Penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di Bandung pada tanggal 6-14 Maret 1965, menjadi momen penuh kebahagiaan dan kebanggaan di mana perwakilan umat Islam dari berbagai negara bisa bersatu dalam sebuah forum, untuk membahas peranan dan kerja sama umat Islam.
Selain itu, KIAA dapat dimaknai sebagai kebangkitan umat Islam, yang diharapkan akan berdampak besar, tidak hanya bagi negara-negara di Asia-Afrika, tetapi juga seluruh dunia.
Terkait dengan persatuan umat Islam ini sebetulnya sudah menjadi topik penting yang dibahas oleh Nahdlatul Ulama (NU), beberapa tahun sebelum adanya KIAA, yakni pada Muktamar ke-23 NU tahun 1962 di Kota Solo.
Sebagaimana yang disampaikan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Wahab Chasbullah. Dalam pidatonya, Kiai Wahab mengingatkan akan pentingnya persatuan, khususnya di kalangan umat Islam.
“...Perdjuangan dan pekerdjaan serta tanggung djawab didasarkan atas hadist
Rasulullah SAW jang artinya : “Ummat Islam itu semisal satu badan, apabila
salah satu anggauta mengeluh kesakitan akan terasalah seluruh badan dengan rasa
demam dan kurang tidur”. Dan sabdanja jang artinja : “Ummat Islam itu semisal satu
bangunan satu sama lain saling memperkuat”. Pun sabdanja pula jang artinja :
“Dan selama Ummat Islam berdiri tegak di atas agama Allloh, selama itu pula tak
akan dapat diganggu oleh siapapun jang menentangnja sampai besuk hari
kiamat."
Upaya persatuan umat ini kemudian dibahas dalam Muktamar dan diimplementasikan
dengan usulan konkrit berupa penyelenggaraan KIAA. Setelah usulan ini
disampaikan dan diterima oleh Presiden Soekarno, dibentuklah sebuah kepanitiaan
untuk mempersiapkan perhelatan KIAA.
Sebagai pemberi usul, tokoh-tokoh dari kalangan NU menempati posisi penting dalam kepanitiaan. Semisal Ketua Umum PBNU, KH Idham Chalid didapuk menjadi Ketua Organizing Committee (OC) KIAA. Sedangkan Ketua PBNU KH Achmad Sjaichu menjadi Sekjen OC KIAA.
Tentu saja, tidak hanya tokoh-tokoh dari NU yang masuk dalam kepanitiaan. Para
tokoh dari organisasi lain, seperti Arudji Kartawinata (PSII), KH Siradjudin
Abbas (Perti), KH Farid Ma’ruf (Muhammadiyah), dan lain-lain, turut serta dalam
kepanitiaan juga delegasi dari Indonesia yang ikut dalam konferensi.
Sedangkan dari kalangan tokoh wanita ada Hj Mahmudah Mawardi, Supeni Natakusuma, Hj Solichah Wahid, dan lain sebagainya. Lalu, di mana perwakilan dari Partai Masyumi?
Kalau pembaca bertanya dan mencari jawabnya, tentu tidak akan ketemu, sebab
lima tahun sebelumnya partai ini sudah dibubarkan. Ketiadaan Masyumi di
konstelasi politik Indonesia, pasca-pembubaran partai berlambang bulan bintang
tersebut, praktis membuat NU menjadi partai Islam yang memiliki jumlah anggota
DPR RI terbanyak.
Dalam susunan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) hasil
Kepres No.156 tahun 1960, wakil dari NU yakni 36 orang, dibandingkan PSII dan
Perti yang memiliki 5 dan 2 orang wakil dewan. Jumlah 36 orang dari NU tersebut,
belum termasuk mereka yang menjadi anggota dewan dari golongan-golongan karya
(tani, buruh, alim ulama, dan sebagainya).
KH Zainul Arifin dari NU, bahkan diangkat menjadi Ketua DPR-GR. Dalam posisi tersebut, NU memanfaatkannya untuk membuat kebijakan-kebijakan penting, termasuk dalam hal ini adalah penyelenggaraan KIAA.
Delegasi dari NU
Pada pembahasan di atas sudah diterangkan mengenai peran penting NU dalam penyelenggaraan KIAA, baik sebagai panitia maupun delegasi. Dalam harian Duta Masyarakat edisi 1 Maret 1965, memuat secara lengkap nama-nama delegasi dan penasihat delegasi (peninjau) Indonesia di KIAA. Adapun delegasi dari kalangan NU, yakni KH Idham Chalid sebagai Ketua Kehormatan dan Prof KH Saifuddin Zuhri menjadi Wakil Ketua.
Kemudian di bawah Sekretaris ada nama KH Achmad Sjaichu, KH M Dachlan, H M
Subchan ZE, dan H Mahbub Djunaid. Sedangkan di bagian anggota ada Hj Mahmudah
Mawardi, H Usmar Ismail, H Djamaludin Malik, dan R H A Sunarjo. Untuk Tokoh NU
yang menjadi penasihat delegasi (peserta peninjau) yakni KH Masjkur, KH Abdul
Fattah Jasin, dan Hj Solichah Wachid Hasjim.
Terkait dengan delegasi dari Indonesia ini, DM edisi 1 Maret 1965 dalam rubrik Induk Karangan (Tajuk Rencana) menuliskan sejumlah catatan. Menurut redaktur DM yang kala itu di bawah pimpinan (Penanggung Jawab) H Mahbub Djunaidi, delegasi dari Indonesia ini, setidaknya memiliki dua tugas yang tidak ringan.
Pertama, menyumbangkan konsepsi revolusioner umat Islam Indonesia dan cita-cita
revolusinya yang universal, berikut pengalaman umat Islam itu sendiri dalam
revolusi bangsanya, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
“Pengalaman2 mereka patut didjadikan tjontoh jang revolusioner untuk siapapun
jang mentjita2kan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian, dalam perdjuangan
di djalan Tuhan,”
Kedua, merintis kembali persatuan internasional Islam. Tentu hal ini bukanlah
hal yang mudah, semudah membalikkan telapak tangan.
“Kita mengetahui, tugas itu tidak enteng. Sebab memang tidak ada jang enteng buat tjita2 jang besar. Terlebih, pelbagai rintangan pasti ada, baik terang2an maupun gelap2an, untuk mengurangi arti penting konperensi ini, atau paling tidak mengalihkan djiwa jang mesti dikobarkan, jakni djiwa uchuwwah Islamijah jang mutlak harus dibangun kembali!” []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar