Senin, 25 Oktober 2021

(Ngaji of the Day) Kedudukan Aqidah Orang Awam Menurut Imam Al-Ghazali

Keimanan adalah cahaya yang Allah anugerahkan kepada siapa saja yang dikehendaki. Keimanan dapat diberikan kepada orang awam dan orang alim. Oleh karena itu, siapa saja yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka ia mendapatkan cahaya tersebut meski ia meyakini rukun iman tanpa memahami materi ilmu kalam atau ilmu aqidah yang mendakik-dakik.

 

Hal ini diisyaratkan dalam Surat Az-Zumar ayat 22 sebagai berikut:

 

أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ

 

Artinya, “Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?” (Surat Az-Zumar ayat 22).

 

Kewajiban pertama dan mendasar bagi manusia adalah makrifatullah atau mengenal Allah dengan yakin. Keyakinan dalam mengenal Allah dapat terjadi pada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah.

 

اول واجب على الإنسان معرفة الإله باستيقان

 

Artinya, “Kewajiban awal bagi manusia adalah makrifatul ilah atau mengenal tuhan dengan yakin,” (Ibnu Ruslan, Zubad).

 

Makrifatullah adalah fondasi keberagamaan seseorang. Oleh karena itu, keyakinan itu menjadi penting sebagai dasar pijakan pengamalan beragama yang menjadi turunan aqidah. Secara sederhana, keyakinan dalam makrifatullah adalah mengenal perbedaan sifat Allah dan sifat makhluk.

 

أول واجب مقصود لذاته على الإنسان البالغ العاقل ولو أنثى ولو رقيقا معرفة الإله تعالى باستيقان أي يقينا لقوله تعالى {فاعلم أنه لا إله إلا الله} {وليعلموا أنما هو إله واحد} ولأنها مبنى سائر الواجبات إذ لا يصح بدونها واجب ولا مندوب والمراد بها معرفة وجوده تعالى وما يجب له من إثبات أمور ونفي أمور وهي المعرفة الإيمانية أو البرهانية لا الإدراك والإحاطة بكنه الحقيقة لامتناعه شرعا وعقلا

 

Artinya, “Kewajiban pertama manusia baligh, aqil, sekalipun budak yang dimaksud terhadap zat-Nya adalah makrifatullah atau mengenal Allah dengan yakin berdasarkan firman Allah ‘Fa‘lam annahū lā ilāha illallāh’ dan ‘wa li ya‘lamū annamā huwa ilāun wāhid.’ Ia (makrifatullah) adalah fondasi atas semua kewajiban karena tanpa makrifat ibadah wajib dan sunnah tidak sah. Yang dimaksud dengan makrifat adalah mengenal wujud Allah dan apa yang wajib padanya berupa penetapan beberapa sifat dan penafian beberapa sifat lainnya. Ia adalah makrifat imaniyah atau makrifat burhaniyah, bukan jangkauan atau capaian atas inti hakikat (zat Tuhan) karena terlarang secara syar’I dan aqli.” (Ar-Ramli, Ghayatul Bayan, Syarah Zubad bin Ruslan).

 

Keimanan adalah kepercayaan (tashdiqul qalbi) terhadap kabar yang bersifat dharuri Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT yaitu tauhid kenabian, kebangkitan, pembalasan, kewajiban sembahyang lima waktu, zakat, puasa, dan haji. Yang dimaksud dengan kepercayaan di sini adalah ketundukan dan penerimaan hati. Ketika kepercayaan itu bersifat ghaib di batin yang tidak dapat kita lihat, maka syariat menjadikannya tampak melalui dua kalimat syahadat. (Ar-Ramli, Ghayatul Bayan, Syarah Zubad bin Ruslan).

 

Keyakinan dalam makrifatullah merupakan keharusan pertama bagi manusia. Hal ini juga disampaikan oleh Imam Al-Junaid Al-Baghdadi agar manusia menisbahkan keagungan dan kekuasaan kepada yang berhak menerimanya.

 

وقال الجنيد: إن أول ما يحتاج إليه العبد من الحكمة: معرفة المصنوع صانعه، و المحدث كيف كان إحداثه، فيعرف صفة الخالق من المخلوق، و صفة القديم من المحدث، ويذل لدعوته، ويعترف بوجوب طاعته؛ فإن من لم يعرف مالكه لم يعترف بالملك لمن استوجبه.

 

Artinya, “Imam Al-Junaid mengatakan, ‘Hikmah yang pertama kali dibutuhkan hamba adalah makrifat makhluk atas khalik-nya dan makrifat si makhluk bagaimana penciptaan-Nya sehingga ia mengetahui mana sifat khalik dan mana sifat makhluk, mana sifat qadim dan mana sifat muhdats (zat baru) bagaimana ia diciptakan. Ia tunduk pada seruan-Nya dan mengakui kewajiban ketaatan pada-Nya. Siapa saja yang tidak mengenal Penguasanya, maka ia tidak mengakui kekuasaan pada orang yang berhak menerimanya.’” (Al-Imam Abul Qasim, Abdul Karim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 5).

 

Hatim As-Shufi mendengar Abu Nashr At-Thusi mengatakan bahwa ketika ditanya perihal kewajiban pertama Allah atas makhluk-Nya, Ruaim menjawab, “makrifat karena firman Allah, ‘Wa mā khalaqtul jinna wal insa illā li ya‘budūn.’ Ibnu Abbas menafsirkan, ‘illā li ya‘rifūn.’” (Al-Qusyairi, 2010 M: 5).

 

Oleh karena itu, orang (biasanya teolog atau ahli kalam) yang menafikan keimanan orang awam–hanya karena mereka tidak menguasai ilmu kalam secara mendalam atau bahkan tidak mengikuti pandangan teologis menurut pandangan mazhabnya–bersikap berlebihan.

 

من أشد الناس غلوا وإسرافا طائفة من المتكلمين كفروا عوام المسلمين وزعموا أن من لا يعرف الكلام معرفتنا ولم يعرف العقائد الشرعية بأدلتنا التي حررناها فهو كافر

 

Artinya, “Salah satu orang yang berlebihan dan kelewatan adalah sekelompok mutakallimin (teolog) yang mengafirkan umat Islam yang awam dan mengklaim bahwa ‘Orang yang tidak mengerti kalam (teologi) seperti pengetahuan kami dan tidak memahami aqidah syar’i dengan dalil-dalil yang kami uraikan, maka ia kafir.’” (Imam Al-Ghazali, Fashlut Tariqah dalam Majmu'atu Rasa’ilil Imam Al-Ghazali, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: tanpa tahun], halaman 269).

 

Orang seperti ini, kata Imam Al-Ghazali, mempersempit rahmat Allah yang demikian luas. Kedua, mereka (para teolog atau ahli kalam yang ekstrem yang mengeksklusi orang awam) tidak memahami sunnah yang mutawatir perihal keawaman sebagian besar sahabat Rasulullah SAW. Padahal para sahabat termasuk kalangan a’rabi (orang Arab pedalaman zaman itu) juga beriman dengan yakin tanpa mengikuti rumusan teologi yang dibuat oleh siapapun.

 

فهؤلاء ضيقوا رحمة الله الواسعة على عباده أولا، وجعلوا الجنة وفقا على شرذمة يسيرة من المتكلمين

 

Artinya, “Pertama, mereka (teolog) seperti ini mempersempit rahmat Allah yang luas terhadap hamba-Nya dan menjadikan surga itu sesuai dengan segolongan kecil ahli kalam.” (Al-Ghazali, tanpa tahun: 269).

 

Meski demikian, masyarakat awam juga berkewajiban untuk mempelajari aqidah dasar agama Islam sekadar untuk mempertahankan keimanannya agar tidak terjatuh pada kesalahan dalam beraqidah dan su’uzhan kepada Allah.

 

Pelajaran aqidah dasar juga penting buat orang awam agar mereka terhindar dari pengelabuan oleh mereka yang memaksakan teologinya atas nama aqidah dan syariat Islam. Padahal rumusan teologi yang mereka buat adalah ideologi atau pemikiran mereka yang diatasnamakan aqidah dan syariat Islam (tafsir mereka atas ajaran Islam), bukan bagian dari ajaran dasar keimanan dan Islam itu sendiri. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar