Setelah membahas banyak hal, Konferensi Islam Asia-Afrika (KIAA), ditutup pada hari Sabtu tanggal 13 Maret 1965 pukul 12.15 WIB. Penutupan sesi forum di Bandung tersebut ditandai dengan pembacaan surah Al-Fatihah, pekikan takbir, serta ketokan palu Ketua Konferensi KH Idham Chalid.
Pertemuan selama hampir sepekan tersebut menghasilkan apa yang disebut dengan
Deklarasi KIAA. Dari buku Deklarasi KIAA yang diterbitkan Panitia Daerah KIAA
Sumatera Utara (1965), disebutkan isi Deklarasi KIAA antara lain membahas
situasi internasional termasuk tentang resolusi khusus untuk Palestina.
Kemudian mengenai peranan Islam dan kaum muslimin, kerja sama umat Islam baik
di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Isu terkait buruh, tani, wanita, dan
teknologi juga menjadi salah satu poin pembahasan, bahkan dipandang perlu untuk
membentuk organisasi buruh dan tani Islam di wilayah Asia-Afrika.
Adapun pokok-pokok Deklarasi KIAA (ejaan disesuaikan):
1. Bahwa Islam adalah agama yang universal, yang terbesar, yang pernah
diturunkan Allah swt kepada manusia melalui rasul-Nya, Nabi Muhamamad saw.
2. Bahwa kaum muslimin di seluruh dunia, tanpa memandang kebangsaan, ras, jenis
kelamin, warna kulit, dan Bahasa adalah bersaudara di dalam perjuangannya
bersama guna meneruskan, mempertahankan, dan merealisir ajaran-ajaran agama
Islam.
3. Bahwa itu adalah merupakan tugas suci bagi tiap muslimin guna melenyapkan
semua bentuk kejahatan, penindasan, diskriminasi, penghisapan oleh manusia atas
manusia, dan oleh bangsa atas bangsa.
4. Bahwa Islam tidak dapat berkembang, tumbuh subur dan secara bebas, selama
masih ada imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme. Pun juga adanya
sesuatu bentuk kekuatan di dunia yang menghalangi kaum muslimin, untuk secara
bebas menjalankan keyakinannya dan menyatakan pikirannya.
5. Bahwa masih adanya nekolim di dunia kaum muslimin, menghalangi realisasi
perdamaian semesta.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Idham Chalid yang memimpin
jalannya konferensi, menyatakan syukur karena KIAA telah berakhir dengan
sukses. Ia juga menaruh harapan dari hasil KIAA ini akan berdampak luas ke
seluruh dunia. Sebagaimana dikutip Duta Masjarakat edisi tanggal 15 Maret 1965.
“Keputusan jang bersedjarah ini, bukan sadja akan membawa pengaruh jang kuat di
AA (Asia-Afrika, pen), melainkan djuga di seluruh dunia!” tegas Idham.
Resolusi Khusus Palestina
KIAA memperhatikan persoalan Palestina dan berpendapat persoalan tersebut bukan saja menjadi persoalan bangsa Arab, melainkan juga persoalan dunia Islam dan sesungguhnya persoalan seluruh umat manusia. Oleh karena itu, KIAA telah menentukan bahwa:
1. Tidak ada suatu negara Islam pun yang patut mengakui apa yang disebut negara
Israel dan negara-negara Islam yang telah berbuat demikian harus dengan segera
menarik menarik Kembali pengakuannya. Kaum minoritas Islam di negara-negara
bukan Islam, seharusnya memberikan bantuan moril bagi persoalan tersebut.
2. Semua negara Islam serta kaum muslimin umumnya harus memberikan bantuan
morilnya kepada Organisasi Pembebasan Palestina.
3. Semua negara Islam serta kaum muslimin umumnya tiap tahun hendaknya
memperingati tanggal 15 Mei sebagai Hari Protes terhadap didirikannya Israel
oleh negara imperialis.
4. Persoalan pemberian beasiswa kepada pelarian (pengungsi) Palestina, diajukan
kepada panitia yang mengurus soal-soal di bidang pendidikan dan kegiatan
kebudayaan.
Selain resolusi khusus untuk Palestina ini, KIAA juga membahas persoalan
terkait golongan minoritas Islam di negara-negara bukan Islam, yang mengalami
banyak diskriminasi, pengusiran, dan bahkan pembunuhan masal.
Kelanjutan KIAA
Peranan Indonesia yang cukup besar dalam penyelenggaraan KIAA, menjadi pertimbangan besar pada saat pembahasan mengenai tempat sekretariat organisasi persatuan Islam yang dibentuk dari KIAA, yakni tetap berada di Indonesia.
Selain itu, pimpinan organisasi yang dibentuk juga disamakan dengan susunan kepanitiaan, yang berarti KH Idham Chalid dan KH Ahmad Sjaichu, Kembali ditunjuk menjadi Ketua dan Sekjen. Sedangkan untuk Wakil Ketua di antaranya ada perwakilan dari Republik Persatuan Arab (RPA) dan Nigeria.
Sayangnya penyelenggaraan KIAA yang perdana di Bandung ini, sekaligus menjadi
yang terakhir. Pengamat sejarah Iip Dzulkipli Yahya mengatakan, sekalipun acara
KIAA ini besar dan menghasilkan berbagai keputusan penting, namun seakan
tersapu dengan peristiwa yang terjadi di awal Oktober 1965. Pun dengan
peringatannya di masa kini, tak banyak yang mengingat layaknya KAA (Konferensi
Asia-Afrika).
“Tampaknya tersapu peristiwa 65. Fokus peringatan baru ke KAA,” ujar penulis
buku biografi Oto Iskandar di Nata itu.
Selain itu, tentu faktor politik nasional dan internasional, ikut berpengaruh
pada keberlanjutan KIAA ini. Di Indonesia, pergantian rezim dari Orde Lama ke
Orde Baru, tentu ikut membawa banyak perubahan pada kebijakan hubungan
Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk dalam konteks KIAA.
Di tahun 1969, alih-alih organisasi yang dibentuk dari KIAA terus berkembang,
justru muncul organisasi baru yang bernama Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Indonesia sendiri termasuk dalam negara-negara yang hadir dalam konferensi
pertama OKI. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar