Ramadhan Semanis Kolak
Oleh: Mustain
Ramadhan identik dengan kuliner-kuliner
manis, sejak dikatakan sunnahnya untuk mengawali berbuka puasa dengan yang
manis-manis. Sejak awal mula hari pertama Ramadhan, kita disuguhkan
kuliner-kuliner manis khas Indonesia di sepanjang emperan jalanan Jakarta,
jelang bedug magrib. Di mall-mall besar dan mini-mini market, tak mau kalah,
manisan Arab (kurma) juga bahkan sudah tercium ragamnya sejak sebelum Ramadhan.
Banyak beragam kuliner-kuliner manis khas yang ditawarkan penjual kagetan manisan. Yang pasti mereka tawarkan adalah kolak, dengan kreativitas mereka meramu dan menyatukan bahan-bahan hingga bernama kolak. Kalaupun kehabisan kolak dan manis-manis lainnya, kita tak kehabisan untuk mengakalinya, cukup dengan memilih duet gorengan dan buras (lontong kecil), yang penting penjual ta’jilnya manis.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, keberadaan
kolak sudah ada jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan puasa Ramadhan. Tepatnya di
pertengahan bulan Sya’ban, masyarakat Jawa biasanya berbagi sodaqah makanan
khas dan khusus, kolak bersanding dengan nasi ketan dan apem saat itu. Tradisi
masyarakat Jawa berbagi sodaqah tiga jenis kuniler ini konon dipelopori para
Walisongo dengan maksud menitipkan simbol-simbol pesan ajaran Islam pada tiga
kuliner tersebut. Pesan “ khatha’ ” dititipkan pada nasi ketan, pesan “ afwan “
dititipkan pada apem, dan pesan “Khalaq” dititipkan pada kolak.
Bisa dikatakan, kolak sangat eksis selama
Ramadhan, dari awal puasa hingga jelang sidang itsbat penetapan 1 Syawal. Kalau
boleh kita bisa mengatakan, “Disunnahkan berbuka (ta’jil) puasa dengan kolak”.
Kolak menjadi kurma khas Indonesia.
Saya hanya ingin mencoba berimajinasi. Entah imajinasi ini sudah dilakukan oleh orang lain (bahkan oleh saya sendiri sebelumnya) atau tidak, dengan mengkait-kaitkan sesuatu yang dekat lalu memaknainya. Bahwa Ramadhan memang diciptakan suasananya hanya untuk kolak, Maknanya, kita menjadikan sebulan penuh Ramadhan sebagai satu momen spesial bagi kita untuk lebih banyak mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah Sang Maha Pencipta, Khaliq. Tentu banyak jalan menuju Roma untuk cara kita menciptakan suasana kolak, baik ibadah yang langsung bersangkut paut kepada Allah, maupun kita menebar ibadah sosial kepada sesama.
Sepanjang Ramadhan dengan bersanding manisnya kolak, kita diharapkan pasca Ramadhan menjadi pribadi seperti yang diharapkan, manusia yang bertaqwa, la’allakum tattaqun.
Namun memang, selama bermanis-manis dengan kolak selama Ramadhan tidak secara otomatis mengubah kualitas kepribadian manusia menjadi bertaqwa. Karena mengingat idiom taqwa dalam ayat tentang puasa menggunakan fi’il mudlori’ (tattaqun). Dari sumber yang saya dapatkan fi’il mudlori’ memiliki arti harus diusahakan terus-menerus. Fi’il mudlori’ adalah kata kerja yang memilik dua makna; sedang terjadi dan akan terjadi. Berbeda dengan fi’il madli yang bermakna sudah terjadi (sudah bertaqwa). Artinya, posisi taqwa memang harus diperjuangkan sepanjang kehidupan. Bahkan kalaupun toh sesudah puasa manusia berhasil meraih predikat taqwa, jika sesudah Ramadhan kita tidak berhati-hati dalam bersikap sehingga melakukan tindakan yang merugikan orang lain, predikat taqwa itu akan hilang pada saat itu juga.
Ramadhan memang sungguh manis, kita bisa meraup pahala berlipat-lipat ganda. Dari hari biasanya, manisnya satu kali amalan di suatu hari di bulan Ramadhan berbalas berlapis-lapis pahala. Namun kalau hanya angka-angka yang kita kejar, Ramadhan tak ada bedanya dengan bulan-bulan lainnya. Ramadhan menjadi momen spesial karena manisnya kolak, bukan karena jumlah angka sisiran-sisiran pisang dalam menu kolak itu. Biarlah urusan angka-angka pahala menjadi urusan Allah melalui malaikat yang mencatatnya. Cukuplah perjalanan ‘la’allakum tattaqun’ dalam momen Ramadhan ini kita manisi dengan niat Lillahi ta’ala.
Ada gula ada semut, semanis-manisnya Ramadhan semua orang pasti ingin mengerubunginya. Tak hanya oleh orang baik, orang yang berakal busuk pun tak ketinggalan memanfaatkan manisnya Ramadhan untuk kepentingan busuk pula. Namun, tak sepantasnya bila manisnya Ramadhan dimanfaatkan agar orang-orang mengerubungi kita hanya untuk kepentingan sesaat. Dan sepertinya masyarakat sekarang sudah lebih cerdas untuk memilih, mana rasa manis yang sesungguhnya dan hanya rasa manis di bibir. Jangan coba-coba mempolitisir manisnya kolak Ramadhan.
*Alumni PP Dar Al Tauhid, Arjawinangun Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar