Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
KEJAHATAN terhadap negara yang dilakukan
oknum pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Keuangan saat ini sudah sangat
mencemaskan. Rakyat kecewa karena remunerasi sekali pun gagal memperbaiki
akhlak dan moral mereka. Maka, menjadi kewajiban Menteri Keuangan untuk
memperkecil celah pencurian di pos-pos penerimaan negara.
Duapuluhtujuh (27) tahun lalu, Departemen
Keuangan (kini Kementerian Keuangan) menerima sanksi sangat ekstrim, yakni mosi
tidak percaya dari Presiden Republik Indonesia. Pada pekan pertama April
1985, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.4/1985 untuk
melucuti hampir semua wewenang Direktorat Jenderal Bea Cukai (BC) Departemen
Keuangan. Inpres ini terang-terangan menunjukan ketidakpercayaan Presiden RI
terhadap Ditjen Bea Cukai sebagai administrator kepabeanan di republik tercinta
ini. Ditjen BC dituduh sebagai institusi paling korup dengan birokrasi rumit,
yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Fungsi dan tugas kepabeanan Ditjen BC
kemudian dipercayakan dan diserahkan kepada SGS (Société Générale de
Surveillance), surveyor dari Swiss yang seabad lebih berpengalaman mengawasi
lalu lintas ekspor impor. Jelas bahwa penugasan SGS tidak gratis, sebab
pemerintah harus membayar ratusan miliar rupiah per tahunnya kepada perusahaan
yang berpusat di Jenewa itu. Agar Ditjen BC tidak menjadi institusi yang
menganggur, pemerintah tetap memberi pekerjaan ala kadarnya, berupa layanan
impor senjata, peluru dan perlengkapan ABRI (kini TNI), komoditi dagang
bernilai kurang dari lima ribu dolar AS. minyak bumi mentah, barang pindahan, permata,
barang kesenian, dan logam mulia.
Sementara pegawai Ditjen BC meradang,
komunitas ekspor-impor bersorak sorai menyambut perberlakuan Inpres No.4/1985.
Sebelum Inpres itu diterbitkan, mengurus dokumen ekspor-impor di Ditjen BC
sangat rumit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Anda harus melintasi
lebih dari 50 meja dan setiap meja yang disinggahi adalah biaya.
Saat itu, oknum Ditjen BC digambarkan sebagai
PNS yang ugal-ugalan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Inpres No.4/1985
diterbitkan untuk mengoreksi perilaku ugal-ugalan itu. Bagi sebagian orang,
koreksi itu memang sangat menyakitkan. Tetapi, inisiatif perbaikan saat itu
harus digagas, dan Presiden Soeharto dengan berani menandatangani dan
memberlakukan Inpres yang sangat ekstrim itu. Baru pada April 1997, fungsi
Ditjen BC dipulihkan lagi bersamaan dengan lahirnya undang-undang No.10/1995
tentang kepabeanan. Jadi, praktis selama 12 tahun Ditjen BC menjalani sanksi
dinonaktifkan.
Ugal-Ugalan Lagi
Saat ini, kejahatan di sektor pajak dan
kepabeanan pun mulai terlihat ugal-ugalan. Namun, tidak berarti semua PNS pada
Ditjen Pajak dan Ditjen BC berperilaku buruk. Sebaliknya, sebagian besar dari
mereka tetaplah pribadi-pribadi terpuji yang bekerja keras mengabdi negara. Itu
sebabnya, kontribusi pajak dan cukai dari tahun-tahun terus dinaikan, dan kerja
keras mereka berhasil memenuhi target yang dipatok Anggaran Pendapatan dan
Belanja negara (APBN). Publik juga mencatat bahwa kualitas pelayanan aparatur
pajak dan cukai terus membaik dari waktu ke waktu.
Namun, sudah terbukti bahwa prestasi gemilang
institusi pajak dan cukai terlalu sering dicoreng oleh perilaku tak terpuji
oknum-oknum pada institusi mereka sendiri. Situasinya menjadi semakin tidak
mengenakan bagi jajaran Ditjen Pajak maupun Ditjen BC, karena publik menangkap
kesan bahwa kejahatan terhadap negara yang dilakukan oknum PNS di Ditjen Pajak
dan Ditjen BC semakin ugal-ugalan. Oknum-oknum itu terkesan tidak jera.
Masyarakat hanya bisa geleng-geleng kepala
menyimak pemberitaan tentang rangkaian kejahatan terhadap negara yang dilakukan
oknum PNS di Kemenkeu dalam tahun-tahun belakangan ini. Pengungkapan kasusnya
silih berganti. Dari kasus Bahasyim Assifie berlanjut ke kasus Gayus Tambunan.
Usai kasus Gayus, terungkap kasus Dhana Wydiatmaka. Belum tuntas kasus Dhana,
KPK mengungkap kasus Tommy Hindratno, serta menangkap dua oknum pegawai
Ditjen BC yang diduga menerima suap untuk mengeluarkan barang sitaan dari
gudang Bandara Soekarno-Hatta.
Itu kasus-kasus yang sudah terungkap. Orang
dalam di Ditjen Pajak maupun Ditjen Bea Cukai mensiyalir masih banyak kasus
yang belum diungkap penegak hukum. Misalnya, kasus pajak Paulus Tumewu yang
belum jelas penanganannya, serta kasus restitusi pajak Rp 7,2 trilyun yang
diminta PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) dan PT Multimas Nabati Asahan (MNA)
milik Wilmar Group.
Sementara kejahatan di sektor kepabeanan
ditandai dengan tingginya gelombang penyelundupan. Penyelundupan produk yang
mengandung racun, produk kategori sampah, produk manufaktur kualitas rendah
hingga narkotika dimasukan ke pasar dalam negeri nyaris tanpa hambatan. Di sisi
lain, keberhasilan aparatur BC menggagalkan penyelundupan tetap harus
diapresiasi. Tetapi, harus juga diakui kalau intensitas arus penyelundupan
aneka barang ke pasar dalam negeri tetap tinggi.
Dalam sebuah kesempatan belum lama ini, Wakil
Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, penyelundupan bukan masalah
yang ringan untuk diatasi. Penyelundupan bukan hal yang baru dan sudah mengakar
di Indonesia. Memperkuat pernyataan itu, sebuah asosiasi dagang mengungkapkan
bahwa di pasar dalam negeri saat ini, beredar sejumlah produk impor selundupan
yang tidak memenuhi persyaratan, meliputi produk makanan minuman, produk
elektronik, hortikultura, tekstil dan kosmetik. Aneka produk ini didatangkan
dari China, India, Prancis dan Malaysia.
Maraknya penyelundupan akhir-akhir ini
menimbulkan persepsi yang buruk bagi aparat Ditjrn BC. Diasumsikan bahwa
sebelum Inpres No.4/1985 diberlakukan 27 tahun lalu, oknum Ditjen BC
memburu uang sogok atau pungutan liar. Kini, oknum Ditjen BC dicurigai
‘ngobyek’ dengan cara membuka akses untuk penyelundupan. Dampak kejahatan ini
sangat serius. Tidak hanya ‘membunuh produk dalam negeri’ tetapi juga
menimbulkan kerugian negara yang sangat besar.
Kejahatan oleh oknum PNS di sektor pajak dan
kepabeanan sudah sangat mencemaskan. Karena itu, Menteri Keuangan tidak cukup
hanya prihatin menyaksikan rangkaian kejahatan terhadap negara yang dilakukan
oknum PNS di kementerian Keuangan (Kemenkeu). Keduanya adalah pos-pos yang
mengelola pendapatan negara. Dari rangkaian kejahatan itu, publik dengan mudah
berasumsi bahwa potensi pendapatan negara dari pajak dan cukai jauh lebih besar
jika ruang bagi oknum PNS melakukan kejahatan bisa diperkecil.
Tentu saja, sejarah mosi tidak percaya
terhadap Ditjen BC (Inpres No.4/1985) 27 tahun lalu itu tidak perlu diulangi.
Akan tetapi, aparatur Ditjen Pajak dan Ditjen BC harus juga realistis bahwa kepercayaan
publik terhadap dua institusi yang mengelola pendapatan negara ini terus
merosot. Kasus demi kasus penyalahgunaan wewenang terus terungkap. Rakyat
sangat kecewa karena remunerasi yang menghabiskan anggaran sangat besar itu
terkesan sama sekali tidak efektif memperbaiki akhlak dan moral banyak
oknum PNS.
Karena itu, harus ada upaya dari pimpinan
Kemenkeu mensterilkan pos-pos pengelolaan pendapatan negara dari oknum-oknum
yang berperilaku korup. Diperlukan kemauan dan keberanian melancarkan gerakan
sapu bersih terhadap oknum PNS dengan perilaku tak terpuji.
Selain itu, kecenderungan itu harus diperangi
secara konsisten dan tegas. Bagi mereka yang terbukti korup dan divonis oleh
pengadilan, jatuhkan sanski yang seberat-beratnya. Pemerintah bersama penegak
hukum harus berani merumuskan sanksi hukum dan sanksi sosial yang efektif
menumbuhkan efek jera. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar