Senin, 04 Oktober 2021

KH Hasyim Asy’ari Meletakkan Perjuangan Melawan Penjajah dengan Mendirikan Pesantren

Ulama-ulama Nusantara, tidak terkecuali Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) terus berupaya meneguhkan legacy (warisan) ajaran Islam yang dibawa Wali Songo di Indonesia melalui dakwah ramah dan berkebudayaan. Upaya-upaya perjuangan tersebut mendapat tantangan tidak mudah karena bangsa Indonesia dalam kondisi terjajah.

 

Dalam kondisi terjajah itu, keyakinan beragama rawan terombang-ambing sehingga KH Hasyim Asy’ari kembali bertekad memperkuat akidah dan syariat Islam kepada Muslim Nusantara yang terlebih dahulu sudah dilakukan oleh Wali Songo. Tentu saja sembari berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari kungkungan penjajahan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dengan ilmu.

 

Dari sini KH Hasyim Asy’ari merupakan sosok ulama yang terus mendorong rakyat untuk tekun belajar dan menuntut ilmu. Beliau belajar dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Tidak cukup menggali ilmu di dalam negeri, beliau juga memperkuat keilmuannya dengan belajar di Tanah Hijaz, Makkah.

 

Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di Makkah, Muhammad Asad Syihab dalam buku biografi KH Hasyim Asy’ari yang ditulisnya mencatat bahwa Hadhratussyekh pulang ke Tanah Air tidak membawa gelar besar yang kosong, tidak pula membawa harta dunia yang bertumpuk, namun kembali di dadanya ilmu yang bermanfaat untuk diajarkan kepada warga dan anak negerinya, memberi bimbingan dan pendidikan kepada mereka, dan menghidupi mereka dengan ruh Islam.

 

KH Hasyim Asy’ari berpesan: “Bangsa tidak akan jaya jika warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik.” (Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri, 1994: 18)

 

Muhammad Asad Syihab dalam bukunya itu menyebut Kiai Hasyim Asy’ari dengan sebutan al-‘Allamah. Dalam tradisi Timur Tengah, istilah tersebut diberikan kepada orang yang mempunyai pangkat keulamaan dan keilmuan yang tinggi.

 

Meskipun Kiai Hasyim Asy’ari mumpuni dalam ilmu agama, tetapi ia tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah. Kegelisahannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.

 

Pertemuan tersebut terjadi pada suatu di bulan Ramadhan, di Masjidil Haram, Makkah. Singkat cerita, dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di hadapan “Multazam”, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.

 

Isi kesepakatan tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.

 

Bagi mereka, tekad tersebut harus dicetuskan dan dibawa bersama dengan mengangkat sumpah. Karena pada saat itu, kondisi dan situasi sosial politik di negara-negara Timur hampir bernasib sama, yakni berada di bawah kekuasaan penjajahan bangsa Barat. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 1985)

 

Sesampainya di tanah air, KH menepati janji dan sumpahnya saat di Multazam. Pada tahun 1899 M, beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Dari pesantren ini kemudian dihimpun dan dilahirkan calon-calon pejuang Muslim yang tangguh, yang mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan, dan mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim merupakan ulama abad 20 yang telah berhasil melahirkan ribuan kiai.

 

Bukan hanya untuk tujuan memperkuat ilmu agama, tetapi pendirian wadah pesantren itu juga untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah Belanda dan juga Nippon (Jepang). Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Kiai Hasyim dan pesantrennya tidak pernah luput dari spionase Belanda.

 

Langkah awal perlawanan kultural yang dilakukan oleh pesantren menunjukkan bahwa pondok pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah pergerakan nasional hingga akhirnya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan hakiki secara lahir dan batin. Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi tentu saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator, sekaligus negosiator tidak bisa dielakkan begitu saja.

 

Asad Syihab mencatat, ketika menangani penataan pesantren, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari menghadapi banyak tantangan dan rintangan. Kiai Hasyim Asy’ari dengan gigih menghadapi segala kesulitan dan hambatan dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda kala itu, yang hanya menginginkan kaum Muslimin dalam posisi terbelakang sehingga tak bisa melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.

 

Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda, termasuk melakukan upaya kekerasan dengan menghancurkan pesantren. Untuk membenarkan tindakan represifnya itu, Belanda berdalih dan menuduh bahwa pesantren merupakan wadah perusuh, pemberontak, dan orang-orang Islam ekstrem. (Muhammad Asad Syihab, 1994: 19)

 

Tidak hanya itu, tindakan Belanda juga mengancam keselamatan jiwa KH Hasyim Asy’ari sehingga para santri kala itu berupaya keras menjaga keselamatan gurunya tersebut meskipun harus berhadapan dengan bedil-bedil Belanda. Perlawanan Belanda surut. Tetapi upayanya tidak pernah berhenti. Namun, kaum santri dan umat Islam semangatnya justru semakin membuncah dalam membela tanah air dan kemerdekaan bangsa Indonesia. []

 

(Fathoni Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar