Abah Sorgum yang
Mendorong Tepung Antiautis
Senin, 16 Juli 2012
Sejumlah ahli sorgum berkumpul di Kementerian Riset dan Teknologi. Saya dan Menristek Dr Gusti M. Hatta ikut hadir. Mereka bukan saja yang ahli dalam hal keilmuan seperti Prof Dr Sungkono dari Universitas Lampung (dan IPB), tapi juga para praktisi yang sudah mempraktikkan menanam sorgum di berbagai wilayah.
Kita memang punya
problem yang kelihatannya sulit dipecahkan seumur hidup kita: Kita ini akan
terus impor gandum besar-besaran setiap tahun. Sejak lebih 40 tahun lalu dan
sampai entah berapa ratus tahun lagi. Kebiasaan kita makan mi dan roti tidak
akan bisa dibendung lagi. Berarti pemakaian gandum akan terus meningkat.
Padahal, kita tidak bisa menanam gandum di Indonesia. Tanah kita dan iklim kita tidak cocok untuk tanaman gandum. Kecuali, ahli-ahli pertanian kita menemukan cara baru kelak. Yakni, cara memanfaatkan lahan yang tidak subur untuk gandum. Kita tidak mungkin menggunakan sawah-sawah subur kita karena akan mengancam tanaman padi.
Itulah sebabnya,
setelah belajar dari apa yang dilakukan BUMN PT Hijau Lestari di Jabar, saya
terpikir untuk mengembangkan sorgum. Tanaman itu tidak asing bagi saya. Waktu
kecil saya pernah menanam sorgum di desa saya. Waktu itu disebut jagung cantel.
Bisa untuk nasi, bubur, camilan, ataupun tepung. Bisa juga untuk marning
(popcorn dalam bentuk yang lebih kecil).
Menristek, Pak Gusti
M. Hatta, menginformasikan bahwa di lingkungannya banyak ahli yang bisa digali
ilmunya. Tidak hanya tentang menanam sorgum, tapi juga industri hilirnya.
Termasuk yang dari IPB, Unpad, dan Unila. Mereka itulah yang berkumpul pekan
lalu. Pertemuan pun berlangsung dengan dinamisnya.
Bahkan, mata Prof
Sungkono sampai berlinang-linang. Saking terharu dan bersemangatnya. “Saya ini
ahli sorgum yang baru sekarang didengar pendapat saya. Inilah mimpi saya.
Sorgum diperhatikan,” ujarnya.
Putusan pun dibuat
hari itu. BUMN akan mencari 15.000 ha tanah tidak subur untuk ditanami sorgum
secara besar- besaran. Selama ini, di Jabar BUMN memang sudah membina petani
untuk menanam sorgum, tapi kecil-kecilan. Sebab, lahannya milik petani, yang
luasannya memang terbatas.
Tapi, banyak petani
lahan kering yang jatuh cinta. Sampai-sampai ada seorang petani yang aslinya
bernama Supardi yang tinggal di Soreang, Kabupaten Bandung, mendapat panggilan
baru: Abah Sorgum. Sebab, dia sangat gigih meyakinkan petani lain untuk menanam
sorgum. Juga karena Abah Sorgum terus menciptakan makanan berbasis tepung
sorgum.
Pengalaman Jabar
itulah yang memberikan keyakinan untuk pengembangan besar-besaran.
Lahan-lahannya siap didapat: Jatim (Banyuwangi Timur Laut yang kurang subur),
Sulsel, Sultra, dan Sumba. Di lokasi-lokasi tersebut BUMN memang memiliki tanah
tandus sangat luas yang kurang produktif. Akhir tahun ini lahan-lahan itu sudah
harus berubah menjadi kawasan sorgum.
Tentu dalam waktu
yang dekat, diperlukan benih sorgum dalam jumlah besar. Sampai 50 ton. Tapi,
tidak akan sulit. Bisa disiapkan lahan 100 ha yang akan ditanami sorgum khusus
untuk benih. Kelebihan sorgum itu, saat untaian buahnya siap dipanen, batang
dan daunnya masih hijau. Itu sangat seksi untuk
makanan ternak. Tiap hektare bisa menghasilkan batang/daun sampai 50 ton. Karena itu, tanam sorgum dalam skala besar akan dikaitkan dengan program peternakan sapi skala besar pula. Baik yang di Sumba, Sulsel, Sultra, maupun Jatim.
makanan ternak. Tiap hektare bisa menghasilkan batang/daun sampai 50 ton. Karena itu, tanam sorgum dalam skala besar akan dikaitkan dengan program peternakan sapi skala besar pula. Baik yang di Sumba, Sulsel, Sultra, maupun Jatim.
Memang tepung sorgum
memiliki kelemahan: tepungnya tidak bisa mengembang. Tidak seperti terigu.
Karena itu, tepung sorgum tidak bisa untuk membuat roti. Harus dicampur gandum.
Kalau dicampur gandum, rotinya justru akan lebih baik. Dengan demikian, impor
gandum bisa berkurang 30 persen. Satu jumlah yang sangat besar.
Tapi, sorgum memiliki
kelebihan yang luar biasa. Di samping harganya lebih murah, tepung sorgum tidak
mengandung unsur gluten, zat yang bisa membuat anak menjadi autis. Karena itu,
untuk makanan seperti kue dan biskuit yang tidak memerlukan proses mengembang,
sorgum adalah jawabnya.
Walhasil, sorgum akan
menjadi unggulan BUMN di samping program pangan lain, seperti Proberas, Yarnen,
pencetakan sawah baru, pengadaan beras Bulog, peningkatan produksi gula, garam,
pabrik sagu, dan ternak sapi.
Semuanya berat, tapi
bukan tidak mungkin terwujud. (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar