Keselamatan Jiwa dalam Hadits Nabi Muhammad SAW
Keselamatan jiwa atau hifzhun nufus mendapat perhatian Rasulullah SAW.
Keselamatan jiwa dari segala bentuk ancaman terhadap keberlangsungan hidup
manusia menempati hal-hal primer yang mendapatkan jaminan dari syariat Islam.
Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini secara jelas mengingatkan umat Islam untuk memperhatikan keselamatan jiwa dari wabah. Rasulullah SAW mengingatkan agar umatnya tidak bermain-main atau lalai dan abai terhadap keselamatan jiwa dari penyebaran penyakit berbahaya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ
Artinya, “Dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah, Umar bin Khattab RA menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh,” (HR Bukhari dan Muslim).
Muhammad At-Thahir bin Asyur (1892-1973 M/1310-1393 H) dari mazhab Maliki menaruh perhatian terkait prinsip hifzhun nafs/hifzhun nufus dalam bidang kesehatan. Bin Asyur menunjuk manifestasi prinsip hifzhun nafs/hifzhun nufus pada dimensi preventif kesehatan sebagai upaya penyelamatan jiwa manusia.
ومعنى حفظِ النفوسِ حفظُ الأرواحِ من التلَفِ أفرادًا وعمومًا لأن العالمَ مركَّبٌ من أفرادِ الإنسانِ، وفي كلِّ نفسٍ خصائصُها التي بها بعضُ قوامِ العالمِ. وليس المرادُ حفظَها بالقصاصِ كما مثَّل بها الفقهاءُ، بل نجدُ القصاصَ هو أضعفُ أنواعِ حفظِ النفوسِ لأنه تدارُكٌ بعدَ الفواتِ، بل الحفظُ أهمُّه حفظُها عن التلفِ قبلَ وقوعِه مثلَ مقاومةِ الأمراضِ الساريةِ. وقد منعَ عمرُ بنُ الخطابِ الجيشَ من دخولِ الشامِ لأجلِ طاعونِ عَمَواس
Artinya, “Makna hifzhun nufus (menjaga jiwa) adalah menjamin keselamatan nyawa dari kemusnahan baik secara individual maupun kolektif karena dunia ini terdiri atas kumpulan individu. Setiap jiwa memiliki keistimewaan sebagai bagian dari komposisi tegaknya dunia. Hifzhun nafs atau hifzhun nufus yang dimaksud di sini berbeda dengan penerapan qishash yang sering dicontohkan para fuqaha. Menurut kami, penerapan qishah adalah jenis terendah manifestasi konsep hifzhun nafs karena penindakan qishash dilakukan setelah nyawa melayang. Konsep hifzhun nafs yang paling urgen adalah upaya penjaminan keselamatan jiwa dari ancaman kepunahan, seperti melawan penyakit menular atau epidemi. Sayyidina Umar pernah menahan pasukan untuk masuk ke negeri Syam karena Tha‘un Amawas,” (Lihat Thahir bin Asyur, Maqashidus Syariah Al-Islamiyyah, [Kairo-Tunis, Darus Salam-Daru Suhnun: 2014 M/1435 H], halaman 89).
Hadits riwayat Imam Muslim berikut ini juga menunjukkan perhatian Rasulullah pada aspek kesehatan dan keselamatan jiwa manusia. Rasulullah SAW membatalkan puasa Ramadhan-nya di hadapan para sahabat ketika bahaya kesehatan mengancam keselamatan mereka bila terus memaksakan ibadah puasa.
Puasa Ramadhan merupakan ibadah wajib. Tetapi keselamatan jiwa menjadi prioritas yang diambil Rasulullah SAW. Oleh karenanya, Rasulullah SAW mengecam sebagian sahabat yang memaksakan diri dalam menjalankan ibadah di tengah kondisi yang membahayakan keselamatan jiwa mereka.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
Artinya, “Dari sahabat Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW keluar pada tahun Fathu Makkah (630 M/8 H) menuju Makkah pada bulan Ramadhan. Rasulullah masih berpuasa. Tiba di Kira Al-Ghamim, orang-orang juga masih berpuasa. Rasulullah kemudian meminta segelas air (karena kondisi fisik menurun) lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga orang banyak melihat gelas yang dipegangnya. Ia kemudian meminumnya. Setelah itu Rasul dikabarkan bahwa sebagian orang memaksakan diri berpuasa. Rasul mengatakan, ‘Mereka orang yang bermaksiat. Mereka orang yang bermaksiat,’” (HR Muslim).
Solusi Fiqih Ibadah di Masa Pandemi
Ibadah di masjid untuk sementara dapat dikerjakan di rumah demi keamanan. Shalat, tadarus Al-Qur’an, atau zikir dapat dilakukan di rumah untuk menghindari kerumunan di masjid. Tentu hal ini menjadi alternatif atau solusi agar ibadah tetap dapat berjalan.
Pilihan atau alternatif ini bukan hal baru. Hal ini pernah dianjurkan oleh sahabat Ibnu Abbas terkait mereka yang tidak memungkinkan hadir di masjid karena uzur tertentu. Awalnya ide ini dipertanyakan oleh sebagian sahabat karena tidak umum. Ibnu Abbas menjawab bahwa hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, hamba Allah yang lebih baik darinya dan hamba-Nya yang terbaik.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ
Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata kepada muazinnya pada hari hujan, ‘Bila kau sudah membaca ‘Asyhadu an lā ilāha illallāhu, asyhadu anna muhammadan rasūlullāh,’ jangan kau teruskan dengan seruan ‘hayya ‘alas shalāh,’ tetapi serulah ‘shallū fi buyūtikum.’’ Orang-orang seolah mengingkari perintah Ibnu Abbas RA. Ia lalu mengatakan, ‘Apakah kalian heran dengan masalah ini? Padahal ini telah dilakukan oleh (Nabi Muhammad SAW) orang yang lebih baik dariku. Sungguh Jumat itu wajib. tetapi aku tidak suka menyulitkanmu sehingga kamu berjalan di tanah dan licin.’” (HR Muslim).
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa hujan, kesehatan, keselamatan jiwa, atau faktor lainnya merupakan uzur syar’i yang membolehkan umat Islam beribadah di rumah. Tetapi selagi tidak ada uzur, tentu ibadah di masjid lebih utama dan sangat dianjurkan.
Imam Nawawi membagu uzur aam (uzur kolektif) seperti hujan, medan jalan yang menyulitkan, pandemi, ancaman hewan buas atau perampok, dan uzur khas (uzur individu) seperti sakit dan lain sebagainya.
هذا الحديث دليل على تخفيف أمر الجماعة في المطر ونحوه من الاعذار وأنها متأكدة إذا لم يكن عذر
Artinya, “Hadits ini menjadi dalil atas keringanan perintah shaat berjamaah di kala hujan atau uzur lainnya. Sedangkan shalat berjamaah itu sunnah muakkad bila tidak terdapat uzur,” (Al-Imam An-Nawawi, Al-Minhaj, Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], juz III, halaman 224).
Pandangan ini diperkuat dengan gagasan Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi (1963 M-...) yang memakai pendekatan sosiologis Ibnu Khaldun (1332-1406 M) agar warga negara saling membantu untuk memenuhi hajat mereka termasuk dalam bidang kesehatan.
وضرورة الدفاع عن النفس وحمايتها من الأخطار التي تهدد حياة الانسان وتنذر بإبطال النوع البشري من أساسه
Artinya, “Kebutuhan dasar (primer) penyelamatan dan perlindungan jiwa dari bahaya yang mengancam kehidupan manusia dan mengingatkan bahaya kepunahan jenis manusia sama sekali,” (Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi, Fiqhut Tahadhdhur-Ru’yah Maqashidiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2014 M/1435 H], halaman 50). Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar