Setelah mengetahui bahwa pemanfaatan barang gadai oleh pegadaian diperselisihkan fuqaha, sebagaimana dalam tulisan berjudul "Hukum Pemanfaatan Barang Gadai oleh Pegadaian (Bagian 1)", permasalahannya kemudian adalah intisari (muqtadlal ‘aqdi) dari akad gadai adalah jaminan penunaian utang, bukan untuk terjadinya perpindahan hak milik aset kepada pegadaian, serta bukan untuk ditujukan untuk menjadikan aset sebagai barang yang bebas dimanfaatkan oleh pegadaian.
Apabila barang gadai boleh dimanfaatkan, maka kondisi barang (baca: mobil) saat
kelak diserahkan kembali kepada penggadai (râhin), tidak diketahui kondisinya,
sudah rusak sedemikian parah atau tidak. Padahal setelah dipakai kemungkinan
kondisi mobil ada dua, yaitu tidak berubah fisiknya; dan berubah fisiknya
sehingga berkurang nilainya, sehingga menyimpang dari tujuan disyariatkannya
akad gadai itu sendiri. Kondisi kedua ini yang menyebabkan timbulnya unsur
jahalah pada barang gadai apabila dimaknai sebagai akad jual beli. Keberadaan
‘illat jahalah ini dipandang sebagai yang dikuatkan (arjah) oleh syara’.
Mengingat akan hal ini, maka fuqaha Ahnaf menetapkan batasan mengenai boleh
tidaknya memanfaatkan barang gadai, antara lain:
Pertama, jika obyek gadai itu terdiri dari barang ghairu manqûl (aset tak
bergerak), maka hukumnya boleh dimanfaatkan oleh pegadaian. Misalnya jika obyek
itu adalah kebun atau bangunan. Alasan kebolehannya adalah barang gadai
tersebut tidak mudah berubah. Ibnu Maudud al-Mushili (wafat 682 H) menyatakan:
أَمَّا
الْعَيْنُ فَلَمْ تَتَغَيَّرْ، وَالْقَبْضُ وَرَدَ عَلى الْعَيْنِ دُونَ
الْقِيمَةِ، وغَلَّةُ الْعَقارِ وكَسْبُ الرَّهْنِ لَيْسَ بِرَهْنٍ، لِأَنَّهُ
غَيْرُ مُتَوَلِّدٍ مِنْهُ وَلَا بَدَلَ عَنْهُ كَكَسْبِ المَبِيعِ وغَلَّتِهِ
“Adapun barang maka tidak mudah berubah, qabdlu bisa terjadi atas barang dan
tidak bisa atas nilai barang. Hasil (manfaat) dari kebun dan produktifitas
barang gadai adalah bukan bagian dari gadai, sebab keberadaannya bukan fisik
yang keluar darinya, sehingga tidak berlaku wajib ganti atasnya. Keberadaannya
menyerupai barang yang dibeli dan manfaat yang dikandung dari barang tersebut.”
(Ibnu Maudud al-Mushili, al-Ikhtiyâr li Ta’lîlil Mukhtâr, juz II, halaman 66).
Kedua, jika obyek gadai berupa aset bergerak (manqûl), maka hukum memanfaatkan
barang gadai oleh pegadaian adalah haram, karena mudahnya barang berubah
kondisi, sehingga menyebabkan terjadinya jahalah (ketidaktahuan) terhadap
kondisi barang. Dari sini maka terjadi praktik gharar (spekulatif) saat tiba
waktunya barang tersebut ditebus kembali oleh râhin (penggadai).
Mobil adalah bagian dari aset manqûl (aset bergerak). Karenanya,
memanfaatkan mobil gadaian menurut fuqaha Ahnaf hukumnya haram.
Ketiga, Pendapat Ketiga dari Fuqaha yang Membolehkan
Pendapat ketiga (qaul tsâlits) merupakan pendapat yang berusaha menjembatani
perbedaan pendapat di kalangan fuqaha terhadap pemanfaatan barang gadai oleh
pegadaian. Pihak ini mengadopsi dua pandangan yang saling berseberangan
tersebut dalam rangka menetapkan batasannya.
Para fuqaha yang menyampaikan pendapat seperti ini umumnya adalah para muharrir
madzhab, misalnya adalah Imam an-Nawawi, Imam ar-Rafii, dan semisalnya. Upaya
yang dilakukan mereka adalah berpedoman pada kaidah al-khurûj minal khilâf
mustahabbun, atau keluar dari perselisihan pendapat adalah dianjurkan.
Para fuqaha dengan pendapat alternatif ini berargumen, bahwa pemakaian barang
milik orang lain adalah boleh, jika:
Pertama, dengan jalan disewa. Dalam hal ini, maka akad yang berlaku adalah akad
ijarâh (akad sewa jasa). Hak atas upah sewa adalah hak penggadai, secara total.
Kedua, dipinjam. Akad yang berlaku—dalam konteks ini—adalah akad i’ârah (akad
pinjam barang). Syarat dari bolehnya akad ini adalah selama mendapatkan izin
dari pihak penggadai.
فليس للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة بدون إذن الراهن مطلقًا، فإذا فعل ذلك كان متعدِّيًا وضامنًا للمرهون ... وإن كان لا يُزيل الملْك، كالإعارة والإجارة، لم يبطل الرهن، لأن عين الوثيقة، وهي المرهون، لا تزال قائمة
Artinya, "Tidak boleh pihak pegadaian memanfaatkan barang gadai tanpa
seizin penggadai secara mutlak. Jika mereka nekat melakukan nya, maka tindakan
itu termasuk melampaui batas sehingga wajib menanggung ganti rugi atas barang
gadai … Jika pemanfaatan barang gadai oleh pegadaian itu tidak menghilangkan
kepemilikan râhin, seperti misalnya dengan jalan dipinjam atau disewa, maka
tidak membatalkan akad gadai, karena aset jaminan senantiasa terjaga.”
(Al-Fiqhhul Manhaji ‘alâ Madzhabil Imâmisy Syâfi’i, Juz VII, halaman 127-129).
Menimbang dari kedua akad ini, maka kewajiban yang berlaku atas pihak yang
menyewa barang dan yang meminjam barang adalah menjaga aset yang disewa atau
aset yang dipinjam agar tidak mengalami kerusakan (itlâf).
Apabila terjadi kerusakan, maka penyewa atau peminjam wajib membayar ganti rugi
(dlamânul mutlif), khususnya apabila kerusakan tersebut diakibatkan adanya
ta’âddî (melampaui batas), ‘udwanan (sengaja merusak), dan dlarar (sengaja
berbuat kerugian).
Operasional Pendapat Fuqaha dengan menimbang Fakta Keseharian
Dewasa ini, muncul beberapa pihak pegadaian yang memanfaatkan barang gadaian.
Biasanya barang tersebut kemudian disewakan kepada pihak lain, dengan batas
jatuh tempo penyewaan disesuaikan dengan batas jatuh tempo akad gadai. Dari
hasil sewaan ini, pihak pegadaian mengambil untung berupa ongkos sewa.
Adapun kondisi barang gadaian yang disewakan oleh pegadaian kepada pihak ketiga
ini, sudah berubah menjadi banyak mengalami kerusakan di sana sini sebab
pemakaiannya tidak beraturan.
Fakta ini banyak kita temui di berbagai tempat. Umumnya, pelaku yang bertindak
selaku pegadaian ini terdiri dari lembaga-lembaga kredit masyarakat yang banyak
bermunculan.
Menimbang dari kondisi tersebut, maka hukum pemanfaatan barang gadai oleh pegadaian tersebut adalah haram karena beberapa pertimbangan, yaitu:
1. Pihak pegadaian telah menyewakan barang yang masih berstatus sebagai barang
milik pihak lain. Pandangan ini berdasar pertimbangan mazhab Maliki, Syafi’i
dan Hanbali.
2. Pihak pegadaian telah memanfaatkan barang manqûl (aset bergerak) yang mana
pemanfaatan barang ini dipandang tidak sah oleh mazbah Hanafi.
3. Pihak pegadaian telah melakukan i’tida (tindakan melampaui batas), ‘udwanan
(sengaja memancing perselisihan), dan idlrâr (sengaja berbuat merugikan) pihak
penggadai (râhin). Ketiga ‘illat ini menjadi dasar wajibnya pihak pegadaian
untuk menannggung dlamân (memberi ganti rugi) kepada penggadai. Indikator dari
wajibnya ganti rugi adalah, andaikata penggadai tahu bagaimana barang tersebut
dimanfaatkan, maka mereka pasti tidak rela dengan pemanfaatan tersebut. Wallâhu
a’lam bish shawâb. []
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU
Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar