Salah satu hal yang sering kita alami dalam mengonsumsi makanan dan minuman adalah tercampurnya makanan atau minuman kita dengan semut yang ada pada makanan atau minuman. Mengingat ukurannya yang kecil, seringkali semut tidak tampak dalam jangkauan mata kita, lalu akhirnya ikut tertelan bersama makanan dan minuman yang kita konsumsi.
Problem lainnya berkaitan dengan kesucian makanan dan minuman yang dikerubuti semut yang sudah menjadi bangkai. Apakah makanan dan minuman tersebut tetap berstatus suci sehingga halal dimakan? Atau sudah menjadi makanan yang najis dan tidak halal dimakan?
Sebelum menjawab persoalan di atas dalam literatur kitab turats, perlu kiranya menyimak hadits yang berkaitan dengan persoalan ini:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً
“Apabila seekor lalat hinggap di bejana milik salah seorang dari kalian, hendaknya ia mencelupkan lalat ke dalam minuman tersebut, kemudian membuangnya, karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat penawarnya” (HR al-Bukhari).
Meski hadits di atas mengarah secara khusus pada hewan lalat, namun para ulama menjadikan landasan hadits di atas terhadap kesucian air yang bercampur dengan bangkai hewan yang tidak mengalirkan darah ketika dibunuh. Semut tentunya masuk dalam cakupan hewan dengan kategori tersebut. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Fath al-Bari menjelaskan pengembangan dari hadits di atas:
وَاسْتَدَلَّ بِهَذَا الْحَدِيْثِ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ القَلِيْلَ لَا يَنْجُسُ بِوُقُوْعِ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ فِيْهِ
“Sebagian Ulama menjadikan hadits ini dalil bahwa air yang sedikit tidak najis dengan jatuhnya bangkai hewan yang tidak mengalirkan darahnya pada bejana tersebut” (Ibnu Hajar al-Haitami, Fath al-Bari [Beirut: Darul Fikr], juz 10, hal. 251).
Menurut Imam asy-Syafi’i, perintah untuk melarutkan lalat dalam air sejatinya tidak hanya terkhusus pada benda yang cair saja, tapi perintah tersebut juga berlaku pada makanan. Sehingga makanan yang bercampur dengan bangkai serangga secara alami (tanpa diupayakan oleh seseorang) tetap dihukumi suci (Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm [Beirut: Darul Makrifat, 1393 H], juz 1, hal. 5).
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa makanan atau minuman yang bercampur dengan semut, baik dalam keadaan masih hidup atau sudah menjadi bangkai statusnya masih tetap dihukumi suci. Lalu bagaimana dengan hukum mengonsumsi makanan atau minuman yang bercampur dengan semut?
Imam asy-Syafi’i dan para ulama Syafi’iyah menegaskan bahwa semut termasuk bagian dari hewan yang dilarang untuk dibunuh, dan setiap hewan yang dilarang oleh syara’ untuk membunuhnya maka haram pula mengonsumsinya. Dalam kitab al-Majmu’ dijelaskan:
قال الشافعي والاصحاب: مَا نُهِيَ عَنْ قَتْلِهِ حَرُمَ أَكْلُهُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ حَلَّ أَكْلُهُ، لَمْ يُنْهَ عَنْ قَتْلِهِ - فَمِنْ ذَلِكَ النَّمْلُ وَالنَّحْلُ فَهُمَا حَرَامٌ
Artinya, “Imam asy-Syafi’i dan para muridnya berkata, ‘Hewan yang dilarang dibunuh haram dikonsumsi, sebab seandainya hewan tersebut halal dikonsumsi tentu tidak haram membunuhnya. Di antara hewan yang diharamkan (dibunuh dan dikonsumsi) adalah semut dan lebah, kedua hewan tersebut haram dikonsumsi” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 9, hal. 22).
Dengan demikian, ketika kita mengetahui ada semut pada makanan atau minuman kita, maka hal yang wajib dilakukan adalah mengambil dan membuang semut itu agar tidak termakan bersamaan dengan makanan atau minuman kita. Sebab jika kita mengetahui adanya semut pada makanan atau minuman, lalu tetap saja kita makan atau minum, dalam keadaan demikian berarti kita ikut terkena hukum haram sebab mengonsumsi hewan semut secara sengaja yang merupakan larangan syara’.
Berbeda halnya ketika semut tersebut termakan atau terminum secara tidak sengaja. Maka dalam keadaan demikian orang yang melakukan hal tersebut tidak terkena dosa sebab perbuatan tersebut dilakukan tanpa kesengajaan darinya. Dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abbas dijelaskan:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
Artinya, “Sesungguhnya Allah membiarkan (mengampuni) kesalahan dari umatku akibat kekeliruan dan lupa serta keterpaksaan” (HR Ibnu Majah).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makanan dan minuman yang bercampur dengan semut tetap dihukumi suci, baik semutnya masih dalam keadaan hidup atau telah menjadi bangkai. Sedangkan hukum mengonsumsi makanan atau minuman yang bercampur dengan semut secara sengaja adalah hal yang diharamkan. Sehingga sebaiknya bagi seseorang agar memeriksa makanan dan minuman yang hendak ia konsumsi. Jika tampak ada semut yang menyelinap di dalamnya, maka wajib hukumnya mengambil dan membuang semut itu dari makanan dan minuman agar tidak tertelan bersamaan dengan makanan dan minuman yang hendak dikonsumsi oleh dirinya. Wallahu A’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar