Isra adalah sebuah peristiwa ketika Allah memperjalankan Nabi Muhammad ke Masjidil Aqsa di Yerusalem, Palestina, dari Masjidil Haram di Makkah, Arab Saudi. Sementara Mi’raj adalah dinaikkannya Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsa, melintasi langit-langit, ke Sidrah al-Muntaha—sebuah tempat yang tidak dapat dijangkau nalar dan pengetahuan manusia, jin, dan bahkan malaikat sekali pun.
Isra Mi’raj menjadi salah satu peristiwa paling agung dalam sejarah Islam.
Karena dalam peristiwa itu, Nabi Muhammad mendapatkan wahyu tentang
pensyariatan shalat lima waktu, memperoleh keistimewaan dari Allah untuk
melakukan perjalanan mulia bersama Malaikat Jibril, bertemu dengan nabi-nabi
terdahulu, melihat surga dan negara, dan juga ‘berjumpa’ dengan Allah. Untuk
lebih jelasnya, berikut hal-hal menarik di balik Isra Mi’raj:
Pertama, waktu Isra Mi’raj.
Ada perbedaan pendapat di antara para ulama atau ahli sejarah terkait dengan
tanggal dan tahun kejadian Isra Mi’raj. Menurut at-Thabari, Isra Mi’raj terjadi
pada tahun ketika Allah memuliakan Nabi Muhammad dengan risalah kenabian. Ada
juga yang berpendapat bahwa Isra Mi’raj berlangsung pada tahun kelima kenabian
(an-Nawawi dan al-Qurthubi), malam tanggal 27 Rajab tahun ke-10 kenabian
(al-Allamah al-Manshurfuri), enam bulan sebelum hijrah atau bulan Muharram
tahun ke-13 kenabian, dan setahun sebelum hijrah atau bulan Rabi’ul Awwal tahun
ke-13 kenabian. Sementara menurut riwayat Ibnu Sa’ad, peristiwa agung tersebut
terjadi 18 bulan sebelum hijrah.
Syekh Syafiyyurrahman al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah (2012) menyebut, tiga pendapat pertama—at-Thabari, an-Nawawi dan al-Qurthubi, serta al-Manshurfuri- tertolak karena Sayyidah Khadijah meninggal pada tahun ke-10 kenabian. Alasannya, hingga Sayyidah Khadijah meninggal belum ada kewajiban shalat lima waktu.
Terlepas dari perbedaan tersebut, pendapat yang paling populer dan kuat adalah
Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian. Pada tangga ini,
setiap tahunnya, umat Islam di seluruh dunia memperingati Isra Mi’raj.
Kedua, pembedahan dada Nabi Muhammad.
Merujuk buku Air Zamzam Mukjizat yang Masih Terjaga (Said Bakdasy, 2015),
Malaikat Jibril membelah dada Nabi Muhammad dan ‘membersihkan’ hatinya dengan
air zamzam sebanyak empat kali. Pertama, saat Nabi Muhammad berusia empat tahun
dan masih tinggal bersama dengan ibu susunya, Sayyidah Halimah as-Sa’diyah, di
kampung Bani Sa’d.
Kedua, ketika Nabi Muhammad berusia 10 tahun. Dada Nabi Muhammad dibelah lagi saat usianya mendekati usia taklif (mukallaf). Hatinya dibersihkan Jibril dengan air zamzam agar tidak tercampur dengan hal-hal yang dapat membuat seorang pemuda cacat.
Ketiga, ketika Jibril membawa wahyu pengangkatan nabi atau saat usia Nabi
Muhammad 40 tahun. Hikmah di balik pembelahan ketiga ini adalah agar Nabi
Muhammad mampu menerima wahyu dengan hati yang kuat, bersih, dan diridhai.
Keempat, ketika Isra Mi’raj. Sesuai dengan salah satu hadits riwayat Bukhari,
Jibril membelah dada Nabi Muhammad dan membersihkan hatinya—agar dipenuhi
dengan iman- sesaat sebelum peristiwa Isra Mi’raj.
Ketiga, buraq.
Nabi Muhammad mengendarai buraq ketika dalam perjalanan dari Masjidil Haram
Makkah ke Masjidil Aqsa Yerusalem, dan dari Masjidil Aqsa ke Sidrah al-Muntaha.
Kata buraq seakar dengan kata barq, yang berarti kilat. Mungkin saja itu
menjadi isyarat bahwa kecepatan buraq seperti kilat atau cahaya. Diriwayatkan
bahwa ukuran tubuh buraq lebih kecil daripada kuda dan lebih besar dari bada
bagal. Buraq melangkah sejauh matanya memandang.
Keempat, jasad atau roh.
Ada tiga pendapat berbeda mengenai bagaimana Nabi Muhammad di-Isra Mi’raj-kan
oleh Allah. Pertama, Nabi Muhammad menjalani Isra Mi’raj hanya dengan rohnya
saja. Dalam Sejarah Hidup Muhammad (Muhammad Husain Haekal, 2013), mereka yang
berpendapat seperti ini berpegang pada keterangan Ummu Hani/Hindun binti Abi
Thalib. Diriwayatkan, pada saat terjadi Isra Mi’raj, Nabi Muhammad tengah
berada di rumah Ummu Hani’. Nabi tidur setelah mengerjakan shalat akhir malam.
Sebelum shubuh, Nabi membangunkan Ummu Hani’. Kemudian setelah melaksanakan
ibadah pagi, Nabi Muhammad menceritakan bahwa dirinya ke Masjidil Aqsa dan
shalat di sana, sesaat setelah shalat akhir malam. Mereka juga mendasarkan pada
perkataan Sayyidah Aisyah dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan terkait dengan Isra
Mi’raj Nabi hanya dengan rohnya saja.
Kedua, Isra Nabi dengan jasad dan roh, sementara Mi’raj dengan roh. Landasan mereka berpendapat bahwa Nabi ber-Isra dengan jasad adalah cerita Suraqah dan sebuah kafilah lain. Jadi, pada saat Isra, Nabi melalui kafilah Suraqah yang untanya tersesat. Lalu Nabi menunjukkannya. Nabi juga meminum dari sebuah bejana milik kafilah lain, dan kemudian menutupnya kembali. Kedua kafilah itu membenarkan cerita tersebut ketika orang-orang menanyainya.
Ketiga, Nabi Isra Mi’raj dengan jasad. Ini merupakan pendapat yang paling
masyhur karena jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf, sepakat bahwa Nabi
mengalami Isra Mi’raj dalam keadaan terjaga, dengan dengan jasmani dan
ruhaninya sekaligus. Dasarnya, seperti diuraikan Said Ramadhan al-Buthy dalam
The Great Episodes of Muhammad SAW (2017), kalau seandainya ini hanya
melibatkan aspek ruhani saja (mimpi), maka Kaum Quraisy dan masyarakat Makkah
tidak akan menunjukkan keheranan dan ketidakpercayaan yang begitu besar.
Karena, mimpi tidak ada batasnya dan siapapun bisa melakukan atau mengklaim
bermimpi seperti itu.
Ditambah, mereka tidak akan mengetes Nabi Muhammad untuk menceritakan detail Masjidil Aqsa—ciri-ciri, gerbang, dan pilar-pilarnya. Keesokan harinya, setelah malamnya mengalami Isra Mi’raj, Nabi Muhammad menceritakan ‘pengalamannya’ itu kepada khalayak umum. Mereka tidak percaya dan menantang Nabi untuk menceritakan detail dari Masjidil Aqsa. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad bisa menceritakan Masjdil Aqsa dengan gambaran yang jelas karena Allah memperlihatkannya ketika beliau berdiri di Hijr Ismail.
Kelima, antara khamr, susu, dan madu.
Setelah shalat dua rakaat di Masjidil Aqsa, Nabi Muhammad diberi tiga gelas
berisikan khamr (minuman keras), susu, dan madu. Jibril memintanya untuk
memiliki satu di antaranya. Maka Nabi Muhammad memilih gelas yang berisikan
susu.
“Engkau memilih fitrah,” kata Jibril.
Menurut Al-Buthy, itu menjadi pertanda bahwa Islam adalah agama fitrah.
Maksudnya, akidah dan semua hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada
satu pun dari Islam yang bertentangan dengan tabiat asli manusia. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar