Selasa, 05 Oktober 2021

(Ngaji of the Day) Meluruskan Soal Bidah Menurut Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki

Masalah bidah kerap mengemuka di tengah umat Islam perihal ibadah maupun di luar ibadah. Masalah bidah atau tepatnya tuduhan bidah yang disematkan kepada kelompok tertentu ini menarik perhatian Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.

 

Dalam karyanya Mafahim Yajibu an Tushahhah, Sayyid Muhammad mendudukkan persoalan bidah dan meluruskan pemahaman terhadap bidah yang sering kali mengundang diskusi yang tak henti-hentinya di tengah umat Islam.

 

Sayyid Muhammad dalam karyanya menyebut perbedaan mendasar antara bidah syar’iyyah (bidah dalam masalah agama) dan bidah lughawiyyah (bidah secara bahasa). Dengan pembedaan keduanya, diskusi berlarut-larut semestinya dapat dihindarkan.

 

Sayyid Muhammad menjelaskan perbedaan kedua jenis bidah tersebut dengan mengangkat kritik sebagian orang atas pembagian bidah hasanah dan bidah sayyiah. Sebagian orang ini mengingkari pembagian tersebut bahkan menuduh sesat dan fasik orang yang membagi bidah karena kelompok yang dituduh bertentangan secara sharih dengan hadits Rasulullah yang menyebut setiap bidah merupakan kesesatan.

 

وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

 

Artinya, “Setiap hal baru adalah bidah. Setiap bidah adalah kesesatan.”

 

Sebenarnya, kedua kelompok, kata Sayyid Muhammad, memiliki pemahaman yang tidak jauh berbeda. Pembagian bidah menjadi hasanah dan sayyiah sebenarnya secara bahasa bermakna tindakan atau sesuatu yang mengada-ada atau diada-adakan. Tetapi kita semua sepakat bidah dalam urusan syariat merupakan sebuah kesesatan, fitnah tercela, ditolak, dan dimurka.

 

Yang perlu dicatat sebagai pijakan adalah keterangan Rasulullah pada hadits lain yang menyebutkan bidah dalam urusan agama. Catatan ini menjadi pijakan penting yang dapat meluruskan pokok persoalan bidah dan saling membidahkan.

 

Demikian hadits yang mendudukkan perkara bidah diniyyah yang disepakati kesesatan dan penolakannya dan bidah dunyawiyyah yang perlu dipertimbangkan:

 

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

 

Artinya, “Siapa saja yang mengada-adakan pada urusan kami ini yang bukan bagian darinya maka ia tertolak.” Kalau kelompok yang selama ini mengingkari pembagian bidah memahami duduk perkara ini, tentu mereka akan memahami bahwa kedua kelompok lebih memiliki titik temu dan jauh dari pertentangan. (Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, [Surabaya, Hay’atus Shafwah Al-Malikiyyah: tanpa tahun], halaman 114).

 

Untuk “menyudahi” tuduhan bidah yang terus berkepanjangan, kita perlu mendudukkan perkara bidah secara klir. Memang penyebutan “bidah diniyah” dan “bidah dunyawiyyah” tidak ada di zaman Rasulullah SAW. Tetapi hadits Rasulullah yang belakangan dikutip jelas menyebutkan bidah madzmumah berupa ziyadah fid din atau ziyadah fis syariah.

 

Dengan demikian bidah yang jelas disepakati kesesatannya adalah bidah dalam urusan agama atau urusan syariah. Adapun bidah dalam urusan duniawi, patut dipertimbangkan karena bidah (inovasi) dalam urusan duniawi juga mengandung kebaikan kadangkala dan keburukan pada kali yang lain.

 

ولا بد حينئذ من تفصيل واجب ضروري للقضية، هو أن يقولوا إن هذه البدعة الدنيوية منها ما هو خير ومنها ما هو شر كما هو الواقع المشاهد الذي لا ينكره إلا أعمى جاهل وهذه الزيادة لا بد منها

 

Artinya, “Tidak ada jalan lain sampai di sini kecuali membuat rincian wajib yang bersifat dharuri untuk masalah ini, yaitu mereka harus mengatakan, ‘Bidah duniawi ada yang mengandung kebaikan dan sebagian lagi mengandung keburukan sebagaimana realitas yang dapat disaksikan. Tidak ada yang mengingkarinya selain orang buta yang bodoh. Tambahan (keterangan) ini harus dilakukan,’” (Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, [Surabaya, Hay’atus Shafwah Al-Malikiyyah: tanpa tahun], halaman 114).

 

Demikian keterangan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang mencoba meluruskan duduk perkara bidah kepada kelompok yang saling membidahkan agar kedua kelompok memahami di mana seharusnya penolakan kita terhadap bidah, bukan melontarkan bidah membabi buta atau menerima bidah duniawi begitu saja tanpa menimbang mafsadat dan maslahatnya. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar