Pertemuan dengan Presiden Bush dan Kilas Balik Kemudian (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Di luar kebiasaan saya sejak lama, di akhir konsep itu saya tulis nama lengkap dengan gelar segala macam, alumnus Universitas Chicago, dan ketua umum PP Muhammadiyah. Tujuannya agar Presiden Bush tak memandang remeh orang yang sedang berhadapan dengannya.
Bush dalam tanggapan baliknya mengatakan, dialah presiden AS yang ingin secepatnya menyelesaikan masalah Palestina dan akan menarik pasukannya dari Irak. Kenyataannya bagaimana? Tidak satu pun terwujud.
Bahkan, pada akhir Desember 2006, Presiden Saddam Husein malah dihukum gantung. Resminya, keputusan pengadilan rakyat Irak, tetapi orang tahu itu atas desakan AS di bawah Bush.
Saddam, diktator yang kejam terhadap lawan politiknya, sudah menjadi pengetahuan umum. Invasi atas Kuwait juga kecerobohan fatal. Namun, tuduhan Saddam menggunakan senjata penghancur massal dalam perang dengan Iran sebelumnya tidak ada bukti sedikit pun.
Itulah gambaran kawasan bergolak 18 tahun lalu dan bagaimana sikap saya membaca peta politik luar negeri AS. Bush jadi presiden selama dua periode (20 Januari 2001-20 Januari 2009), batas yang ditetapkan UUD negara itu.
Kemudian berturut-turut digantikan Barack H Obama juga untuk dua periode (20 Januari 2009-20 Januari 2017) sebagai presiden ke-44 AS, Donald Trump (20 Januari 2017-20 Januari 2021) presiden ke-45 AS. Lalu sekarang, Joseph Biden (20 Januari 2021--) presiden ke-46 AS.
Naiknya Obama, kulit hitam pertama sebagai presiden AS, ayahnya dari Kenya, ibunya Amerika putih, dunia semula berharap perubahan mendasar politik luar negeri AS. Kemerdekaan Palestina akan jadi kenyataan dan campur tangan atas negara lain jauh berkurang.
Pidato Obama di Universitas Kairo pada 4 Juni 2009 kian memberi harapan cerah bagi konstelasi politik global, apalagi dia memakai "Assalamualaikum" segala di awal pidato itu. Disinggungnya solusi dua negara bagi Israel dan Palestina, penarikan pasukan AS dari Irak.
Tak terlalu banyak bedanya dengan yang disampaikan Bush. Selama dua periode menjabat, ternyata capaian Obama atas apa yang dikatakannya tidak terwujud. Obama juga tak berdaya menghadapi kekuatan lobi Yahudi yang selalu membentengi negara Israel.
Nasib rakyat Palestina yang sudah sangat menderita selama lebih dari 70 tahun tetap tidak berubah. Memang sangat disayangkan, rakyat Palestina sendiri terbelah antara faksi Fatah dan faksi Hamas dengan sikap yang berbeda menghadapi Israel.
Fatah mau menerima solusi dua negara bertetangga dengan Israel, sedangkan Hamas tetap menentangnya. Sulit bagi kita memperkirakan ujung konflik Israel-Palestina yang berdarah-darah ini. Korban Zionisme atas pihak Palestina teramat banyak.
Dengan naiknya Donald Trump yang sangat pro-Israel sebagai presiden AS, Palestina semakin terjepit. Apalagi, Israel dengan dukungan Trump memindahkan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem, hari depan Palestina semakin buram.
Keburaman bertambah pekat setelah beberapa negara Arab membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel diumumkan pada 6 Desember 2017, sekalipun dunia menentangnya, termasuk Dewan Keamanan PBB, tetapi diveto AS.
Apakah hari depan Palestina ini benar-benar sudah hancur dan Biden tak berbuat apa-apa sebagaimana para pendahulunya? Pada sebuah koran nasional, awal Februari 2021, saya menurunkan pendapat Noam Chomsky, intelektual Yahudi kelas dunia yang membela hak kemerdekaan Palestina.
Chomsky mengatakan: “Ada harapan bagi rakyat Palestina, tetapi bukan terletak di tangan Biden...Ia terletak pada pendapat publik di AS, yang tidak mungkin ditindas untuk selamanya. Jika Anda menengok 20 tahun ke belakang, dukungan terhadap Israel datang dari kaum demokrat liberal. Sekarang sedang bergeser kepada kelompok Kristen Penginjil (evangelicals) dan kaum ultranasional. Dan dukungan terhadap rakyat Palestina sedang tumbuh di kalangan kaum liberal—terutama kaum muda. Cepat atau lambat, semuanya itu mungkin akan memengaruhi kebijakan.”
Semoga bacaan Chomsky ini menjadi kenyataan dalam tempo tak terlalu lama. Selama AS keukeuh membela Israel, sekalipun dukungan dunia meluas untuk Palestina, sukar diharapkan perubahan radikal berlaku di kawasan itu.
Sekali Palestina mendapatkan hak kemerdekaannya secara penuh, peta dunia pasti bergeser secara tajam ke arah lebih tenang dan aman. Dan kelompok teroris semakin kehilangan basis ekonomi dan ideologinya untuk mengacau kehidupan di muka bumi.
Untuk Afghanistan, perang saudara belum usai. Atas perintah Presiden Biden, pasukan internasional di bawah komando AS ditarik, maka pemerintah Presiden Ashraf Ghani dihadapkan pada masalah yang semakin rumit.
Taliban mendapat angin baru meluaskan wilayah kekuasaannya. Dan benar, 15 Agustus 2021 Taliban berkuasa kembali setelah Kabul menyerah. Ashraf Ghani melarikan diri.
Lebih dari 40 tahun, negara miskin ini saling membunuh sesama warganya yang 100 persen Muslim. Jutaan rakyat Afghanistan meninggalkan negaranya karena takut pada rezim Taliban. Irak dan Suriah juga masih berantakan.
Inilah catatan kilas balik yang masih kelabu sejak pertemuan dengan Presiden Bush 18 tahun yang lalu! []
REPUBLIKA, 14 September 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar