Kamis, 28 Oktober 2021

(Ngaji of the Day) Memahami Hadits Anjuran Memilih Pasangan secara Adil Gender

Masihkah sahabat sekalian mengingat penggalan lirik lagu sang raja dangdut, Rhoma Irama yang berjudul ‘Salehah’ itu? Iya, tentunya masih begitu melekat sekali. Nyaris setiap lirik lagunya habis kita hafalkan di luar kepala, terutama bagi pecinta dangdut. Memang, sosok Rhoma Irama bagi lagu dangdut, tak ubahnya bagai Soekarno-Hatta dalam sejarah kepemimpinan Indonesia. Semua orang tak akan melupakannya. Lirik lagunya berbunyi, ‘Hanya istri yang beriman bisa dijadikan teman, dalam setiap kesusahan selalu jadi hiburan. Hanya istri yang salehah yang punya cinta sejati, yang akan tetap setia dari hidup sampai mati, bahkan sampai hidup lagi’.

 

Pertanyaannya, mengapa hanya istri yang salehah? Mengapa bukan suami yang saleh juga? Akankah keluarga sakinah yang tenteram, nyaman, lagi membahagiakan itu dapat terwujud bila hanya istrinya yang saleheh, sementara suaminya bejat dan biadab? Mengapa kita hanya diperdengarkan lagu tentang istri salehah? Dalam hal ini saya tidak bermaksud mengkritik lagu tersebut. Karena saya yakin Bung H Rhoma Irama tidak menciptakannya dengan maksud demikian. Tetapi, setidaknya lagu ini telah menghipnotis banyak orang bahwa kebahagiaan terbesar dalam relasi rumah tangga tergantung apakah ibu dalam rumah tersebut salehah atau tidak. Tanpa peduli dirinya lelaki saleh atau bejat.

 

Sekali lagi, saya tidak bermaksud menyalahkan lagunya secara khusus. Tidak sekali pun. Saya hanya ingin bilang bahwa masyarakat kita terlalu polos dalam menafsirkan hal-hal semacam ini. Saya paham betul bahwa lagu di atas menyimpan spirit yang sama dengan Hadits riwayat imam Muslim dan Ahmad yang terkenal itu. Yaitu, Ad-Dunya kulluha mata’(un) wa khairu mata’iha al-mar’ah as-shalihah, “Dunia seluruhnya adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan salehah”.

 

Sejak lama, kita memang banyak dicekoki oleh hal-hal yang bias gender, termasuk urusan memilih pasangan. Faktor pendorongnya juga tak kalah banyak, tapi yang paling berpengaruh adalah budaya patriarki. Faktor ini, bahkan bisa mengubah objektivitas seseorang dalam menafsirkan teks-teks agama (Al-Qur’an dan hadits). Salah sebuah hadits yang kerap dipahami bias gender adalah riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda:

 

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك

 

Artinya, “Perempuan (biasannya) dinikahi karena empat hal; banyak hartanya, bagus nasabnya, elok rupanya, dan kokoh agamanya. Curahkanlah atensi lebih pada perempuan yang kokoh agamanya, kalau tidak mau celaka.”

 

Teks hadits di atas memang tegas menyebut al-mar’atu (perempuan), tapi pemaknaannya tidak lantas menyasar perempuan saja, dan tidak memasukkan laki-laki di dalamnya. Mengingat, maksud dari frasa al-‘alaqah az-zaujiyyah (relasi suami-istri) adalah kedua-duanya, bukan istri saja atau suami saja. Jadi, yang sangat ditekankan oleh agama di antara empat kebiasaan dalam memilih pasangan—karena harta, nasab, kecantikan atau ketampanan, dan kualitas keberagamaan—adalah menaruh atensi besar terhadap yang terakhir, yakni kualitas keberagamaanya.

 

Bicara terkait kualitas keberagamaan, tentu tak pandang bulu, siapa pun orangnya dan apa pun jenis kelaminnya. Bahkan, Imam al-Bukhari (256 H) dalam Shahih al-Bukhari (hal. 964) menulis satu bab tentang kebolehan perempuan ‘menawarkan dirinya’ untuk dinikahi oleh seorang lelaki saleh. Tak hanya boleh, justru syariat mengapresiasinya. Inilah bukti bahwa dalam memilih pasangan, agama tak hanya menekankan agar lelaki menikahi perempuan salehah. Tetapi juga mendorong perempuan agar memilih lelaki yang saleh sebagai pasangannya.

 

Kiai Faqih Abdul Qodir dalam kitab Manba’ussa’âdah (hal. 18) menjelaskan:

 

ومثل ذلك بالمبادلة بنسبة الرجل للمرأة، عليها أن تظفر بصاحب الدين أي صاحب خلق حسن، تربت يداها أي إبتعدت عن سيئات الحياة الزوجية واقتربت بخيراتها على مدى حياتها معه

 

Artinya, “Hadits di atas harus dikaji dengan asas kesetaraan (mubadalah), di mana, perempuan ditekankan agar memilih lelaki saleh dan berakhlak mulia, sehingga dia akan selamat dari kehidupan rumah tangga yang kelam, dan dapat merasakan kenyamanan dalam rumah tangga tersebut seumur hidupnya.”

 

Ada sebuah analogi menarik menyangkut persoalan ini. Yakni, bahwa relasi antara suami-istri bagaikan wadah dan air. Suami kita ibaratkan sebagai air, sedangkan istri adalah wadahnya. Kemudian, mari kita berasumsi seandainya punya wadah yang bagus, terbuat dari permata yang indah, bentuknya cantik, warna dan motifnya mempesona mata, sudikah kita menuangkan air selokan yang kotor nan bau lagi menjijikkan itu ke dalamnya? Tentu bagi orang yang berakal sehat dan memiliki naluri yang waras akan enggan melakukannya.

 

Demikian sebaliknya, tegakah kita bila mewadahi air zam-zam, misalnya, air bersejarah nan mulia itu ke sebuah wadah yang kotor, berbau busuk dan tak terurus? Jawabannya sama, hanya orang ‘sakit’ dan bodoh yang tak mengacuhkan hal semacam ini. Kecuali setelah air kotor tersebut kita suling terlebih dahulu, sampai benar-benar bersih, atau wadah yang kotor tadi kita cuci sampai benar-benar layak pakai.

 

Beginilah kurang-lebih substansi dari asas kesetaraan dalam relasi rumah tangga yang dimaksud oleh teks-teks syariat yang kita baca.

 

Sebetulnya, analogi di atas terinspirasi dari sebuah hadits yang dikutip Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibri dalam Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain (hal. 99) yang berbunyi:

 

تخيروا لنطفكم ولا تضعوها لغير الأكفاء

 

Artinya, “Selektiflah dalam memilih tempat bagi benih keturunanmu, dan jangan letakkan benih-benih itu di tempat yang tak layak.” Dengan redaksi lain dalam kitab al-Bujairami disebutkan:

 

تخيروا لنطفكم فإن العرق دسّاس

 

Artinya, “Selektiflah dalam memilih tempat bagi benih keturunanmu, karena baik dan tidaknya keturunan, tak akan jauh dari ibu-bapaknya.”

 

Hadits yang pertama, walaupun dalam kitab Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadhzil Minhaj (juz 4, hal. 206) karya imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib as-Syirbini (977 H) diklaim oleh imam Abu Hatim ar-Rozi sebagai hadits yang tak berdasar, namun hal itu ditentang oleh imam Ibnu as-Sholah, dan menyatakan bahwa ia memiliki beberapa dasar yang jelas. Pendapat ini juga dibenarkan oleh imam al-Hakim.

 

Penting ditegaskan sekali lagi bahwa dua hadits di atas, jangan pernah juga dipahami secara bias gender. Melainkan harus dimaknai berdasarkan asas kesetaraan (mubadalah atau musyarakah). Alhasil, kita adalah makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan untuk melahirkan keturunan dan generasi-generasi terbaik (khaira ummah). Dari itu, mari sama-sama memperbaiki diri, karena diri ini adalah cerminan pasangan dan keturunan.

 

Terakhir, kita tutup dengan doa, Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun wa ij’alna lil muttaqina imama. Amin. Wallahu a’alam bisshawab. []

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar