Rabu, 20 Oktober 2021

(Ngaji of the Day) Hak Istri dalam Perkawinan

Pacsa-pernikahan, selain hak bersama dengan suami, istri memiliki sejumlah hak istimewa yang harus dipenuhi suami. Sejumlah hak tersebut adalah hak mahar, hak nafkah, hak mut‘ah bila bercerai.

 

1. Hak Mahar

 

Mahar atau yang biasa disebut “shadaq” dalam bahasa Arab atau “mas kawin” dalam bahasa Indonesia adalah sejumlah harta yang wajib diberikan suami kepada istrinya akibat akad nikah.

 

Salah satu dalil yang mewajibkannya adalah Al-Quran ayat, Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, (QS. an-Nisa’ [4]: 4).

 

Mahar hanyalah milik istri. Artinya, tidak ada hak bagi seorang pun di antara para walinya. Begitu pun suaminya. Meski memiliki hak untuk memegang, tetapi mereka hanya memegang dan memelihara tanpa bermaksud memiliki atau memakainya. Ini sesuai dengan firman Allah:

 

فَلاَ تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً

 

Artinya, "Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?" (Surat An-Nisa’ ayat 20).

 

Meski demikian, jika ada kerelaan dari si istri untuk memberikan maharnya kepada pihak lain, baik kepada suami, orang tua, maupun saudaranya, baik sebagian maupun keseluruhan, maka tidak ada masalah untuk menerimanya. Dan tidak ada dosa bagi yang memakai atau memakannya. Hal itu sejalan dengan ayat berikut ini, Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya, (QS. An-Nisa’ [4]: 4).

 

Tidak ada batas maksimal dan batas minimal dalam pemberian mahar. Begitu pula jenisnya. Walhasil, setiap yang bisa disebut harta atau jasa yang dapat dinilai dengan uang, banyak atau sedikit, berbentuk tunai atau hutang, dan tentunya bermanfaat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, bisa dipakai sebagai mahar, seperti uang 150 ribu, perangkat alat shalat, tinggal di suatu rumah, atau mengajarkan Al-Quran, dan sebagainya. “Berilah ia mahar walau berupa cincin besi.” Demikian pesan Rasulullah.

 

Namun, para ulama mengisyaratkan, besaran mahar tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham. Sekadar gambaran, satu dirham kurang lebih 185.000. Sehingga 10 dirham adalah 1.850.000. Dan 500 dirham adalah 92.250 ribu. Ada pula yang berpendapat, satu dirham adalah atau 0,4 gram emas, sehingga 500 dirham adalah 200 gram, tentunya 200 gram emas terbaik 24 karat.

 

Batas maskimal 500 dirham itu sama dengan nilai mahar Rasulullah saw. yang diberikan kepada Sayyidah ‘Aisyah. Riwayat lain menyebutkan, saat menikah dengan Sayyidah Khadijah, Rasulullah saw. memberikan mahar sebanyak 20 ekor unta. Saat menikah dengan Ummu Habibah, beliau memberikan mahar 4000 dirham. Sedangkan saat menikah dengan Sayyidah Shafiyah, beliau memberi mahar berupa memerdekakannya. Walau tak berupa materi, tetapi nilainya ditaksir milyaran rupiah. (Lihat: Hasyiyah al-Bajuri, jilid 2, hal. 120).

 

Informasi di atas mengisyaratkan bahwa Rasulullah memberikan contoh terbaik dalam memberikan mahar yang bernilai. Ini artinya, siapa pun yang mampu memberikan mahar terbaik kepada istrinya, maka lakukanlah, sebab sebaik-baiknya laki-laki adalah yang paling besar memberikan mahar kepada istrinya. Bila tidak, maka berikanlah sesuai kemampuan. Naman jangan sampai dilewatkan. Di lain pihak, seorang istri juga tak sepatutnya menuntut mahar di luar kemampuan calon suaminya. Ini sejalan dengan pesan Rasulullah saw. dalam hadisnya:

 

أَعْظَمُ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مَئُونَةً

 

Artinya, “Pernikahan yang paling besar keberkahannya adalah yang paling ringan maharnya,” (HR. Ahmad).

 

Sebagaimana dimaklumi, lazimnya keringanan mahar datang dari pihak perempuan. Bahkan, dipandang sebagai perangai mulia manakala seorang perempuan mampu meringankan mahar dirinya, Di antara kebaikan wanita adalah memudahkan urusan lamarannya dan meringankan maharnya, (HR. Ahmad).

 

Hikmah pemberian mahar sendiri adalah menunjukkan kejujuran dan kesungguhan suami untuk menikahi tambatan hatinya, bergaul dengannya secara terhormat, membina bahtera rumah tangga, dan tentunya menjaga hak-hak perempuan. (Lihat: Syekh Musthafa al-Khin, al-Fiqhu al-Manhaji, Jilid 4, hal. 76).

 

2. Hak Mut‘ah

 

Secara bahasa, mut‘ah adalah sesuatu yang bisa dinikmati atau dimanfaatkan. Sedangkan, mut‘ah dalam pembahasan ini adalah harta yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya. Mut’ah ini wajib diserahkan suami kepada istrinya apabila:

 

a. Si istri ditalak setelah dicampuri;

 

b. Si istri ditalak sebelum dicampuri, namun maharnya tidak disebutkan sewaktu akad;

 

c. Jika diputuskan oleh pengadilan harus bercerai, sedangkan sebab perceraiannya datang dari pihak suami, seperti murtad atau mengajak li‘an, dengan catatan, perceraiannya dilakukan setelah bercampur dan mahar tidak disebutkan sewaktu akad.

 

Sedangkan istri yang ditalak sebelum dicampuri dan maharnya disebutkan sewaktu akad, maka tidak ada hak mut‘ah bagi si istri tetapi separuh mahar yang disebutkan. Demikian menurut pendapat ulama Syafi‘i. (Lihat: Syekh Mushthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, Jilid 4, hal. 5).

 

Adapun dasar pemberian mut’ah adalah ayat yang menyebutkan:

 

لا جُناحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّساءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

 

Artinya, "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) bagi kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan," (Surat Al-Baqarah ayat 236).

 

Selain itu, pemberian mahar juga sebagai bentuk menceraikan yang baik sebagaimana yang dimaksud dalam ayat, Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik, (QS. al-Baqarah [2]: 229).

 

Kemudian, jika mengacu kepada ayat di atas, besaran mut‘ah dikembalikan kepada kemampuan suami. Namun, menurut ijtihad ulama Syafi’i, mut’ah dianjurkan tidak kurang dari tiga puluh dirham atau senilai dengannya, namun tidak lebih dari setengah mahar mistil. Sedangkan besaran pertengahannya adalah satu pakaian. Kemudian, ketika terjadi perselisihan antara suami dan istri yang dicerainya tentang besarannya, hakim bisa memutuskan sesuai dengan keadaan dan pertimbangan. (Lihat: Syekh az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 9, hal. 6834).

 

Terakhir, hak mut‘ah ini bisa gugur dalam setiap keadaan gugurnya mahar, seperti istri murtad atau menuntut pembatalan nikah (fasakh) sementara belum terjadi hubungan intim. Begitu pula mahar dan mut’ah gugur apabila dibebaskan atau dihibahkan oleh si istri kepada suaminya.

 

Demikian dua hak istri setelah pernikahan. Satu hak lainnya, yakni hak nafkah, akan diuraikan pada bagian berikutnya. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M Tatam Wijaya, Petugas Pembantu Pencatat Pernikahan (P4) di KUA Sukanagara, Cianjur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar