KH Muhammad Hasyim Asy’ari merupakan sosok penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia menggapai kemerdekaan dari penjajah. Bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah menjadi keprihatinan mendalam KH Hasyim Asy’ari yang kala itu masih memperdalam ilmu-ilmu agama di tanah Hijaz (Makkah-Madinah). Selain memperluas syiar nilai-nilai ajaran Islam, Kiai Hasyim Asy’ari juga bertekad memerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme.
Sesampainya di tanah air, KH Hasyim Asy’ari menepati janji dan sumpahnya saat di Multazam. Pada tahun 1899 M, beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Dari pesantren ini kemudian dihimpun dan dilahirkan calon-calon pejuang Muslim yang tangguh, yang mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan, dan mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim merupakan ulama abad 20 yang telah berhasil melahirkan ribuan kiai.
Bukan hanya untuk tujuan memperkuat ilmu agama, tetapi pendirian wadah pesantren itu juga untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah Belanda dan juga Nippon (Jepang). Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Kiai Hasyim dan pesantrennya tidak pernah luput dari spionase Belanda.
Langkah awal perlawanan kultural yang dilakukan oleh pesantren menunjukkan bahwa pondok pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah pergerakan nasional hingga akhirnya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan hakiki secara lahir dan batin. Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi tentu saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator, diplomator, sekaligus panutan bangsa tidak bisa dielakkan begitu saja.
Spirit memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi pondasi kokoh bagi para ulama untuk terus menjaga dan merawat perjuangan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Cinta terhadap tanah air Indonesia bukan semata cinta buta, tetapi cinta yang dilandasi agama. Bahkan, Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menyatakan dengan tegas bahwa membela Tanah Air merupakan kewajiban kaum beragama.
Sejarah mencatat, tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Bung Karno, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lainnya kerap meminta nasihat, saran, masukan, dan doa restu kepada ulama-ulama pesantren, terutama kepada pemimpin besar KH Hasyim Asy’ari.
Dua tahun berlalu sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda belum surut. Bahkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku dalam Orang-orang dari Pesantren (2001) mencatat, pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan serangan secara tiba-tiba di wilayah Republik Indonesia.
Dalam serangan kejuatan tersebut, tentu saja banyak korban berjatuhan, terutama para pejuang santri, baik dari Hizbullah dan Sabilillah. Hampir setiap hari umat Islam melakukan gerakan batin di samping kesiapsiagaan militer. Tiap-tiap sembahyang dilakukan qunut nazilah, sebuah doa khusus untuk memohon kemenangan dalam perjuangan.
Sebab serangan pada 21 Juli 1947 itu, daerah RI semakin menciut. Istilah KH Saifuddin Zuhri tinggal selebar godong kelor (daun kelor). Daerah tersebut hanya meliputi garis Mojokerto di sebelah Timur dan Gombong (Kebumen) di sebelah barat dengan Yogyakarta sebagai pusatnya saat itu. Kota Malang jatuh dalam agresi Belanda 21 Juli 1947 tersebut.
Jatuhnya Malang, kota perjuangan pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah itu cukup mengejutkan Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ketika berita musibah itu disampaikan oleh Kiai Gufron (Pemimpin Sabilillah Surabaya), Kiai Hasyim Asy’ari sedang mengajar ngaji.
Begitu berita buruk itu disampaikan, Kiai Hasyim Asy’ari seketika memegangi kepalanya sambil berdzikir menyebut nama Allah SWT: “Masyaallah, Masyaallah!” lalu pingsan tak sadarkan diri. Hadhratussyekh mengalami pendarahan otak setelah diperiksa. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah.
Utusan Panglima Besar Soedirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya Malang tidak sempat ditemui oleh Hadhratussyekh. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan 25 Juli 1947, Hadharatussyekh KH Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhir.
Atas pelbagai fakta itu, Muhammad Asad Syahab menulis buku berjudul Allāmah Muhammad Hasyim Asy’ari Wādhiu Libnati Istiqlāli Indonesia (1971). Dalam buku tersebut diterangkan betapa peran Kiai Hasyim Asy’ari demikian besar dalam memperjuangkan kemerdekaan sehingga ia layak diberi gelar sebagai peletak dasar kemerdekaan Indonesia.
Tentu saja perjuangan besar KH Hasyim Asy’ari dalam memerdekakan bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran ulama-ulama lainnya, termasuk puteranya sendiri, KH Abdul Wahid Hasyim (w. 1953). Sehingga pada tahun 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang menetapkan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
KH Hasyim Asy’ari ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 17 November 1964 melalui Keppres Nomor 294 Tahun 1964. Sedangkan KH Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 24 Agustus 1964 melalui Keppres Nomor 206 Tahun 1964. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar