Sayyidina Ali bin Abu Thalib RA menceritakan bahwa suatu hari seorang laki-laki mendatangi Nabi Muhammad SAW. Ia duduk bersimpuh di hadapan Rasulullah SAW yang sedang duduk bersama sahabat lainnya. Ia datang dengan maksud mengadukan persoalannya.
“Ya Rasulullah. Aku telah berdosa. Aku mohon kautebus dosaku,” kata laki-laki tersebut memohon dengan kerendahan hati.
“Memang apa dosamu?” tanya Rasulullah SAW.
“Aku malu mengatakannya.”
“Apakah kau malu mengatakannya kepadaku. Tetapi mengapa kau tidak malu kepada Allah. Padahal Dia melihatmu. Bangun! Pergilah agar api (azab) tidak menimpa kami,” kata Rasulullah meninggi.
Laki-laki itu kemudian bangkit dan meninggalkan Rasulullah SAW bersama para sahabatnya. Air matanya jatuh menetes. Ia pergi dengan perasaan sia-sia dan putus asa, lalu hilang dari pandangan para sahabat.
Jibril AS lalu mendatangi Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Ia menegur sikap Rasulullah SAW terhadap mereka yang datang menyerahkan diri untuk penebusan dosa.
“Wahai Muhammad Rasulullah, mengapa kau membuat laki-laki yang berdosa tadi putus asa? Padahal ia memiliki tebusan (kafarah) meski dosanya begitu banyak,” kata Jibril AS.
“Apa kafarah yang ia miliki?” tanya Rasulullah SAW.
“Laki-laki itu mempunyai anak kecil di rumah. Kalau ia pulang, anak kecil itu selalu menyambut ayahnya dengan gembira. Laki-laki itu memberikan makanan atau mainan yang membuatnya gembira. Jika anaknya gembira, maka itulah kafarah baginya,” kata Jibril AS.
*
Kisah ini diangkat oleh Syekh M Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Qami‘ut Thughyan ala Manzhumah Syu’abil Iman (Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun), halaman 26. Wallahu a‘lam. []
Alhafiz Kurniawan, Redaktur Keislaman NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar