Islam mengajarkan kepada seluruh pemeluknya agar selalu menjaga ketertiban umum, salah satunya adalah dengan menaati pemerintah yang sah. Sebab, posisi pemerintah dalam sebuah negara menurut Islam sangat penting bahkan keberadaannya merupakan sebuah kewajiban. Islam mengajarkan kepada seluruh pemeluknya agar selalu menjaga ketertiban umum, salah satunya adalah dengan menaati pemerintah yang sah. Sebab, posisi pemerintah dalam sebuah negara menurut Islam sangat penting bahkan keberadaannya merupakan sebuah kewajiban.
Islam mengajarkan kepada seluruh pemeluknya agar selalu menjaga ketertiban umum, salah satunya adalah dengan menaati pemerintah yang sah. Sebab, posisi pemerintah dalam sebuah negara menurut Islam sangat penting bahkan keberadaannya merupakan sebuah kewajiban. Tanpa seorang pemimpin (dalam hal ini pemerintah), tidak mungkin kondisi bangsa bisa kondusif.
Berkaitan dengan kewajiban menaati pemerintah, Allah swt berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An Nisa' [4]: 59)
Ayat di atas menegaskan bahwa menaati seorang pemimpin yang sah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Bahkan kalau kita cermati ayat tersebut, ketaatan kepada pemimpin diruntut setelah perintah taat kepada Allah dan rasul-Nya. Ini menegaskan bahwa menaati pemimpin merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar.
Berkaitan ayat ini, Imam al-Qurthubi mengutip ucapan Sahl bin Abdullah, “Manusia akan baik-baik saja selama mereka masih menghormati pemimpin dan ulama. Jika mereka memuliakan keduanya, maka Allah akan memberi kebaikan di dunia dan akhirat. Akan tetapi jika mereka merendahkan keduanya, maka Allah akan memberi kerusakan di dunia dan di akhirat.” (al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Aḫkâmil Qur’ân, 1967: juz V, h. 260)
Dalam sabda Rasulullah juga banyak ditegaskan kewajiban menaati pemimpin, salah satunya adalah hadits berikut,
وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
Artinya, "Sepeninggalku nanti ada pemimpin-pemimpin yang akan memimpin kalian, pemimpin yang baik akan memimpin dengan kebaikannya dan pemimpin yang fajir akan memimpin kalian dengan kefajirannya. Maka dengarlah dan taatilah mereka pada perkara-perkara yang sesuai dengan kebenaran saja. Apabila mereka berbuat baik maka kebaikannya adalah bagimu dan untuk mereka, jika mereka berbuat buruk maka bagimu (untuk tetap berbuat baik) dan bagi mereka (keburukan mereka)." (HR Bukhari Muslim)
Imam al-Mawardi dalam al-Aḫkâmush Shulthâniyah menjadikan hadits di atas sebagai salah satu dasar kewajiban umat Muslim untuk mengangkat seorang pemimpin dan menaatinya.
Berkaitan dengan urgensi menaati pemimpin, Syekh Muhammad Abdurrauf al-Munawi menjelaskan, agar umat Muslim bisa melakukan aktivitas keagamaan dengan damai, dalam sebuah negara harus ada seorang pemimpin yang ditaati oleh rakyatnya. Tanpa ada sosok pemimpin, maka akan terjadi inkondusifitas negara dan tentu akan berpengaruh pada kegiatan keagamaan. (al-Munawi, Faidhul Qadîr Syarah Jamî’ush Shaghîr, t.t: juz II, h. 137)
Etika Mengritik Pemerintah
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Oleh sebab itu, selain memiliki kewajiban taat kepada pemimpin yang sah, umat Muslim juga mempunyai hak untuk mengritik pemerintah jika melakukan kesalahan seperti seorang pemimpin yang mengajak berbuat maksiat atau bentuk penyelewengan dari agama lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
Artinya, "Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf (bukan maksiat)." (HR. Bukhari)
Hadits di atas bisa dijadikan dasar untuk mengritik pemerintah jika ia telah memberlakukan kebijakan yang merugikan masyarakat seperti menaikkan harga sembako di luar batas kemampuan rakyat sehingga banyak orang yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang padahal sudah menjadi haknya sebagai manusia dan warga negara.
Islam memperbolehkan umat Muslim untuk menyampaikan aspirasi seperti dalam bentuk unjuk rasa. Akan tetapi, semua ada aturannya. Tidak boleh aksi tersebut diwarnai dengan kericuhan, perusakan fasilitas umum, caci-maki, dan hal-hal merugikan serta tidak boleh menurut agama lainnya. Terkait hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an,
فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ
Artinya, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut" (QS. Taha [20]: 44).
Ayat di atas mengisahkan tentang Nabi Musa dan Nabi Harun saat diperintahkan oleh Allah swt untuk menasihati Fir’aun dengan ucapan yang lemah lembut. Kendati kita tahu, Fir’aun adalah sosok pemimpin yang sangat kejam, bahkan mengaku sebagai Tuhan. Kendati begitu, cara mengritiknya harus disampaikan dengan sopan.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika hari ini masih ada kelompok-kelompok yang masih menggunakan aksi-aksi kekerasan dan perbuatan tidak bermoral lainnya dalam menyuarakan aspirasi. Berunjuk rasa silakan, tetapi jangan sampai dijadikan celah untuk melakukan kerusakan yang justru menimbulkan kerugian lebih besar.
Rasulullah sendiri pernah menyampaikan etika yang baik dalam mengritik pemerintah. Beliau bersabda,
من اراد ان ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلو به فان قبل منه فذاك والا فد أدى الذي عليه
Artinya, "Barang siapa ingin menasihati pemerintah, janganlah disampaikan terang-terangan. Tapi pegang tangannya, bawa tempat sepi (lalu sampaikan nasihat). Jika nasihatnya diterima maka bagus. Jika ditolak, ia telah menyampaikan kepada pemerintah sesuatu yang tidak baik baginya" (HR Ahmad)
Semoga kita semua termasuk rakyat yang selain menaati pemerintah yang sah, juga berani menyampaikan aspirasi dengan tetap menjaga moral demi mewujudkan ketertiban bangsa. Wallahu a’lam. []
Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online; alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar