Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, sebagian manaqib menghikayatkan karamatul auliya, kemuliaan orang selain nabi di sisi Allah. Bahkan manaqib Syekh Samman menghikayatkan seseorang di sebuah kapal yang terlepas dari bahaya ombak dan badai di tengah laut dengan menyeru “Yā Sammān, yā Sammān.” Apakah kita boleh bertawasul dengan menyeru nama selain Allah? Terima kasih. Wassalamu 'alaikum wr.wb.
Umar – Lombok
Jawaban:
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pada prinsipnya tawasul sendiri melalui para nabi dan para wali baik pada saat mereka hidup maupun sepeninggal mereka dibolehkan dalam Islam.
Masalah ini dibahas oleh Sayyid Abdurrahman Ba’alawi pada akhir karyanya, Bughyatul Mustarsyidin. Kebolehan tawasul ini sudah tetap dalam nash-nash syariat sebagaimana keterangan berikut ini:
قوله (مسألة : ج) التوسل بالأنبياء والأولياء في حياتهم وبعد وفاتهم مباح شرعاً ، كما وردت به السنة الصحيحة، كحديث آدم عليه السلام حين عصى، وحديث من اشتكى عينيه، وأحاديث الشفاعة، والذي تلقيناه عن مشايخنا وهم عن مشايخهم وهلم جرا
Artinya, “(Satu masalah: Alwi bin Segaf bin Muhammad Al-Ja’fari [Jim]) Tawasul dengan para nabi dan wali saat mereka hidup dan setelah mereka wafat dibolehkan menurut syariat sebagaimana tersebut dalam hadits shahih seperti hadits Nabi Adam AS saat bermaksiat, hadits orang yang mengadukan matanya, hadits syafa‘at, dan segala yang kita terima dari masyayikh kita, mereka dari masyayikh mereka, dan seterusnya,” (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], halaman 485).
Semua bentuk tawasul itu boleh dan sudah tetap di pelosok negeri. Mereka sudah cukup sebagai teladan. Mereka itulah orang yang mengajarkan syariat kepada kita. Kita tidak kenal syariat tanpa pengajaran mereka. Kalau saja mereka itu kufur seperti sangkaan orang-orang dungu, niscaya syariat Nabi Muhammad SAW menjadi batal. (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, 1994 M/1414 H: 485-486).
Adapun seruan tawasul dengan menyebut nama para wali kata Sayyid Abdurrahman Ba’alawi hanya bersifat majaz dalam penggunaan bahasa karena hakikatnya Allah ta‘ala juga yang dimaksud dalam tawasul tersebut dan hanya Allah juga dalam i’tiqad kita yang dapat memberi manfaat dan mudharat atas makhluk-Nya.
وقول الشخص المؤمن يا فلان عند وقوعه في شدة داخل في التوسل بالمدعوّ إلى الله تعالى وصرف النداء إليه مجاز لا حقيقة
Artinya, “Seruan seorang mukmin, ‘Wahai syekh fulan,’ saat terperangkap dalam kesulitan hidup, termasuk tawasul kepada Allah melalui nama wali-Nya yang diseru. Sedangkan pengalihan seruan kepadanya merupakan bentuk majaz dalam berbahasa, bukan secara hakiki,” (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, 1994 M/1414 H: 486).
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan bahwa seruan nama wali itu bermakna, “Wahai wali Allah, syekh fulan, aku bertawasul kepada Allah melalui kamu agar Tuhanku membangkitkanku dari kejatuhan atau mengembalikan kesadaranku” misalnya. Jadi yang diminta tetap Allah.
Adapun meminta tolong dengan menyeru nama nabi atau wali hanya majaz belaka dengan alaqah sebab-akibat yang jelas dalam kajian balaghah sebagaimana lazim penggunaannya dalam Al-Qur’an dan hadits.
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menambahkan, meski ada kebolehan untuk itu ulama bertugas untuk membimbing masyarakat terkait kalimat-kalimat yang dapat mencederai keimanan dan tauhid mereka. Ulama wajib mengingatkan, tiada yang dapat memberi manfaat dan mudharat kecuali Allah. Siapa pun tidak berkuasa untuk memberi manfaat dan mudharat kepada mereka kecuali dengan kehendak-Nya.
Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar