Isra' dan Mi’raj Nabi Muhammad saw adalah peristiwa yang sangat agung, dari peristiwa tersebut Nabi memperoleh berbagai macam pengalaman dan pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi kelengkapan dirinya, untuk mengemban tugas yang berat sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta.
Pengetahuan dan pengalaman yang paling berharga dalam peristiwa tersebut adalah
berkaitan dengan memahami tanda-tanda kebesaran Allah swt. Baik kebesaran yang
ada di alam raya ini yang dapat ditangkap oleh panca indra, maupun dalam alam
ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia.
Isra', pengertiannya menurut bahasa adalah perjalanan di malam hari
(al-Munawwir: 1984: 671), sedangkan mi’raj adalah tangga untuk naik ke atas
(al-Munawwir: 1984: 981).
Karena itu pengertian Isra yang dimaksudkan adalah perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa, sedangkan Mi’raj adalah perjalanan beliau dari Masjid al-Aqsa ke Sidrah al-Muntaha. Sidrah al-Muntaha adalah tempat di langit yang bersifat ghaib, tidak mungkin dijangkau oleh panca indera manusia, bahkan tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran.
Di antara tujuan diisarakannya Nabi Muhammad saw, adalah agar beliau mengetahui
secara mendalam tanda-tanda keagungan Tuhan, kekuasaan dan kasih sayang-Nya
terhadap semua makhluk, peristiwa ini disebutkan dalam Al-Qur’an:
سُبۡحَٰنَ
ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى
ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ
ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar
Kami memperlihatkan kepadanya dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sungguh Dia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS Al-Isra [17]: 1)
Dalam peristiwa Isra' Mi’raj, sebagaimana disebutkan berbagai kitab tarikh dan
kitab hadits, Nabi Muhammad saw dan umatnya diperintahkan untuk melaksanakan
shalat lima waktu sehari-semalam. (Nur al-Yakin, hal. 67 dan Nabi al-Rahmah,
54). Peristiwa Isra' Mi’raj menurut para ahli sejarah, selain disebutkan dalam
kitab al-Hadits juga diisyaratkan Al-Qur’an pada awal surat al-Najm:
وَٱلنَّجۡمِ
إِذَا هَوَىٰ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمۡ وَمَا غَوَىٰ وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ
إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ ذُو مِرَّةٖ
فَٱسۡتَوَىٰ وَهُوَ بِٱلۡأُفُقِ ٱلۡأَعۡلَىٰ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ فَكَانَ
قَابَ قَوۡسَيۡنِ أَوۡ أَدۡنَىٰ فَأَوۡحَىٰٓ إِلَىٰ عَبۡدِهِۦ مَآ أَوۡحَىٰ
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru,
dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauannya sendiri melainkan wahyu
yang diwahyukan kepadanya. Yang diwahyukan kepadanya oleh Jibril yang sangat
kuat, yang mempunyai akal yang cedas dan Jibril itu menampakkan diri dalam
bentuk yang asli, sedang ia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat,
lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua
ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu ia menyampaikan kepada
hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan”. (QS Al-Najm [53]: 1 –10)
Dengan diperintahkannya shalat lima waktu bagi Nabi Muhammad saw dan umatnya
pada malam Isra' Mi’raj tersebut, dirasakan betapa pentingnya ibadah shalat
harus ditegakkan oleh setiap pribadi Muslim. Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan
perintah agar menegakkan shalat, perintah itu diulang berkali-kali sampai lebih
dari delapan puluh kali. Di dalam hadits juga banyak disebutkan agar setiap
muslim mengerjakan shalat dengan baik, di mana saja mereka berada.
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan sangat menentukan
kualitas keimanan seorang muslim, apakah kuat atau lemah. Kalau kita rajin mengkaji
ayat demi ayat dari Al-Qur’an dan al-Hadits maka akan dijumpai berbagai
pengarahan agar manusia muslim dapat mengerjakan dan menegakkan shalat dengan
baik.
Shalat yang baik dan benar adalah shalat yang dikerjakan dengan memenuhi syarat dan rukunnya serta ketentuan-ketentuan lainnya, diikuti dengan gerakan kejiwaan dan disertai rasa khusu’ dan keikhlasan yang mendalam.
Pengertian shalat menurut etimologi adalah doa dan pujian, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an:
إِنَّ
ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya memuji Nabi, wahai orang-orang yang
beriman, berdoalah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kehormatan kepadanya,"
(QS Al-Ahzab [33]: 56)
Shalat dalam arti doa disebutkan Al-Qur’an:
وَصَلِّ
عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka." (QS Al-Taubah [9]: 103)
Pengertian shalat menurut terminologi adalah:
أَقْوَالٌ
وَأَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ مُفْتَتِحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتِمَةٌ
بِالتَّسْلِيْمِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ
“Ibadah yang terdiri dari beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat dan rukun tertentu”.
Pengertian di atas, baru menggambarkan bentuk shalat secara lahiriyah. Agar
melengkapi semua itu, kita ikuti definisi shalat dari segi hakikatnya yaitu:
“Menghadapkan hati kepada Allah sehingga dapat mendatangkan rasa takut
kepada-Nya dan menanamkan dalam jiwa rasa keagungan-Nya dan kesempurnaan-Nya”.
Shalat yang sempurna adalah shalat dengan kriteria di atas, shalat yang
dilakukan dengan memenuhi syarat, rukun dan ketentuan lain serta diikuti dengan
gerakan kejiwaan. Dengan demikian ibadah shalat itu akan berdampak pada sikap
mental kita dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang telah melakukan shalat
dengan baik dapat mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar.
Dengan ketentuan-ketentuan shalat yang disebutkan di atas, insya Allah kita
akan terhindar dari segolongan orang yang mengerjakan shalat, tetapi pada
hakekatnya mereka tidak shalat. Nabi Muhammad saw menyitir kelompok ini dalam
salah satu hadisnya:
يأَتِى
عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُصَلّوْنَ وَلاَ يُصَلُّوْنَ (رواه أحمد)
“Akan datang suatu masa menimpa manusia, banyak yang melakukan shalat, padahal
sebenarnya mereka tidak shalat”. (HR Ahmad, No. 47)
Dengan memperingati Isra' Mi’raj ini, semoga kita dapat meningkatkan shalat
kita sebaik mungkin, sehingga dapat meningkatkan takwa kepada Allah swt. []
KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar