Selasa, 24 Juli 2012

BamSoet: Waspadai Penetrasi Sindikat Narkoba

Waspadai Penetrasi Sindikat Narkoba


Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI



INTENSITAS penyelundupan Narkoba yang begitu tinggi akhir-akhir ini memberi bukti tentang belum efektifnya strategi perang melawan jaringan perdagangan narkotika internasional. Beragam bukti menunjukan kelemahan terbesar justru ada di dalam negeri. Semua instrumen penangkal sudah bisa dijebol sindikat internasional.  BNN perlu menginisiasi sebuah strategi baru yang lebih efektif.



Penelitian pada 2011 menyebutkan bahwa para bandar besar narkoba berhasil memasukan 48 juta butir pil ekstasi ke ‘pasar’ Indonesia. Pihak berwajib hanya bisa menyita 880.000  butir. Artinya, lebih dari 47 juta butir pil ekstasi bisa diperjualbelikan di dalam negeri. Untuk jenis shabu. Jumlah yang dimasukan ke dalam negeri mencapai 49.000 ribu kilogram. Tetapi, pihak berwajib hanya bisa menyita 354 kilogram. Volume shabu yang diperdagangkan di dalam negeri sangat  besar. Angka-angka ini mengilustrasikan kelemahan Indonesia dalam memerangi penyelundupan dan jaringan perdagangan narkotika.



Jumat Pekan lalu,  polisi menangkap oknum petugas Rutan Cipinang, MY, tak jauh dari tempat kerjanya. Dia kedapatan membawa 200 gram shabu kualitas bagus.  Diduga barang impor, MY terindikasi sebagai anggota jaringan sindikat internasional.



Belakangan, diketahui bahwa shabu dalam genggaman MY milik AY, terpidana yang mendekam di Rutan Cipinang.  AY menyuruh MY untuk memberikan shabu itu kepada dua tersangka lain, AL dan IW. Dari penangkapan itu, polisi menyita 11 telepon seluler, satu tablet Ipad, 50 gram shabu-shabu serta sebuah mobil  milik AY. Semua barang itu di sita dari ruang tahanan AY di Rutan Cipinang Kelas I.



Sebelumnya, di Cengkareng, Jakarta Barat, polisi menangkap WW, warga negara Malaysia. Dari bagasi mobil yang dikendarai WW, Polisi menyita dua tas berisi 40 kg sabu senilai Rp 85 miliar. Dari penelusuran lanjutan, polisi menduga shabu yang dibawa WW milik ANDTO yang juga penghuni Rutan Cipinang.



Pada kasus lainnya, polisi bahkan menangkap tiga oknum pegawai Bea dan Cukai (BC) di pelabuhan Tanjung Priok yang bertugas sebagai pemeriksa dokumen serta pemeriksa barang.  Oknum pegawai BC berinisial Joy mengaku disuap untuk mempercepat masuknya paket berisi 351 kg sabu dari Malaysia.. Kepada polisi, Joy mengaku menerima suap Rp 3,5 juta hingga Rp 7 juta.



Contoh-contoh kasus  tadi sengaja dikedepankan untuk memberi gambaran tentang betapa semua instrumen negara yang berfungsi menangkal penyelundupan narkoba sudah dijebol oleh jaringan sindikat perdagangan narkotika internasional. Badan Narkotika Nasional (BNN) mengakui bahwa keterlibatan aparat tak bisa lagi dipungkiri.



Penetrasi Sindikat



Sindikat narkotika sudah merekrut oknum polisi, oknum pegawai BC dan oknum sipir penjara sebagai anggota jaringan mereka. Tidak mengherankan jika dalam sejumlah operasi penggerebekan, polisi seringkali tidak mendapatkan apa-apa karena rencana operasi sudah dibocorkan oleh oknum polisi sendiri. Tentu saja, kalau para bandar besar yang sudah mendekam di penjara pun masih bisa melakukan transaksi dan mengoperasikan jaringannya, apalagi para bandar besar yang berada di luar penjara.



Penjara di Indonesia pun sudah tidak efektif lagi memutus akses dan jaringan para bandar besar narkoba. Alih-alilh memutus akses dan jaringan, oknum sipir penjara justru menyediakan diri untuk membantu para bandar besar narkoba. Oknum-oknum sipir itu justru membuka kembali akses para bandar besar, serta menyambungkan kembali mata rantai perdagangan dan distribusi narkoba yang semestinya sudah diputus begitu para bandar besar itu ditangkap, menjadi tersangka dan menjadi terpidana.



Skenario itu terbaca dengan jelas pada kasus oknum sipir Rutan Cipinang MY dan sang bandar besar AY.  Tak hanya dibukakan akses dan jaringannya, oknum sipir di Rutan Cipinang bahkan membolehkan AY menggunakan belasan nomor telepon dan Ipad. Gilanya lagi, AY boleh membawa mobil pribadinya ke Rutan Cipinang. Berarti, oknum sipir Rutan Cipinang telah memberi kebebasan kepada AY untuk setiap saat bepergian kemana pun dia ingin pergi.



Bertolak dari kasus MY-AY ini, muncul pertanyaan tentang apa hasil signifikan dari rangkaian inspeksi mendadak (Sidak) yang dilakukan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana ke sejumlah Rutan beberapa waktu lalu? Kalau para bandar besar berstatus terpidana di Rutan Cipinang masih bisa begitu leluasa menjalankan bisnis ilegal itu, Sidak Wamenkumham Denny praktis belum membuahkan hasil apa pun.



Cegah tangkal penyelundupan narkoba di pelabuhan dan Bandara pun sudah tidak efektif lagi. Setidaknya, kasus yang melibatkan oknum pegawai BC berinisial Joy menjadi bukti bahwa pemeriksa dokumen dan pemeriksa barang impor di pelabuhan dan Bandara pun sudah dilumpuhkan sindikat penyelundup narkoba. 



Padahal, efektivitas cegah tangkal penyelundupan narkotika di Bandara dan pelabuhan menjadi faktor kunci. Heroin atau kokain tidak diproduksi di  Indonesia, karena bahan bakunya memang tidak ada di Indonesia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar barang haram itu di produksi di  Amerika Selatan dan satu dua negara di kawasan Asia. Kalau bisa masuk ke Indonesia, berarti masuk melalui jalur dan mekanisme impor. Dengan begitu, efektivitas cegah tangkal penyelundupan narkotika di pelabuhan dan Bandara menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar.



Sebab, dewasa ini, kejahatan narkoba sudah berskala transnasional organized crime. Dan, Indonesia adalah ‘pasar’ gemuk yang terus dijajaki sindikat Nigeria dan Sindikat Iran, yang kemudian disusul oleh sindikat Malaysia. Mengingat ancaman risikonya sangat besar bagi masyarakat, khususnya kaum muda Indonesia, treatment terhadap kejahatan yang satu ini tidak bisa lagi ala kadarnya seperti sekarang. Sistem Hukum Indonesia harus memberi respons ekstra keras terhadap siapa pun yang terbukti ikut atau terlibat dalam kejahatan ini. Boleh jadi, ini menjadi terorisme model baru.



Kerja sama lintas negara untuk memerangi jaringan kejahatan narkotika internasional harus terus dipertajam. Namun, jauh lebih penting adalah meningkatkan efektivitas cegah tangkal penyelundupan narkoba ke dalam negeri. Sudah terbukti bahwa cukup banyak oknum di sejumlah institusi negara terkait terlibat dan menjadi anggota jaringan penyelundupan narkotika. Kalau tidak segera dilakukan pembersihan, jaringan itu akan terus meluas pada institusi-instutusi bersangkutan. Kemungkinan ini sangat besar karena jumlah uang dalam perdagangan narkotika sangat besar.  



Penetrasi sindikat perdagangan narkotika internasional ke Indonesia sudah melahirkan persoalan yang sangat serius. Tidak hanya pada ekses yang diterima komunitas pemakai shabu, kokain atau herois serta ekstasi, tetapi juga penetrasi sindikat itu ke institusi-institusi negara. BNN mencatat bahwa dari setiap kasus narkoba yang terungkap selalu melibatkan aparat sebagai beking. Hendaknya hal ini dimaknai sebagai indikasi.



BNN memang harus bekerja lebih keras lagi. Tetapi patut juga dipahami bahwa BNN tidak bisa sendirian. Oleh karena itu, BNN perlu menggagas sinergitas baru dengan semua institusi terkait. Sinergi yang tidak hanya disepakati di tingkat atas tetapi tidak dipedulikan di tingkat lapangan. Misalnya, karena oknum sipir penjara tak juga jera diperalat bandar besar narkoba, tidak ada salahnya BNN mempunyai dan mengelola sendiri penjara khusus  untuk penjahat narkoba. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar