Islam Kosmopolitan
Oleh: Azyumardi Azra
Islam Indonesia sejak masa awal perkembangannya secara masif pada paruh kedua abad ke-13 dan seterusnya sering disebut memiliki distingsi dan karakter ‘kosmopolitan’ atau ‘kosmopolitanisme’ yang kuat.
Realitas geografis Indonesia sebagai kepulauan atau ‘benua maritim’ membuat distingsi dan karakter ‘kosmopolitan’ atau ‘kosmopolitanisme’ terus menguat.
Keadaan ini berbeda dengan wilayah Muslim lain yang memiliki daerah laut terbatas, apalagi jika terkunci di tengah daratan kontinental yang tidak punya akses ke wilayah maritim.
Dalam penelitian tentang Islam Indonesia konsep ‘kosmopolitan’ atau ‘Islam kosmopolitan’ atau ‘kosmopolitanisme Islam’ sering digunakan sarjana, peneliti, dan penulis baik dari dalam maupun luar negeri.
Pada segi lain, menurut asesmen kalangan pengamat asing, dalam literatur tentang Islam Indonesia atau bahkan internasional, subjek yang membahas hubungan antara konsep kosmopolitan atau kosmopolitanisme dengan Islam dan Muslimin masih kurang.
Hampir tidak ada penjelasan lengkap tentang apa yang dimaksud istilah itu; tidak ada penjelasan atau definisi tentang kosmopolitan atau kosmopolitanisme, khususnya ketika dikaitkan dengan Islam atau dilekatkan menjadi karakter Islam atau orang Muslim.
Inilah kecenderungan tipikal kalangan sarjana asing atau Indonesia yang jarang menjelaskan secara jelas dan perinci maksud dan definisi istilah atau terminologi tertentu yang mereka gunakan.
Ketika berbicara misalnya tentang kosmopolitan atau kosmopolitanisme—literatur atau sarjana bersangkutan seolah menganggap pembaca secara taken for granted sudah memahami apa yang dimaksudkan.
Beberapa literatur kontemporer menyebutkan, cendekiawan Muslim Indonesia kontemporer (misalnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan tak jarang juga disebut penulis Resonansi ini) sebagai ‘kosmopolitan’ atau ‘cendekiawan Muslim kosmopolitan’ yang berorientasi pada ‘kosmopolitanisme’.
Namun, mereka mengangkat wacana kosmopolitan dan kosmopolitanisme tanpa mempertanyakan apakah mereka masing-masing juga melihat atau merasa diri sendiri ‘kosmopolitan’.
Sekali lagi, baik peneliti asing atau peneliti anak negeri sendiri jarang menanyakan langsung atau mewawancarai orang yang disebut ‘cendekiawan kosmopolitan’ atau ‘sarjana kosmopolitan’.
Penulis Resonansi ini pernah diwawancarai Associate Professor Khairuddin Aljunied, dosen National University of Singapore (NUS), untuk penulisan tentang Hamka apakah dia bisa disebut sebagai ulama dan sastrawan kosmopolitan (Khairudin Aljunied, Hamka and Islam¨Cosmopolitan Reform in the Malay World, Ithaca: Cornell University Press, 2018).
Penulis sendiri juga kadang-kadang disebut beberapa penulis atau pewawancara sebagai cendekiawan kosmopolitan. Tapi ada yang bertanya, maksudnya apa dan pertimbangannya apa?
Saya jawab; saya tidak tahu persis; mungkin karena pandangan dunia saya yang mereka cermati. Atau boleh jadi juga karena pengalaman intelektual saya yang mencakup dan melintasi berbagai bidang ilmu. Lagi pula pengembaraan intelektualnya juga mendunia, sama sekali tidak terbatas pada Indonesia atau Sumatra Barat, daerah asal saya.
Apakah konsep ‘kosmopolitan’, ‘kosmopolitanisme’, atau ‘Islam kosmopolitan’ atau ‘kosmpolitanisme Islam’ relevan dengan Islam Indonesia umumnya atau Islam Nusantara Nahdlatul Ulama (NU) atau Islam Berkemajuan Muhammadiyah?
Lebih jauh, apakah ‘sarjana kosmopolitan’ atau bahkan ‘cendekiawan Muslim kosmopolitan’ juga relevan dan kontekstual di Indonesia baik di masa lalu, sekarang dan masa depan?
Hemat saya, konsep ‘kosmopolitan’, ‘Islam kosmopolit’ atau ‘Islam kosmopolitan’ dan ‘kosmopolitanisme Islam’ pernah dan tetap relevan dengan Islam Indonesia di masa silam dan kini dan mendatang.
Namun jelas, secara historis dan sosio-religius ‘Islam kosmopolitan’ atau ‘kosmopolitanisme Islam Indonesia’ juga mengalami pasang naik dan juga surut akibat dampak perkembangan internal dan eksternal di Indonesia dan dunia lebih luas.
‘Kosmopolitan’ secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘sikap atau pandangan dunia bahwa seluruh manusia di dalam kosmos, meski sangat beragam, adalah komunitas tunggal’. Dalam pengertian lebih luas dan lebih longgar ‘kosmopolitan’ berarti world-view yang bersifat mendunia atau makrokosmos.
Meski dalam makna asli menyatakan manusia sejagad raya sebagai komunitas tunggal, kosmopolitanisme dalam pengertian longgar berarti pandangan dunia (world-view) menjagat, melintasi batas wilayah, budaya, ras, agama, dan seterusnya.
Kosmopolitanisme juga dapat dipahami sebagai pandangan dunia, paham atau semacam ideologi tentang kemenduniaan atau kesejagatan.
Dalam konteks itu, konsep kosmopolitan, kosmopolitanisme, Islam kosmopolitan atau kosmopolitanisme Islam; dan cendekiawan Muslim kosmopolitan sekali lagi pernah dominan dan tetap relevan dalam perjalanan historis Islam Indonesia kini dan ke depan. []
REPUBLIKA, 14 Oktober 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar