Jumat, 13 Juli 2012

BamSoet: Cemas Melihat Kejahatan Pajak dan Cukai

Cemas Melihat Kejahatan Pajak dan Cukai


Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI/

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia



KEJAHATAN terhadap negara yang dilakukan oknum pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Keuangan saat ini sudah sangat mencemaskan. Rakyat kecewa karena remunerasi sekali pun gagal memperbaiki akhlak dan moral mereka. Maka, menjadi kewajiban Menteri Keuangan untuk memperkecil celah pencurian di pos-pos penerimaan negara.



Duapuluhtujuh (27) tahun lalu, Departemen Keuangan (kini Kementerian Keuangan) menerima sanksi sangat ekstrim, yakni mosi tidak percaya dari Presiden Republik Indonesia.  Pada pekan pertama April 1985, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.4/1985 untuk melucuti hampir semua wewenang Direktorat Jenderal Bea Cukai (BC) Departemen Keuangan. Inpres ini terang-terangan menunjukan ketidakpercayaan Presiden RI terhadap Ditjen Bea Cukai sebagai administrator kepabeanan di republik tercinta ini. Ditjen BC dituduh sebagai institusi paling korup dengan birokrasi rumit, yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).



Fungsi dan tugas kepabeanan Ditjen BC kemudian dipercayakan dan diserahkan kepada SGS (Société Générale de Surveillance), surveyor dari Swiss yang seabad lebih berpengalaman mengawasi lalu lintas ekspor impor. Jelas bahwa penugasan SGS tidak gratis, sebab pemerintah harus membayar ratusan miliar rupiah per tahunnya kepada perusahaan yang berpusat di Jenewa itu. Agar Ditjen BC tidak menjadi institusi yang menganggur, pemerintah tetap memberi pekerjaan ala kadarnya, berupa layanan impor senjata, peluru dan perlengkapan ABRI (kini TNI), komoditi dagang bernilai kurang dari lima ribu dolar AS. minyak bumi mentah, barang pindahan, permata, barang kesenian, dan logam mulia.



Sementara pegawai Ditjen BC meradang, komunitas ekspor-impor bersorak sorai menyambut perberlakuan Inpres No.4/1985. Sebelum Inpres itu diterbitkan, mengurus dokumen ekspor-impor di Ditjen BC sangat rumit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Anda harus melintasi lebih dari 50 meja dan setiap meja yang disinggahi adalah biaya.



Saat itu, oknum Ditjen BC digambarkan sebagai PNS yang ugal-ugalan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Inpres No.4/1985 diterbitkan untuk mengoreksi perilaku ugal-ugalan itu. Bagi sebagian orang, koreksi itu memang sangat menyakitkan. Tetapi, inisiatif perbaikan saat itu harus digagas, dan Presiden Soeharto dengan berani menandatangani dan memberlakukan Inpres yang sangat ekstrim itu. Baru pada April 1997, fungsi Ditjen BC dipulihkan lagi bersamaan dengan lahirnya undang-undang No.10/1995 tentang kepabeanan. Jadi, praktis selama 12 tahun Ditjen BC menjalani sanksi dinonaktifkan.



Ugal-Ugalan Lagi



Saat ini, kejahatan di sektor pajak dan kepabeanan pun mulai terlihat ugal-ugalan. Namun, tidak berarti semua PNS pada Ditjen Pajak dan Ditjen BC berperilaku buruk. Sebaliknya, sebagian besar dari mereka tetaplah pribadi-pribadi terpuji yang bekerja keras mengabdi negara. Itu sebabnya, kontribusi pajak dan cukai dari tahun-tahun terus dinaikan, dan kerja keras mereka berhasil memenuhi target yang dipatok Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN). Publik juga mencatat bahwa kualitas pelayanan aparatur pajak dan cukai terus membaik dari waktu ke waktu.



Namun, sudah terbukti bahwa prestasi gemilang institusi pajak dan cukai terlalu sering dicoreng oleh perilaku tak terpuji oknum-oknum pada institusi mereka sendiri. Situasinya menjadi semakin tidak mengenakan bagi jajaran Ditjen Pajak maupun Ditjen BC, karena publik menangkap kesan bahwa kejahatan terhadap negara yang dilakukan oknum PNS di Ditjen Pajak dan Ditjen BC semakin ugal-ugalan. Oknum-oknum itu terkesan tidak jera.



Masyarakat hanya bisa geleng-geleng kepala menyimak pemberitaan tentang rangkaian kejahatan terhadap negara yang dilakukan oknum PNS di Kemenkeu dalam tahun-tahun belakangan ini. Pengungkapan kasusnya silih berganti. Dari kasus Bahasyim Assifie berlanjut ke kasus Gayus Tambunan. Usai kasus Gayus, terungkap kasus Dhana Wydiatmaka. Belum tuntas kasus Dhana, KPK mengungkap kasus Tommy  Hindratno, serta menangkap dua oknum pegawai Ditjen BC yang diduga menerima suap untuk mengeluarkan barang  sitaan dari gudang Bandara Soekarno-Hatta.



Itu kasus-kasus yang sudah terungkap. Orang dalam di Ditjen Pajak maupun Ditjen Bea Cukai mensiyalir masih banyak kasus yang belum diungkap penegak hukum. Misalnya, kasus pajak Paulus Tumewu yang belum jelas penanganannya, serta kasus restitusi pajak Rp 7,2 trilyun yang diminta PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) dan PT Multimas Nabati Asahan (MNA) milik Wilmar Group.



Sementara kejahatan di sektor kepabeanan ditandai dengan tingginya gelombang penyelundupan. Penyelundupan produk yang mengandung racun, produk kategori sampah, produk manufaktur kualitas rendah hingga narkotika dimasukan ke pasar dalam negeri nyaris tanpa hambatan. Di sisi lain, keberhasilan aparatur BC menggagalkan penyelundupan tetap harus diapresiasi. Tetapi, harus juga diakui kalau intensitas arus penyelundupan aneka barang ke pasar dalam negeri tetap tinggi.



Dalam sebuah kesempatan belum lama ini, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, penyelundupan bukan masalah yang ringan untuk diatasi. Penyelundupan bukan hal yang baru dan sudah mengakar di Indonesia. Memperkuat pernyataan itu, sebuah asosiasi dagang mengungkapkan bahwa di pasar dalam negeri saat ini, beredar sejumlah produk impor selundupan yang tidak memenuhi persyaratan, meliputi produk makanan minuman, produk elektronik, hortikultura, tekstil dan kosmetik. Aneka produk ini didatangkan dari China, India, Prancis dan Malaysia.



Maraknya penyelundupan akhir-akhir ini menimbulkan persepsi yang buruk bagi aparat Ditjrn BC. Diasumsikan bahwa sebelum Inpres No.4/1985  diberlakukan 27 tahun lalu, oknum Ditjen BC memburu uang sogok atau pungutan liar. Kini, oknum Ditjen BC dicurigai ‘ngobyek’ dengan cara membuka akses untuk penyelundupan. Dampak kejahatan ini sangat serius. Tidak hanya ‘membunuh produk dalam negeri’ tetapi juga menimbulkan kerugian negara yang sangat besar.



Kejahatan oleh oknum PNS di sektor pajak dan kepabeanan sudah sangat mencemaskan. Karena itu, Menteri Keuangan tidak cukup hanya prihatin menyaksikan rangkaian kejahatan terhadap negara yang dilakukan oknum PNS di kementerian Keuangan (Kemenkeu). Keduanya adalah pos-pos yang mengelola pendapatan negara. Dari rangkaian kejahatan itu, publik dengan mudah berasumsi bahwa potensi pendapatan negara dari pajak dan cukai jauh lebih besar jika ruang bagi oknum PNS melakukan kejahatan bisa diperkecil.



Tentu saja, sejarah mosi tidak percaya  terhadap Ditjen BC (Inpres No.4/1985) 27 tahun lalu itu tidak perlu diulangi. Akan tetapi, aparatur Ditjen Pajak dan Ditjen BC harus juga realistis bahwa kepercayaan publik terhadap dua institusi yang mengelola pendapatan negara ini terus merosot. Kasus demi kasus penyalahgunaan wewenang terus terungkap. Rakyat sangat kecewa karena remunerasi yang menghabiskan anggaran sangat besar itu terkesan sama sekali tidak efektif  memperbaiki akhlak dan moral banyak oknum PNS.



Karena itu, harus ada upaya dari pimpinan Kemenkeu mensterilkan pos-pos pengelolaan pendapatan negara dari oknum-oknum yang berperilaku korup. Diperlukan kemauan dan keberanian melancarkan gerakan sapu bersih terhadap oknum PNS dengan perilaku tak terpuji.



Selain itu, kecenderungan itu harus diperangi secara konsisten dan tegas. Bagi mereka yang terbukti korup dan divonis oleh pengadilan, jatuhkan sanski yang seberat-beratnya. Pemerintah bersama penegak hukum harus berani merumuskan sanksi hukum dan sanksi sosial yang efektif menumbuhkan efek jera. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar