Rabu, 27 Oktober 2021

(Ngaji od the Day) Kejahatan Skema Piramida dalam Bisnis MLM

Kejahatan memang bisa terjadi kapan saja, bukan hanya karena adanya niat dari pelakunya, akan tetapi karena adanya kesempatam. Demikian dituturkan oleh Bang Napi di sebuah acara yang kerap menghias layar televisi. Nah, kesempatan ini hadir salah satunya akibat ketidaktahuan masyarakat.

 

Ada banyak pelaku yang dengan tega memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat ini guna mengecoh dan mengelabui korban dengan berbagai janji meraup keuntungan yang serba instan dengan tanpa perlu bekerja keras. Dana masyarakat diambil dan dikeruk dengan jalan ajakan bergabung dengan sebuah kegiatan usaha berkedok penjualan langsung berjenjang (multi-level marketing/MLM).

 

Dalam praktiknya, keuntungan yang dibagikan berupa passive income adalah berasal dari biaya yang digali dan dikumpulkan dari orang baru yang bergabung di kemudian harinya. Mereka yang dibayar umumnya adalah orang yang merekrutnya bersama-sama dengan jaringan di atasnya. Orang yang merekrut ini diistilahkan oleh mereka sebagai penerima jasa referensi (yang memberitahu). Jadilah kemudian skema pemasaran yang demikian ini disebut dengan istilah skema piramida pemasaran, inti utama dari money game.

 

Misalnya, melalui perbandingan 1:10, maka untuk membayar bonus (passive income) 1 orang dibutuhkan 10 orang yang menyetor dan bergabung sebagai anggota. Kemudian untuk membàyar 10 orang ini, diperlukan 100 orang baru yang ikut bergabung, begitu seterusnya. Dengan demikian, suatu saat uang yang masuk dari orang yang baru tidak mencukupi kecepatannya guna memberikan passive income yang telah masuk sebelumnya. Di sinilah bom waktu itu akan meledak.

 

Sistem penjualan langsung yang benar adalah "bonus" didapatkan dari produk yang terjual. Model demikian ini adalah bersifat baku bahkan diakui oleh syariat. Lantas mengapa sistem piramida yang terlarang itu marak ada di Indonesia? Untuk menjawab masalah ini dibutuhkan kilas balik terhadap sejarah perundang-undangan sistem dagang di Indonesia. Tapi kiranya, sistem ini sudah mendapat pelarangan melalui penerapan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Sistem Perdagangan.

 

Yang perlu diketahui bahwa praktik larangan penggunaan sistem dagang piramida yang terlarang diketahui setelah adanya delik aduan. Ini menandakan bahwa penipuan sudah terjadi dan ada korban sehingga sulit diatasi, apalagi ditanggulangi. Itulah sebabnya butuh adanya peraturan yang bisa menimbulkan efek jera bagi pelakunya serta hukuman yang bisa menghentikan praktik ini sebelum jatuh korban-korban berikutnya. Sayangnya hal ini sedikit mengalami keterlambatan.

 

Praktik yang umum ditemui di lapangan dari sistem berkedok penjualan langsung ini juga mulai mengalami modifikasi. Jika dulunya hanya berbasis kedok investasi, tapi kali ini berkedok penjualan produk. Pendaftaran dijadikan kedok penarik dana.

 

Uang pendaftaran dalam jumlah besar ditarik bersama dengan pengiriman paket produk yang mungkin harganya tidak sebanding dengan nilai uang yang disetorkan. Produk di sini sifatnya hanya kedok belaka untuk penarik dana besar melalui pendaftaran.

 

Sudah pasti korban langsungnya adalah masyarakat luas yang dalam beberapa hasil catatan penelitian diketahui mencapai triliunan rupiah. Ini sudah termasuk masif dan merupakan tanggung jawab nasional sehingga tidak cukup hanya melalui perang media. Harus ada sistem regulasi pada tingkatan nasional, yakni lewat Undang-Undang. Secara tidak langsung, dengan maraknya money game lewat praktik-praktik tidak sah semacam itu, mereka yang melakukan sistem penjualan langsung yang sah dan benar justru menjadi korban. Sistem pemasaran yang dipergunakannya dibajak demi meraup keuntungan individu. Citra perusahaan yang menangani "penjualan langsung yang sah" secara otomatis menjadi buruk di mata konsumennya, akibat pembajakan tersebut. Setidaknya, regulasi pemasaran yang diperlukan dalam hal ini adalah:

 

1. Regulasi yang menyatakan perlunya melindungi produk-produk yang dipasarkan dengan sistem direct selling (penjualan langsung).

 

2. Perlunya regulasi yang berpihak kepada pengusaha-pengusaha kecil mandiri dalam melakukan usahanya melalui direct selling.

 

Sistem direct selling pada dasarnya merupakan praktek penjualan secara langsung dengan niat melindungi pengusaha kecil mandiri dari pengusaha retail konvensional yang menjual dalam sistem gerai-gerai, seperti toko, supermarket, dan minimarket.

 

Perbedaan direct selling dengan pengusaha retail konvensional adalah dalam sistem penjualan retail konvensional, gerai-gerai yang dibuka ini bersifat pasif. Mereka menunggu pembeli datang. Pengenalan produknya dilakukan melalui strategi komunikasi massa, misalnya lewat iklan dan lain sebagainya. Hal ini tidak terjadi pada perusahaan direct selling. Mereka aktif menjemput bola ke masyarakat, menerangkan manfaat, cara penggunaan, dan kelebihan dari produknya. Jika produk ini sudah mendapatkan kesadaran (perhatian dan penerimaan) dari masyarakat, maka sudah seharusnya produk tersebut terus dipasarkan secara eksklusif dengan sistem direct selling ini. Efek akhirnya, jerih payah tenaga marketing yang telah bergerilya bertahun-tahun tidak dirugikan oleh gerai-gerai konvensional tersebut. Dengan demikian, penguatan dan perlindungan dalam bentuk regulasi undang-undang. Termasuk di dalam bagian dari regulasi tersebut adalah yang bisa membedakan antara sistem piramida pergadangan yang terlarang dan yang tidak dilarang, khususnya secara syariat.

 

Ada beberapa catatan penting guna memenuhi regulasi tersebut, yaitu:

 

1. Ada pengakuan Undang-Undang terhadap model pemasaran penjualan langsung berjenjang. Sudah pasti hal ini dengan rincian definitif berupa penjualan langsung adalah metode penjualan barang atau jasa yang dilakukan langsung ke konsumen di luar lokasi tetap penjualan eceran (retail)

 

2. Agar dapat membedakan antara penjualan langsung yang sah dan tidak, maka perlu ada pengakuan dari mesin regulasi bahwa yang dimaksud dengan penjualan langsung berjenjang (MLM) adalah metode penjualan barang dan/atau jasa dengan sistem penjualan langsung melalui jaringan pemasaran berjenjang yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan atau bonus "yang diperoleh berdasarkan hasil penjualan barang dan atau jasa kepada konsumen." Keberadaan penegasan ini setidaknya dapat mengeliminir kemungkinan berlakunya MLM yang menerapkan bonus berbasis pungutan uang pendaftaran dari anggota.

 

3. Selanjutnya demi menghindari penyelewengan timbulnya MLM money game, perlu dicantumkan secara tegas tentang pengertian distribusi. Distribusi barang dan atau jasa yang memiliki hak distribusi eksklusif untuk diperdagangkan dengan sistem penjualan langsung dan/atau penjualan langsung berjenjang, hanya dapat dipasarkan dengan sistem penjualan langsung oleh penjial yang resmi terdaftar sebagai anggota perusahaan penjualan langsung dan perusahaan penjualan langsung berjenjang.

 

Demikian kiranya perlu adanya kesadaran dari semua pihak bahwa ada penjualan langsung berjenjang yang sifatnya money game dan tidak. Ke depan, perlu kiranya perlindungan terhadap citra dari perusahaan yang menerapkan sistem penjualan langsung ini yang selama ini dirusak oleh MLM abal-abal. Regulasi diperlukan secara umum adalah untuk melindungi masyarakat dari korban praktik MLM abal-abal ini. Jika perlu, dalam regulasi ini perlu ditetapkan juga tentang sanksi yang bisa memberi efek jera terhadap pelaku asusila sistem perdagangan langsung ini. Wallâhu a'lam bish shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Jatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar