Redup
Gelora Jiwa Merdeka
Oleh:
Yudi Latif
Gelora
jiwa merdeka bangsa ini terasa meredup. Percikan api semangatnya bahkan tak
lagi berpijar kuat pada peringatan hari kemerdekaan. Spontanitas rakyat untuk
memeriahkan ruang publik dengan kibaran bendera dan umbul-umbul, kerlip lampu
hias, aneka festival dan karnaval solidaritas multikultural terasa lebih
senyap. Harapan kesemarakan tinggal mengandalkan inisiatif Istana, yang
merencanakan peringatan yang spektakuler, sebagai rekaan impresi permukaan
dengan jiwa yang kosong.
Saat
ritus tahunan pesta patriotik kerak- yatan ini menghambar, yang merebak di
ruang publik adalah aneka skandal, pengangkatan pejabat tinggi tanpa parameter
ideologis-yuridis, gaya kepremanan pembesar negara dalam meredam gugatan
publik, akrobat elite politik tuna-etika, serta panen raya gunjingan dan caci
maki di media sosial. Suatu suasana yang mengajarkan warga untuk tidak
memercayai siapa pun.
Kelesuan
semangat kemerdekaan ini pantas dirisaukan. Meski terlihat hanya ritus biasa,
kandungan maknanya tak bisa disepe- lekan. Dalam momen ini, sekat kelas, etnis,
dan agama lebur melahirkan horizontal comradeship dan nasionalisme kerakyatan.
Di sinilah kekuatan khas Indonesia. Peringatan kemerdekaan dirayakan oleh
berba- gai bangsa di dunia, tetapi (biasanya) tingkat kemeriahan dan keluasan
partisipasinya nyaris tak ada yang menandingi Indonesia. Ini karena perjuangan
kemerdekaan Indonesia tak hanya melibatkan elite lewat gelanggang politik dan
diplomasi, tetapi juga menyertakan tembang, puisi, bambu runcing, dan air mata
rakyat semesta.
Konsekuensi
tak terduga dari kebijakan penjajahan Jepang yang memobilisasi rakyat hingga ke
perdesaan dalam rangka Perang Asia Timur Raya telah memberi kesempat- an dalam
pembentukan bangsa ini untuk bertransformasi dari kesadaran kebangsaan elitis
menuju kebangsaan kerakyatan. Inilah yang membuat rakyat negeri ini, betapa pun
terus dikhianati dan dikorbankan para pemimpinnya, tetap saja mencintai
bangsanya.
Upacara
seperti ini sangat penting untuk merajut kembali bangun retak kebangsaan.
Sebuah bangsa terbentuk karena jaringan memori kolektif yang menimbulkan
bayangan imajiner tentang kerabat sebangsa. Ingat- an dan pengetahuan ke
belakang merupakan jangkar penemuan jati diri bangsa. Kenyataan dan perilaku
kita hari ini ditentu- kan oleh pengenalan sejarah masa lampau. Adapun bayangan
kesilaman dan pengetahuan kesejarahan dibawa dan dijaga oleh upacara
peringatan.
”Upacara
peringatan,” kata Paul Connerton (1989), ”akan benar-benar bersifat komemoratif
jika berbentuk pergelaran; dan pergelaran ini tak terbayangkan tanpa konsep
kebiasaan; adapun kebiasaan tak terba- yangkan tanpa praktik olah tubuh
(tampilan fisik), seperti cara berbusana, dekorasi, dan cara bertingkah.”
Dengan demikian, kemeriahan pesta rakyat dalam memperingati kemerdekaan, dengan
segala pergelarannya, bersifat konstruktif untuk menambatkan kembali bangsa
pada jangkar jati dirinya.
Namun,
segala bentuk peringatan akan memperoleh kepenuhan maknanya jika mengandung
dimensi korektif: menyelami (tradisi) masa lalu untuk menemukan (visi) masa
depan. Dalam konteks ini, upacara peringatan merupakan ruang ”sela” (liminal)
yang memberi kita kesempatan untuk jeda dari rutinitas demi melahirkan energi
baru.
Upacara
peringatan sebagai titik liminal ini diharapkan jadi momen reflektif bagi se-
genap bangsa; dari mana kita bermula, di mana kita sekarang, dan hendak menuju
ke mana, dengan menginsafi kesalahan dan penyimpangan untuk kembali ke fitrah
kemuliaannya sebagai bangsa. Selepas peringatan, diharapkan terjadi restorasi
etos dan etika kebangsaan dengan komitmen luhur untuk menggelorakan semangat
proklamasi.
”Semangat
proklamasi,” ujar Bung Karno, ”adalah semangat rela berjuang, berjuang
mati-matian dengan penuh idealisme. Semangat proklamasi adalah semangat
persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu
golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat membangun negara. Dan
mana kala sekarang ada tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih
semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat
proklamasi!”
Untuk
menghidupkan kembali semangat proklamasi diperlukan para pahlawan. Mereka yang
terus-menerus memproduksi pahala dengan menyemai kebaikan bagi kemaslahatan
hidup bersama. Mereka yang lebih suka berbicara dengan ”kata kerja”, demi
merealisasikan tujuan bernegara (yang juga diungkapkan dalam kata kerja):
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban
dunia.
Kenyataan
bahwa peringatan kemerdeka- an tahun ini seperti dihambarkan oleh pergelaran
pertarungan kuasa mengindikasikan ada ketercerabutan pilihan-pilihan elitis
dari realitas aspirasi dan jati diri bangsa. Politik yang sejatinya merupakan
seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum bergeser jadi
seni meraih kekuasaan dengan memanipulasi rakyat.
Peringatan
kemerdekaan harus menjadi wahana untuk menguatkan kembali komitmen kebangsaan.
Segala pertengkaran harus menemukan jalan kembali ke semangat rela berjuang,
semangat persatuan, dan semangat membangun negara demi meraih cita-cita
proklamasi: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. []
KOMPAS,
16 Agustus 2016
Yudi Latif | Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar