Bidah sering kali menjadi kata sakti yang dialamatkan orang di luar NU untuk mendiskreditkan NU. Sebagai jamiyyah yang mengakomodasi ke-Nusantaraan, NU acap kali dituding melanggengkan kebidahan ajaran Islam di Indonesia. Hadits yang sering kali dikutip oleh mereka ialah:
وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Artinya: “Dan setiap hal yang dibuat-buat dalam agama adalah bid’ah”. (HR.
Nasa’i, Ibnu Majah)
Sebagai pendiri jamiyyah Nahdlatul Ulama, Hadlratussyekh dalam kitabnya yang
berjudul Risalah ahlu Sunnah wa al-Jamaah fi Hadits al-Mauta wa Asyrat al-Sa’ah
wa Bayan Mafhum Ahl Sunnah wa al-Jamaah mengutip penjelasan Syekh Ahmad Zarruq
al-Burnusi al-Fasi dalam Kitab ‘Uddah al-Murid al-Sadiq, menjelaskan bahwasanya
ada tiga pertimbangan yang mesti kita pegang dalam memahami persoalan bid’ah
ini:
Pertama, jika bid’ah tersebut di dalamnya terdapat prinsip-prinsip syariat dan
ada landasan asalnya, maka bukanlah bid’ah yang dimaksud dalam hadits di atas.
Sebagai ilustrasi atas hal ini, izinkan penulis untuk memberikan contoh kisah
Sahabat Umar ketika mengintruksikan pelaksanaan shalat tarawih berjamaah:
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ
مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي
بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ
هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ
بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ
يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ,
وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ
اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Artinya: Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin
Khatthab di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana,
ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat
sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar
berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…”
maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay
bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika
itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata,
'Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik
dari pada saat di mana mereka shalat,' maksudnya akhir malam lebih baik untuk
shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam.
Mengapa Amirul Mukminin Umar yang saat itu menjadi khalifah berani mengambil
inisiatif untuk membuat program tarawih berjamaah yang sebelumnya tidak pernah
dilaksanakan ialah karena Nabi Muhammad Saw. semasa hidup beliau pernah
memberikan dorongan kepada para sahabat untuk melaksanakan qiyamul lail (shalat
malam) selama bulan Ramadhan.
Kedua, mempertimbangkan kaidah yang dibuat oleh para ulama salaf, di mana jika
bid’ah tersebut segala aspeknya bertentangan dengan syariat maka ditolak, namun
jika ada kesesuaian dengan prinsip ushul maka diperbolehkan. Oleh karena itu,
Imam Syafi’i pernah berkata sebagaimana dikutip oleh Abu Nu’aim dalam Kitab
Al-Hilyah, juz IX, halaman 113:
البدعة
بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة،
فهو مذموم
Artinya: “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan
bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan
Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu
termasuk amalan tercela.”
Dalil yang bisa menjadi dasar pertimbangan kedua ini ialah hadits Nabi:
مَا
أَحَلَّ اللهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلَالٌ ، وَمَا حَرَّمَ فَهوَ حَرَامٌ ،
وَمَا سَكَتَ عَنهُ فَهُوَ عَفْوٌ ، فَاقبَلُوا مِنَ اللهِ عَافِيَتَه ( وَمَا
كَانَ رَبُّك نَسِيَّا)
Artinya: “Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka halal, apa yang Allah
haramkan maka haram, apa yang Allah diam (tidak membahas) maka itu adalah
ampunan, maka terimalah ampunan Allah (Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lupa),”
(HR Al-Daruqutni).
Dengan mempertimbangkan hadits diatas, maka segala kebaruan yang tidak secara
mutlak dibahas dalam kitab Allah dan tidak menyelisihi pokok ajaran Islam, maka
bukanlah bid’ah yang sesat.
Ketiga, bahwasanya hukum itu dirinci menjadi enam macam, yakni wajib, sunah,
haram, makruh, khilaf aula dan mubah. Setiap hal yang termasuk salah satu dari
kategori hukum di atas maka bisa diidentifikasi dengan status hukum tersebut,
dan yang tidak bisa maka dianggap bid’ah.
Demikian penjelasan Hadlratussyekh terkait pertimbangan yang mesti kita pegang
dalam memahami hadits terkait bid’ah, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi
shawab. []
Ustadz Mohammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar