Kita telah memasuki era kependudukan global, di mana sekat-sekat daerah, bangsa, maupun negara, sudah semakin sirna. Dengan majunya perangkat komunikasi dan teknologi digital, interaksi antarbangsa tak ada lagi hambatan. Begitupun dalam bidang transportasi, mobilitas manusia makin dinamis dan kian banyak terjadi perjalanan antardaerah atau antarnegara, baik untuk sekadar keperluan pelesir, yang sifatnya bisnis dan ekonomi maupun politik.
Meskipun perjalanan hari ini adalah hal yang lumrah, masih ada kalangan muslim yang melakukan pembatasan-pembatasan bepergian untuk perempuan, yang didasarkan pada motif kultural maupun agama.
Dalam motif agama, masyarakat biasa meminta perempuan tidak bepergian jauh, atau menetap di luar daerah ataupun luar negara tanpa pendamping atau mahram. Bagi sebagian kalangan tentu pembatasan gerak perempuan menjadi hambatan sosial mereka untuk mengembangkan diri.
Benarkah Islam menghambat wanita dengan melarang mereka bepergian tanpa atau menetap di luar daerah tanpa mahram? Jika memang demikian, apa sebenarnya alasan yang mendasari hal tersebut?
Kebanyakan ulama kerap merujuk ketentuan perempuan bepergian tanpa mahram ini pada hadits di antaranya sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال: لاَ تُسَافِرِ المَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Artinya, “Dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya,’” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam redaksi hadits yang lainnya disebutkan,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يَحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر مسيرة يوم وليلة إلا ومعها ذو مَحرم
Artinya, “Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, ’Janganlah seorang wanita bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya,’” (HR Tirmidzi).
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Ad-Daruquthni, serta imam muhaddits yang lainnya. Dalam beberapa riwayat lain dari Abu Said Al-Khudri atau Abdullah bin Abbas, tercatat juga larangan bepergian tanpa mahram ini dikisahkan dalam konteks pergi haji. Selain dalam urusan tujuan safar, Nabi SAW juga disebutkan berbeda-beda dalam menyatakan batasannya, kadang menyebutkan sehari, kadang menyebutkan sehari-semalam, kadang dua hari dan kadang juga tiga hari.
Kalimat-kalimat dalam ragam riwayat hadits di atas tampak tegas menyatakan larangan bepergian untuk perempuan sehingga sebagian ulama menyebutkan bahwa bepergian untuk tujuan apapun, termasuk tujuan wajib seperti haji, mesti disertai mahram. Salah satunya Imam Ibnu Hajar ketika mensyarahi hadits tentang larangan bepergian tanpa mahram tersebut dalam Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari,
...بأن الرواية المطلقة شاملة لكل سفر، فينبغي الأخذ بـها وطرح ما عداها
Artinya, “Riwayat (hadits tentang larangan perempuan bepergian tanpa mahram) itu bersifat mutlak mencakup semua jenis perjalanan. Maka harus mengambil hal itu, dengan membuang yang selain itu,” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, [Beirut, Darul Marifah], hal 76, juz IV).
Sejalan dengan pendapat di atas meski lebih lunak, Imam Al-Mubarakfuri dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi mensyarahi hadits-hadits serupa dengan menetapkannya sebagai sesuatu yang makruh tahrim.
Tapi selain hadits-hadits tentang larangan bepergian untuk perempuan seperti di atas, ternyata ada juga hadits-hadits yang menyatakan kebolehan bepergian untuk perempuan.
Dalam satu riwayat dalam Shahih Muslim, disebutkan sahabat Umar bin Khatthab RA memperkenankan istri Nabi Muhammad SAW untuk melakukan perjalanan haji dan umrah, yang ternyata tanpa didampingi mahram mereka, melainkan didampingi sahabat Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Tentu saja perjalanan haji dan umrah istri-istri Nabi ini dari Madinah ke Makkah, yang jaraknya tak kurang dari 400 km.
أن عمر رضي الله عنه أذِن لأزواج النبي صلى الله عليه وسلم في آخر حجة حجَّها، فبعث معهنَّ عثمان وعبدالرحمن بن عوف
Artinya, “Umar mengizinkan para istri nabi SAW pergi haji pada haji yang terakhir dan mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf,” (HR Muslim).
Oleh sebagian ulama mazhab, keamanan dan tiada fitnah inilah yang dijadikan larangan bepergian, bukan karena tiadanya mahram. Ada juga pendapat bahwa mahram dapat digantikan dengan seorang wanita yang dapat dipercaya. Hanya saja, hal itu hanya dibolehkan dalam bepergian yang dinilai wajib, seperti haji.
Dari sini juga timbul pendapat seperti dinyatakan Imam An-Nawawi dalam Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim yang memperinci: wanita tidak bepergian bersama dengan mahramnya kecuali untuk haji atau umrah. Selain untuk urusan haji dan umrah wajib, urusan yang membolehkan bepergian tanpa mahram adalah untuk pergi dari daerah yang zalim dan mengancam aktivitas keislamannya.
Ada juga hadits lain yang menyebutkan pada satu momen, diriwayatkan dari Adiy bin Hatim, bahwa ia sedang bersama Nabi SAW, dan tiba seorang laki-laki mendatanginya mengeluhkan kefakirannya, dan ada lagi seorang yang mengeluhkan para perampok yang merajalela (qath’us sabil).
Nabi pun berkata pada Adiy bin Hatim, "Wahai Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al-Hirah?"
Adiy bin Hatim menjawab, "Aku belum pernah melihatnya, namun aku pernah dengar beritanya." Nabi menimpali, "Seandainya kamu diberi umur panjang. Kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Hirah hingga melakukan tawaf di Ka’bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah."
Dalam redaksi lainnya, disebutkan bahwa akhirnya Adiy bin Hatim mengetahui ada perempuan yang berhaji sendirian dari Hirah ke Makkah. Lokasi Hirah berada di sekitar Kufah, Irak, lebih dari 1.500 km dari Makkah.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, juga muhaddits lain seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Khuzaimah, dan lainnya. Kualitas kisah ini shahih karena diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari.
Setidaknya dari kisah di atas, perempuan yang bepergian dari Hirah itu telah berada dalam kondisi aman saat perjalanan. Kekhawatiran terhadap qath’us sabil atau perampok itu nyatanya tidak ada saat perempuan dari Hirah itu berhaji tanpa mahram sehingga ia dapat bepergian sendiri.
Beragam pandangan dari hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perempuan bepergian tanpa mahram itu memungkinkan dan boleh dengan mengacu pendapat bahwa mereka mesti aman dalam perjalanan, atau jika dalam konteks menetap di luar daerah, aman di tempat tujuan.
Bagaimana untuk keperluan belajar atau kerja? Mengingat kian banyak mahasiswi menempuh pendidikan di luar daerah bahkan luar negeri, serta banyaknya pekerja migran. Realitasnya, gelombang wanita perantauan ini telah terjadi dari masa ke masa. Hal ini dibolehkan, merujuk fatwa kontemporer dari Darul Ifta’ Al-Mishriyyah menyatakan:
والمختار للفتوى في شأن سفر المرأة لحضور منحة علمية من دون زوج أو محرم: هو جواز سفرها مع الرفقة المأمونة بشرط الأمان وموافقة الزوج أو الولي...
Artinya, “Pendapat yang lebih dipilih dalam adalah bepegian demi untuk menuntut ilmu tanpa ditemani mahram atau suami adalah boleh, asalkan ditemani dengan rekan yang terpercaya, aman, serta diiringi dengan izin dari pihak suami atau walinya.”
Lebih jauh, larangan bepergian untuk perempuan kiranya tidak hanya soal halal haram, tapi juga perlu ditinjau dari pertimbangan adat atau sosial yang masih berkembang di masyarakat. Di zaman sekarang, kenyataannya perempuan telah bergerak melampaui fatwa-fatwa di atas: para pekerja migran, pelajar di negeri-negeri jauh, maupun bepergian ke beragam tempat di penjuru negeri. Hal ini menunjukkan bahwa prasyarat keamanan dan perlindungan inilah yang menjadi lebih utama dalam upaya memberi ruang lebih untuk perempuan di ranah publik. []
Ustadz Muhammad Iqbal Syauqi, pegiat kajian Al-Qur’an dan Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar