangi penyelundupan dan jaringan
perdagangan narkotika.
Jumat Pekan lalu, polisi menangkap
oknum petugas Rutan Cipinang, MY, tak jauh dari tempat kerjanya. Dia kedapatan
membawa 200 gram shabu kualitas bagus. Diduga barang impor, MY
terindikasi sebagai anggota jaringan sindikat internasional.
Belakangan, diketahui bahwa shabu dalam
genggaman MY milik AY, terpidana yang mendekam di Rutan Cipinang. AY
menyuruh MY untuk memberikan shabu itu kepada dua tersangka lain, AL dan IW.
Dari penangkapan itu, polisi menyita 11 telepon seluler, satu tablet Ipad, 50 gram
shabu-shabu serta sebuah mobil milik AY. Semua barang itu di sita dari
ruang tahanan AY di Rutan Cipinang Kelas I.
Sebelumnya, di Cengkareng, Jakarta Barat,
polisi menangkap WW, warga negara Malaysia. Dari bagasi mobil yang dikendarai
WW, Polisi menyita dua tas berisi 40 kg sabu senilai Rp 85 miliar. Dari
penelusuran lanjutan, polisi menduga shabu yang dibawa WW milik ANDTO yang juga
penghuni Rutan Cipinang.
Pada kasus lainnya, polisi bahkan menangkap
tiga oknum pegawai Bea dan Cukai (BC) di pelabuhan Tanjung Priok yang bertugas
sebagai pemeriksa dokumen serta pemeriksa barang. Oknum pegawai BC
berinisial Joy mengaku disuap untuk mempercepat masuknya paket berisi 351 kg
sabu dari Malaysia.. Kepada polisi, Joy mengaku menerima suap Rp 3,5 juta
hingga Rp 7 juta.
Contoh-contoh kasus tadi sengaja
dikedepankan untuk memberi gambaran tentang betapa semua instrumen negara yang
berfungsi menangkal penyelundupan narkoba sudah dijebol oleh jaringan sindikat
perdagangan narkotika internasional. Badan Narkotika Nasional (BNN) mengakui
bahwa keterlibatan aparat tak bisa lagi dipungkiri.
Penetrasi Sindikat
Sindikat narkotika sudah merekrut oknum
polisi, oknum pegawai BC dan oknum sipir penjara sebagai anggota jaringan
mereka. Tidak mengherankan jika dalam sejumlah operasi penggerebekan, polisi
seringkali tidak mendapatkan apa-apa karena rencana operasi sudah dibocorkan
oleh oknum polisi sendiri. Tentu saja, kalau para bandar besar yang sudah
mendekam di penjara pun masih bisa melakukan transaksi dan mengoperasikan
jaringannya, apalagi para bandar besar yang berada di luar penjara.
Penjara di Indonesia pun sudah tidak efektif
lagi memutus akses dan jaringan para bandar besar narkoba. Alih-alilh memutus
akses dan jaringan, oknum sipir penjara justru menyediakan diri untuk membantu
para bandar besar narkoba. Oknum-oknum sipir itu justru membuka kembali akses
para bandar besar, serta menyambungkan kembali mata rantai perdagangan dan
distribusi narkoba yang semestinya sudah diputus begitu para bandar besar itu
ditangkap, menjadi tersangka dan menjadi terpidana.
Skenario itu terbaca dengan jelas pada kasus
oknum sipir Rutan Cipinang MY dan sang bandar besar AY. Tak hanya
dibukakan akses dan jaringannya, oknum sipir di Rutan Cipinang bahkan
membolehkan AY menggunakan belasan nomor telepon dan Ipad. Gilanya lagi, AY
boleh membawa mobil pribadinya ke Rutan Cipinang. Berarti, oknum sipir Rutan
Cipinang telah memberi kebebasan kepada AY untuk setiap saat bepergian kemana
pun dia ingin pergi.
Bertolak dari kasus MY-AY ini, muncul
pertanyaan tentang apa hasil signifikan dari rangkaian inspeksi mendadak
(Sidak) yang dilakukan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana ke sejumlah
Rutan beberapa waktu lalu? Kalau para bandar besar berstatus terpidana di Rutan
Cipinang masih bisa begitu leluasa menjalankan bisnis ilegal itu, Sidak
Wamenkumham Denny praktis belum membuahkan hasil apa pun.
Cegah tangkal penyelundupan narkoba di
pelabuhan dan Bandara pun sudah tidak efektif lagi. Setidaknya, kasus yang
melibatkan oknum pegawai BC berinisial Joy menjadi bukti bahwa pemeriksa
dokumen dan pemeriksa barang impor di pelabuhan dan Bandara pun sudah dilumpuhkan
sindikat penyelundup narkoba.
Padahal, efektivitas cegah tangkal
penyelundupan narkotika di Bandara dan pelabuhan menjadi faktor kunci. Heroin
atau kokain tidak diproduksi di Indonesia, karena bahan bakunya memang
tidak ada di Indonesia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar
barang haram itu di produksi di Amerika Selatan dan satu dua negara di
kawasan Asia. Kalau bisa masuk ke Indonesia, berarti masuk melalui jalur dan
mekanisme impor. Dengan begitu, efektivitas cegah tangkal penyelundupan
narkotika di pelabuhan dan Bandara menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar.
Sebab, dewasa ini, kejahatan narkoba sudah
berskala transnasional organized crime. Dan, Indonesia adalah ‘pasar’ gemuk
yang terus dijajaki sindikat Nigeria dan Sindikat Iran, yang kemudian disusul
oleh sindikat Malaysia. Mengingat ancaman risikonya sangat besar bagi
masyarakat, khususnya kaum muda Indonesia, treatment terhadap kejahatan yang
satu ini tidak bisa lagi ala kadarnya seperti sekarang. Sistem Hukum Indonesia
harus memberi respons ekstra keras terhadap siapa pun yang terbukti ikut atau
terlibat dalam kejahatan ini. Boleh jadi, ini menjadi terorisme model baru.
Kerja sama lintas negara untuk memerangi
jaringan kejahatan narkotika internasional harus terus dipertajam. Namun, jauh
lebih penting adalah meningkatkan efektivitas cegah tangkal penyelundupan
narkoba ke dalam negeri. Sudah terbukti bahwa cukup banyak oknum di sejumlah
institusi negara terkait terlibat dan menjadi anggota jaringan penyelundupan
narkotika. Kalau tidak segera dilakukan pembersihan, jaringan itu akan terus
meluas pada institusi-instutusi bersangkutan. Kemungkinan ini sangat besar
karena jumlah uang dalam perdagangan narkotika sangat besar.
Penetrasi sindikat perdagangan narkotika
internasional ke Indonesia sudah melahirkan persoalan yang sangat serius. Tidak
hanya pada ekses yang diterima komunitas pemakai shabu, kokain atau herois
serta ekstasi, tetapi juga penetrasi sindikat itu ke institusi-institusi
negara. BNN mencatat bahwa dari setiap kasus narkoba yang terungkap selalu
melibatkan aparat sebagai beking. Hendaknya hal ini dimaknai sebagai indikasi.
BNN memang harus bekerja lebih keras lagi.
Tetapi patut juga dipahami bahwa BNN tidak bisa sendirian. Oleh karena itu, BNN
perlu menggagas sinergitas baru dengan semua institusi terkait. Sinergi yang
tidak hanya disepakati di tingkat atas tetapi tidak dipedulikan di tingkat
lapangan. Misalnya, karena oknum sipir penjara tak juga jera diperalat bandar
besar narkoba, tidak ada salahnya BNN mempunyai dan mengelola sendiri penjara
khusus untuk penjahat narkoba. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar