Jumat, 08 Oktober 2021

(Ngaji of the Day) Hukum Uang yang Didapat dari Bisnis MLM

Pertanyaan:


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kepada pengasuh rubrik Bahtsul Masail yang saya hormati. Berikut ini, saya ada permasalahan yang menghendaki penjelasan sebagai solusi untuk pribadi saya. Saya adalah orang yang berhenti dari melakukan bisnis MLM X (Redaksi) yang saya yakini ada praktik money game di dalamnya. Sebelumnya, saya terinspirasi dengan penjelasan NU Online mengenai MLM yang diperbolehkan dan diharamkan. Untuk itu saya ucapkan terima kasih. Selepas saya keluar dari MLM, saya dihantui oleh berbagai pertanyaan:

 

1.     Bagaimana hukumnya untuk uang yang saya dapat dari MLM sebelum saya mengetahui hukum MLM itu? Jika tetap haram, lalu uang tersebut diapakan?

2.     Bapak saya masih membutuhkan produk X itu karena untuk membantu penyembuhan. Bagaimana ya hukumnya, di satu sisi saya membeli lewat MLM yang haram, di sisi lain saya masih membutuhkan suplemen X itu untuk bapak saya?

 

Terima kasih banyak, dan mohon balasannya. Wassalamu’alaikum wr wb

 

Arin

 

Jawaban:

 

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Penanya yang budiman yang dirahmati oleh Allah subhanahu wata’ala. Sebelumnya kami mohon maaf bila pertanyaan saudara kami ringkas agar tidak terlalu panjang, namun kami berharap ringkasan ini tidak mengurangi esensi dari pertanyaan Saudari. Insyaallah!

 

Penanya yang budiman! Pada dasarnya, dalam Islam ada aturan bahwa sebelum seseorang terjun bergabung ke dalam suatu bisnis, hendaknya ia mencermati dulu, apakah entitas bisnis yang hendak diterjuni itu sebagai yang bergerak di dalam perkara halal atau tidak. Demikian halnya, hendaknya seorang Muslim juga memperhatikan segi haramnya bisnis terseubut. Mengapa? Sebab segala sesuatu yang dikonsumsi oleh manusia kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Alllah subhanahu wata'ala di hari hisab.

 

Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari perkara haram, maka api neraka merupakan yang lebih utama baginya.”

 

Bagaimana bila tidak mengetahui cara mengenal halal dan haram? Jawabnya adalah bertanya kepada para ulama. Sebab bertanya itu memang sebuah kewajiban. Allah subhanahu wata'ala berfirman: “Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (baca: ulama) jika kalian tidak mengetahui.”

 

Lantas, bagaimana bila hal itu juga tidak bisa dilakukan, dan anda terlanjur terjun di dalamnya, kemudian anda tahu bahwa ternyata di tempat tersebut terdapat penghasilan haram? Dalam hal ini, ada sebuah tuntunan dalam syariat Islam, bahwasanya salah satu udzur (kendala) yang ditoleransi oleh syara’ sehingga pelakunya tidak terkena hukum haram adalah udzur karena tidak tahu. Kecuali bila udzur itu berkaitan dengan ‘uqubah (sanksi).

 

Misalnya, orang tidak tahu bahwa di dalam transaksi bisnis itu ada praktik yang diharamkan, maka dalam kondisi semacam ini, pelakunya termasuk bagian dari yang ditoleransi oleh syara’ sebab ketidaktahuannya. Namun, sifat ditoleransinya ketidaktahuan ini adalah menempati derajat takhfif (keringanan) saja, sehingga pelakunya harus terus berupaya lepas dari jerat ketidaktahuan tersebut.

 

واعلم أن أعذار الجاهل من باب التخفيف لا من حيث جهله، وإلا كان الجهل خيرا من العلم

 

"Ketahuilah bahwa pihak yang tidak tahu ini dianggap udzur adalah karena faktor keringanan (dispensasi) untuk orangnya, dan bukan karena faktor ketidaktahuan itu sendiri. Seandainya keringanan itu karena faktor “tidak tahunya”, maka pastilah kebodohan akan jauh lebih baik dibanding mengetahui.” (I’anatu al-Thalibin, juz 1, halaman: 258)

 

Selain itu, sudah barang tentu, toleransi di atas harus disertai dengan catatan lain, yaitu selagi kasus yang tidak diketahuinya bukan berkaitan dengan semacam pencurian, perampokan, dan sejenisnya.

 

Dua contoh terakhir ini, meskipun pelakunya bersifat tidak tahu haramnya pencurian dan perampokan, maka ia tetap wajib mengembalikan hak orang lain yang dicuri atau diambil secara paksa tersebut olehnya. Mengapa? Sebab pencurian dan perampokan adalah termasuk jenis pelanggaran yang berbasis ‘uqubah (sanksi pidana) yang mana hal itu termasuk jenis muamalah yang dilarang secara ma’lum bi al-dlarurah (diketahui umum secara pasti).

 

Lantas bagaimana dengan hukum harta yang sebelumnya diperoleh dari ikut bisnis haram itu?

 

Jawaban dari penulis dalam hal ini adalah bertumpu pada sifat ketidaktahuan penanya sebelumnya, bahwa MLM yang diikutinya sebagai yang melakukan praktik haram. Alhasil, solusi yang penulis tawarkan adalah dengan memperhatikan pesan para ulama sebagai berikut:

 

Pertama, jika objek barang yang dijualbelikan dalam bisnis itu adalah terdiri dari harta halal, maka perolehan penghasilan dari bisnis MLM tersebut dihukumi sebagai halal. Demikian pula sebaliknya. Pendapat ini dsampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, sebagai berikut:

 

وإذا اشترى ممن في ماله حرام وحلال؛ كالسلطان الظالم، والمرابي، فإن علم أن المبيع من حلال ماله، فهو حلال، وإن علم أنه حرام، فهو حرام

 

“Bila seseorang membeli harta orang lain yang mayoritas hartanya merupakan harta haram, misalnya seperti harta seorang pemimpin yang telah berbuat aniaya (dhalim), maka jika dia mengetahui bahwa barang yang dijual tersebut merupakan harta halal, maka halal pula membelinya. Dan apabila ia tahu bahwa barang yang dijual itu adalah haram, maka haram pula harta itu” (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughny, Kairo: Dar Ihyai al-Turats al-‘Araby, tt., juz 4, halaman 180).

 

Kedua, karena di dalam MLM terdapat bagian penghasilan yang haram, maka bagi pelaku yang sudah tobat dianjurkan agar memisahkan komposisi penghasilan haram tersebut, dan mana komposisi yang halal. Anjuran ini disampaikan oleh Ibnu Nujaim al-Hanafi sebagai berikut:

 

أما إذا اختلط حلال المال بحرامه ولم يمكن التمييز بينهما، فلا يخلو الحال من أن يكون مقدار المال الحرام هو الأكثر الغالب، أو هو الأقل، أو يكون قد تساوى حلال المال وحرامه، أو تكون النسبة بينهما مجهولة

 

“Apabila terjadi percampuran antara halal dan haramnya harta, sementara tidak bisa membedakan keduanya, maka tidak bisa tidak dalam kondisi seperti ini untuk mempertimbangkan kadar harta haram itu sebagai yang mayoritaskah, atau minimalkah, atau samakah. Atau setidaknya menurut nisbah yang tidak diketahui dari keduanya.” (Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., halaman 84).

 

Ketiga, apabila di dalam MLM tersebut secara mutlak melakukan praktik haram seluruhnya, yang ditandai oleh ketiadaan barang yang diperjualbelikan sama sekali, sehingga pihak member hanya mengoper-oper uang pelanggan, maka dalam konteks ini, tuntunan yang disampaikan oleh ulama kalangan Madzhab Maliki adalah sebagai berikut:

 

وأما من كان كل ماله حرام – إلى أن قال – فهذا تمنع معاملته ومداينته ويمنع من التصرف المالي وغيره

 

“Orang yang semua hartanya terdiri dari harta haram,…., maka ia dicegah dari menggunakan harta itu dalam muamalah dan utang piutang (mudayanah). Ia juga dicegah dari melakukan penyaluran yang bersifat hartawi dan selainnya.” (Al-Dasuqy, Hasyiyah ‘ala Syarhi al-Kabir, Kairo: Dar Ihyai al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt., Juz 3, halaman 277).

 

Ayah penanya masih membutuhkan bantuan obat yang hanya bisa didapat dari MLM haram. Bolehkah membeli obat dari MLM itu?

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, Syekh Jalaluddin al-Suyuthi memerinci hukumnya menjadi dua, yaitu: (1) hukumnya adalah boleh yang disertai kemakruhan khususnya bila memungkinkan untuk mencari solusi, dan (2) boleh secara mutlak. Beliau menyampaikan masalah yang sejenis, dalam salah satu kitabnya sebagai berikut:

 

أما إذا كان الحرام هو الغالب، فالأصل حينئذ أن المعاملة تجوز مع الكراهة، لكن إذا ترتب على ترك المعاملة في هذه الحالة وقوع أحد الطرفين في الحرج أو حالة الضرورة، أو عمت بلوى الناس بذلك، جاز التعامل بلا كراهة؛ لأن وقوع التعامل بالمال الحرام يكون حينئذ محلّ ظن، بينما وقوع الحرج أو البلوى يكون محلّ قطع، والقطع مقدم على الظن، كما أنه قد تقرر في قواعد الفقه الإسلامي أنه إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما

 

“Apabila harta haram itu yang menduduki mayoritas, maka hukum asal bermuamalah (baca: membeli obat) dengan pihak sedemikian ini adalah boleh yang disertai dengan kemakruhan. Bahkan, apabila karena meninggalkan muamalah (baca: membeli obat dari MLM itu) justru bisa menyebabkan salah satu pihak jatuh dalam kesulitan atau kondisi memprihatinkan, atau apabila kondisi bermuamalah dengan pemilik harta haram itu sudah merupakan ‘ammati al-balwa (tidak bisa dihindari lagi), maka bermuamalah dengan pemilik mayoritas harta haram adalah boleh tanpa adanya kemakruhan. Mengapa? Karena bermuamalah dengan harta haram dalam kondisi ini menduduki posisi dhan (prasangka). Sementara kesulitan dan kondisi balwa merupakan sesuatu yang pasti (bila ditinggalkan). Oleh karenanya sesuatu yang bersifat pasti harus didahulukan dibandingkan prasangka. Sebagaimana hal ini merupakan yang disinggung dalam qaidah fikih islami sebagai “apabila terjadi pertentangan dua mafsadah, maka yang harus dihindari pertama kalinya adalah mafsadah yang terbesar dalam menimbulkan kerugian sembari tetap berusaha mencari solusi dlarar yang paling ringan dari kedua mafsadah itu.” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., halaman 87).

 

Alhasil, berangkat dari anjuran yang disampaikan oleh beliau Syekh Jalaluddin al-Suyuthi ini, maka boleh bagi penanya untuk membeli obat guna membantu kesembuhan orang tua, disebabkan karena memenuhi syarat adanya masyaqqah bila meninggalkan produk MLM tersebut. Namun, pembelian ini sifatnya adalah karena faktor dlarurah lil hajat (darurat karena kebutuhan). Dengan demikian, hukum keringanan sifatnya hanya berlaku sampai batas darurat itu sudah tidak terjadi lagi. Wallahu a’lam bish shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar