Perempuan yang berpisah dengan suaminya, baik karena dicerai maupun karena ditinggal mati, memiliki masa iddah atau masa tunggu yang harus dipenuhi sebelum ia menikah kembali dengan laki-laki lain. Ada banyak hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang perempuan yang bercerai sampai masa iddahnya telah selesai.
Masa iddah ini berbeda-beda tergantung bagaimana kondisi perempuan itu saat
terjadinya perceraian. Perempuan yang ditinggal mati suaminya ia harus
menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Perempuan yang dicerai dalam keadaan hamil masa iddahnya sampai melahirkan.
Perempuan yang selama hidupnya belum pernah mengalami haid dan perempuan yang
sudah manupouse masa iddahnya selama tiga bulan. Sedangkan perempuan yang
dicerai oleh suaminya dalam keadaan tidak hamil, sudah pernah mengalami haid
dan sudah pernah berhubungan badan masa iddahnya adalah tiga kali suci.
Bila dilihat keempat masa iddah di atas bisa kita pahami bahwa masa iddah
perempuan yang ditinggal mati, perempuan yang hamil, dan perempuan yang belum
pernah haid atau sudah maupouse ditentukan dengan batasan waktu yang pasti seperti
empat bulan sepuluh hari dan tiga bulan, atau dengan sebuah peristiwa yang
terukur yakni melahirkan. Sedangkan masa iddah bagi perempuan yang dicerai
suaminya tidak ditentukan dengan batasan waktu yang jelas namun dengan sebuah
peristiwa yang tida bisa diukur secara pasti, yakni tiga kali suci.
Masa tiga kali suci ini tidak bisa dipastikan ukuran waktunya mengingat siklus
haid seorang perempuan bisa jadi berbeda-beda satu sama lain. Apalagi bila
seorang perempuan mengalami masalah hormonal yang tidak normal tidak menutup
kemungkinan akan mengalami masa suci yang sangat panjang sehingga menyebabkan
masa iddahnya semakin lama. Ini dikarenakan masa suci dapat terjadi dalam kurun
waktu yang tidak terbatas. Berbeda dengan masa haid yang batas maksimalnya hanya
lima belas hari saja.
Tentang batasan masa haid dan suci ini Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami
menjelaskan batas minimal masa haid adalah satu hari satu malam, umumnya masa
haid enam atau tujuh hari, dan maksimal masa haid lima belas hari lima belas
malam. Sedangkan masa suci di antara dua masa haid paling cepat adalah lima
belas hari, umumnya dua puluh empat atau dua puluh tiga hari, dan paling lama
tidak terbatas. (Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safînatun Najâh, [Beirut: Darul
Minhaj, 2009], halaman 29).
Permasalahannya kemudian adalah bila masa iddah ditentukan dengan batasan tiga kali suci tanpa bisa dipastikan bilangan waktunya, lalu bagaimana cara menghitung masa iddah tiga kali suci? Kapan seorang perempuan dinyatakan belum atau telah selesai menjalani masa iddah tiga kali suci?
Dalan hal ini para ulama fiqih memberikan patokan umum yang dapat digunakan
untuk menentukan kapan seorang perempuan telah menyelesaikan masa iddahnya.
Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Nihâyatuz Zain—juga ulama Syafi’iyah lainnya
dalam kitab mereka—memberi patokan yang dapat digunakan untuk menghitung masa
iddah sebagai berikut:
فَإِن
طلقت طَاهِرا وَقد بَقِي من الطُّهْر لَحْظَة انْقَضتْ الْعدة بالطعن فِي حَيْضَة
ثَالِثَة أَو طلقت حَائِضًا وَإِن لم يبْق من زمن الْحيض شَيْء فتنقضي عدتهَا
بالطعن فِي حَيْضَة رَابِعَة إِذْ مَا بَقِي من الْحيض لَا يحْسب قرءا قطعا
Artinya: “Apabila seorang perempuan dicerai dalam keadaan suci dan masih
tersisa sedikit waktu dari masa suci itu maka masa iddahnya berakhir pada saat
masuk masa haid yang ketiga. Atau bila ia dicerai dalam keadaan haid, meskipun
tidak tersisa sedikitpun masa haid, maka iddahnya berakhir pada saat masuk masa
haid yang keempat, karena masa haid yang tersisa pada saat dicerai secara pasti
tidak dihitung sebagai masa suci.” (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nihâyatuz Zain,
[Bandung: Al-Ma’arif, tt], halaman 328).
Dari uraian Syekh Nawawi di atas bisa diambil satu simpulan bahwa ketika
seorang perempuan dicerai suaminya dalam keadaan suci maka masa iddahnya akan
berakhir pada saat pertama kali darah keluar di masa haid yang ketiga sejak
jatuhnya cerai. Ini bisa digambarkan sebagai berikut:
- Seorang perempuan dicerai pada tanggal 1 Januari pada saat ia sedang dalam
masa suci atau sedang tidak haid. Kondisi ini dihitung sebagai masa suci yang
pertama.
- Pada tanggal 6 sampai 20 Januari ia mengalami haid. Ini adalah haid pertama
sejak terjadinya perceraian.
- Pada tanggal 21 Januari sampai 5 Februari ia masuk pada masa suci yang kedua.
- Pada tanggal 6 sampai 20 Februari ia kembali haid untuk yang kedua kalinya.
- Pada tanggal 21 Februari sampai 5 Maret ia kembali suci untuk yang ketiga
kali.
- Pada tanggal 6 Maret pukul 08.00 WIB keluar darah haid. Pada saat ini ia
masuk pada haid yang ketiga kali sejak terjadinya perceraian. Pada saat ini
pula masa iddahnya telah selesai.
Sedangkan bila ketika dicerai sang perempuan dalam keadaan tidak suci atau sedang haid maka masa iddahnya akan berakhir pada saat pertama kali darah keluar di masa haid yang keempat sejak jatuhnya cerai. Penggambaran kasus ini sebagai berikut:
- Seorang perempuan dicerai pada tanggal 1 Januari pada saat ia sedang
mengalami haid. Kondisi ini dihitung sebagai haid yang pertama.
- Pada tanggal 6 sampai 20 Januari ia mengalami masa suci. Ini adalah masa suci
pertama sejak terjadinya perceraian.
- Pada tanggal 21 Januari sampai 5 Februari ia mengalami haid. Ini dihitung
sebagai haid yang kedua sejak terjadinya perceraian.
- Pada tanggal 6 sampai 20 Februari ia kembali suci untuk yang kedua kalinya.
- Pada tanggal 21 Februari sampai 5 Maret ia kembali haid untuk yang ketiga
kali.
- Pada tanggal 6 sampai 20 Maret ia kembali suci untuk yang ketiga kali.
- Pada tanggal 21 Maret pukul 08.00 WIB keluar darah haid. Pada saat ini ia
masuk pada haid yang keempat kali sejak terjadinya perceraian. Pada saat ini
pula masa iddahnya telah selesai.
Dengan kondisi seperti di atas masa iddah tiga kali suci akan terlewati dalam
kisaran waktu kurang lebih sembilan puluh hari. Ini bisa terjadi apabila
perempuan yang dicerai itu mengalami siklus haid yang normal sebagaimana
batasan yang disampaikan Syekh Salim Al-Hadlrami di atas.
Apabila perempuan yang dicerai mengalami siklus haid yang tidak normal di mana masa sucinya sangat panjang maka bisa jadi masa iddahnya akan jauh lebih lama.
Janda yang ingin menikah lagi penting mengetahui cara menghitung masa iddah ini
agar pernikahan yang hendak dilakukan untuk kali kedua dan seterusnya
benar-benar menjadi perkawinan yang sah sesuai aturan syari’at Islam. Wallâhu
a’lam. []
Ustadz Yazid Muttaqin, alumnus Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta. Kini
ia aktif sebagai penghulu di Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar