Tradisi Buka Puasa Bersama
Oleh: Marzuki Wahid
Buka puasa bersama, selain dengan keluarga,
jarang dilakukan masyarakat muslim pedesaan. Di kota, khususnya Jakarta, hampir
setiap lembaga, baik pemerintah maupun non-pemerintah selalu mengagendakan
”buka puasa bersama”. Jika tidak, lembaga itu dianggap tidak memiliki
kepedulian relijiusitas berpuasa. Bahkan tidak sedikit lembaga di Jakarta yang
setiap minggu dan setiap hari menyelenggarakan ritus ini, baik khusus internal
anggota lembaga itu maupun untuk publik.
Tradisi Buka Puasa Bersama
Setidaknya ada tiga tradisi ”buka puasa
bersama” yang berbeda. Pertama, buka puasa yang hanya diikuti oleh internal
anggota lembaganya saja. Kelompok ini biasanya eksklusif dengan agenda yang
umum saja, yakni meningkatkan keimanan dan ketakwaan, suatu ukuran yang sulit
dibuktikan. Ritus mereka pada umumnya selain makan dan minum bersama, juga ada
ceramah agama oleh petinggi lembaga atau tokoh agama kondang yang sengaja
diundang pada sebelum buka puasa atau sebelum shalat tarawih diselenggarakan.
Shalat maghrib, isya, dan tarawih berjamaah juga menjadi satu paket ritus yang
harus diikuti oleh peserta buka puasa. Tema ceramah yang disampaikan juga tema
umum saja tentang ketakwaan, keimanaan, hikmah ramadlan, meningkatkan kinerja
dan disiplin, dan hal-hal yang berhubungan dengan surga atau neraka. Yang
penting dalam ceramahnya harus dihiasi dengan dalil-dalil tekstual agama yang
banyak, sehingga terkesan relijius. Lembaga pemerintah dan perusahaan atau
lembaga non-pemerintah yang relatif mapan biasanya masuk ke dalam kelompok ini.
Kedua, kelompok yang menyelenggarakan buka
puasa bersama, tetapi tidak dimaksudkan untuk konsolidasi atau keakraban
(ukhuwwah) internal anggota lembaganya, melainkan dikhususkan buat kelompok
sosial lain yang membutuhkan, yakni masyarakat miskin kota (urban poor
community) dan orang-orang yang dalam bepergian (musafir). Kelompok ini sengaja
menyediakan makanan dan minuman bagi berbuka puasanya kelompok sosial ini.
Tidak ada agenda lain, kecuali semata-mata menyediakan bahan meterial buka
puasa. Ini biasanya rutin harian atau mingguan. Sebagaimana agenda kelompok
pertama, yakni adanya ”keharusan” shalat maghrib, isya, dan tarawih berjamaah
di satu tempat dan diisi dengan ceramah oleh petinggi lembaga dan tokoh kondang
(populer) tidak terjadi pada kelompok ini. Masuk ke dalam kelompok ini adalah
masjid, mushalla, atau lembaga sosial lain yang biasanya mewadahi atau
bersemangat memburu infak, shadaqah, dan zakat dari orang-orang kaya di
sekelilingnya. Jadi, sifatnya karitatif saja (santunan).
Ketiga, kelompok yang menyelenggarakan buka
puasa bersama untuk anggota lembaga dan publik sekaligus. Tetapi publik yang
terlibat dalam buka puasa kelompok ini sangat terbatas, tidak massif seperti
kelompok kedua. Ini juga diselenggarakan secara reguler mingguan atau dua
mingguan. Agenda buka puasa kelompok ini selain makan dan minum bersama saat
maghrib tiba, yang terpenting bagi kelompok ini adalah diskusi atau kajian yang
sengaja dirancang selama Ramadlan. Tidak ada agenda yang ketat, seperti
”keharusan” shalat maghrib, isya, dan tarawih berjamaah sebagaimana kelompok
pertama. Bahkan pelaksanaan shalat tarawih cenderung dilewat saja, karena
dianggap sunnah dan agar lebih khusyu’ dapat dilaksanakan di rumah
masing-masing pada malam hari.
Semata-mata memanfaatkan momentum Ramadhan,
agenda buka puasa kelompok ini adalah untuk suatu kajian dan diskusi yang
serius. Tema kajian dan diskusi pada umumnya menyangkut soal keilmuan yang
spesifik, filsafat sosial, dan problem-problem sosial yang membutuhkan campur tangan
agama. Cara penyajian diskusi dan kajiannya pun beragam. Ada yang secara khusus
mengundang pakar dan ahli pada topik tersebut, mulai habis shalat maghrib
hingga tengah malam. Ada juga diskusi dan kajian dengan media pemutaran film
layar lebar atau pementasan kesenian dan kebudayaan lokal.
Pada umumnya yang masuk ke dalam kelompok
ketiga ini adalah lembaga non-pemerintah yang relatif tidak mapan dan
berideologi anti-kemapanan yang terus berjuang untuk transformasi sosial di
dalam tatanan kehidupannya.
Apa makna dari ragam keberagamaan orang kota
ini? Agenda ”buka puasa bersama” yang menjadi tipikal keberagamaan orang kota
ini ternyata adalah cerminan dari cara pandang kelompok-kelompok tersebut
terhadap makna puasa itu sendiri. Kelompok pertama memahami puasa secara
normatif dan personal. Ritus peribadatan personal lebih diperhatikan ketimbang
makna sosial puasa, bahkan bila perlu harus ”mabuk” ibadah mumpung sedang obral
pahala. Shalat tarawih yang sunnah pun menjadi ”wajib” dilakukan dengan jama’ah
pada saat itu juga. Mereka sibuk dengan ibadah mahdlah (murni) ketimbang peduli
dengan persoalan sosial yang menghimpit kelompok sosial rentan di
sekelilingnya. Walhasil, puasa bagi kelompok ini adalah sarana pemuas diri
untuk memperoleh derajat ketakwaan yang tertinggi.
Kelompok kedua sebaliknya, mereka lebih
menonjolkan dimensi sosial puasa dengan berbagi secara materiil kepada kelompok
sosial miskin di sekelilingnya. Hanya saja cara mereka masih karitatif, tidak
mendalami kenapa mereka tertindas, miskin, dan terpinggirkan dalam tatanan
sosial yang serba modern ini, dan bagaimana mengubahnya tanpa membuat benang
ketergantungan. Bagi mereka, puasa adalah bulan shadaqah yang dilipatgandakan
pahalanya, maka yang penting adalah berbagi dan menyantuni kepada kelompok
papa.
Berbeda lagi dengan kelompok ketiga. Dengan
nuansa diskusi dan kajian yang sangat kental, kelompok ini menjadikan puasa
sebagai proses refleksi berfikir atas semua tindakan yang telah dilakukan
sebelumnya dalam konteks kemanusiaan. Sejauhmana puasa mampu menjadi kekuatan
untuk mengubah diri dalam pemikiran dan tindakan yang berimplikasi pada
perubahan kondisi kemanusiaan yang lebih adil dan beradab. Mereka lebih
substantif memahami puasa ketimbang pemuasan diri secara spiritual dan berbagi material
yang tidak berimbas pada kemandirian warga.
Mencairnya ”Gunung Es”
Ada hal menarik yang ingin saya tulis dari
salah satu tradisi buka puasa bersama yang pernah saya ikuti. Kelompok ini
berasal dari satu lembaga pemerintah pusat di Jakarta, yang menyelenggarakan
buka puasa bersama rutin mingguan (keliling daerah). Sebagaimana umumnya
birokrasi berbasis agama, komposisi partisipan kelompok ini secara ormas
keagamaan sangat beragam, ada yang aktivis-ideologis NU, warga NU biasa,
aktivis-ideologis Muhammadiyyah, warga Muhammadiyyah biasa, warga Persis, dan
sebagian yang lain tidak mau disebut ormas keagamaannya, NU ataupun
Muhaammadiyyah. Atas aturan ketat pimpinannya, dalam setiap buka puasa selain
tentu saja ada makan dan minum bersama, juga ”harus” diikuti dengan shalat
maghrib, isya, dan tarawih berjamaah. Antara shalat isya dan tarawih selalu
diisi ceramah agama oleh petinggi lembaga tersebut. Dalil-dalil (tekstualis)
keagamaan adalah andalan untuk melegitimasi kepentingan lembaga ini dalam
beragama. Tema utama yang diusung adalah soal kedisiplinan bekerja, kejujuran,
ingat mati, dan berkaitan dengan peningkatan keimanan dan ketakwaan.
Shalat tarawih mereka unik. Karena
kepentingan efisiensi waktu, mereka memutuskan untuk tarawih 8 (delapan) rakaat,
2 rakaat 2 rakaat, dan witir 3 rakaat sekaligus. Dalam kultur masyarakat
Indonesia, tarawih 8 rakaat (2-2) dan witir 3 rakaat sekaligus adalah tradisi
amaliyah Muhammadiyyah. Tradisi NU tidak mengenal shalat witir 3 rakaat
sekaligus. Tetapi karena mayoritas jamaah, termasuk para petinggi lembaga ini
adalah NU, maka mereka mengakhiri shalat witir dengan qunut. Bahkan, di
sela-sela rakaat tarawih disisipi ucapan-ucapan shalawat khas NU-Betawi (yang
selalu menggunakan sayyidina) dan diakhiri dengan tahlil bersama, sesuatu yang
tidak pernah dilakukan oleh jamaah Muhammadiyyah. Melafalkan niat puasa pun
dilakukan bersama-sama dengan suara nyaring yang dipimpin oleh seseorang.
Yang ingin saya katakan dari fenomena ini
adalah betapa praktik ibadah ”orang kota” sangat lentur—untuk tidak mengatakan
permisif—atau eklektik sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri tanpa benturan
pemikiran dan keyakinan agama yang serius yang biasa dipegang teguh orang NU
atau Muhammadiyyah di pedesaan. ”Orang NU kota” enjoy saja shalat dengan
amaliyah Muhammadiyyah, meski tidak mau meninggalkan qunut, tahlil, dan
shalawat. Begitu juga ”orang Muhammadiyah kota” enjoy saja mengikuti tradisi
keagamaan orang NU, meskipun di pedesaan hal itu dibid’ahkan dan diharamkan.
Selain itu, saya berkesimpulan tidak ada
garis lurus antara perjuangan ideologis sektarian (kepentingan politik dan
ekonomi) orang NU atau Muhammadiyyah kota dengan perjuangan penegakan amaliyah
keagamaan di dalam lingkungan mereka sendiri. Aktivis NU atau Muhammadiyyah di
kota, meskipun sangat ideologis, dengan sangat mudah dan tanpa beban
melaksanakan tradisi keagamaan orang lain, meskipun berseberangan keyakinan.
Tetapi begitu kepentingan ekonomi dan politik mereka diganggu, maka politik
ideologi NU atau Muhammadiyyah mereka gunakan. Inilah mencairnya ”gunung es”
tradisi sektarian keagamaan masyarakat perkotaan pada satu sisi, dan
mengentalnya air bah kepentingan sektarian ekonomi dan politik pada sisi lain.
Mencairnya kebekuan dan fanatisme praktik beribadah dalam kenyataannya tidak
diikuti dengan mencairnya hubungan-hubungan sosial antar kelompok agama ini,
baik untuk urusan agama maupun isu kebangsaan yang lebih mendasar. Hal yang
sebaliknya terjadi di masyarakat pedesaaan.
Dengan demikian, pragmatisme jauh lebih
menguasai aktivis ormas keagamaan di perkotaan ketimbang kesetiaan mereka
menjaga tradisi keagamaan yang melekat pada ormas keagamaan tersebut.
Marzuki Wahid
Peneliti Fahmina-institute Cirebon, dan
kandidat Doktor Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar