Isu
Kritikal Dunia Muslim (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Sejak
berakhirnya Perang Dunia II, agaknya masa satu dasawarsa terakhir Dunia Muslim
dapat dikatakan tengah menghadapi periode paling penuh gejolak.
Berbagai
bentuk krisis muncul dan terus bertahan; menimbulkan masalah-masalah sulit baik
di wilayah satu negara (atau beberapa negara) Muslim dan di bagian-bagian dunia
lain-katakan Dunia Barat, khususnya Eropa.
Lihatlah
satu masalah saja. Kekacauan politik dan kekerasan yang terus berlanjut di
Libya, Suriah, Irak, dan Afghanistan membuat jutaan orang di masing-masing
negara menjadi pengungsi lokal (displaced
people) dan ratusan ribu-jika tidak jutaan pula-menjadi pengungsi (refugees) di banyak negara
Eropa.
Sebagian
mereka-dalam jumlah lebih terbatas-ditampung di Australia dan AS misalnya.
Banyak mereka yang mencoba mengungsi dan menjadi migran di negara-negara Barat
itu tidak pernah sampai dengan selamat.
Mereka
tenggelam di Laut Tengah sebelum mencapai pulau-pulau tertentu di selatan
Yunani atau Turki. Atau meninggal dalam perjalanan darat. Tapi isu
kritikal-yang menimbulkan keadaan kritis-di banyak wilayah Dunia Islam lebih
dari sekadar jutaan warga Muslim yang terhempas dan terkandas baik di negeri mereka
sendiri maupun di wilayah dunia lain.
Terdapat
sejumlah isu kritikal lain menyangkut peningkatan: (1), instabilitas politik,
ekonomi, dan sosial; (2), sektarianisme politik, budaya dan agama; dan (3),
konflik internal dan eksternal.
Isu-isu
kritikal itu menjadi tema pokok pembahasan 'Konsultasi Tindak Lanjut Asian
Muslim Action Network (AMAN) Pasca-Assembly' yang diselenggarakan di Bangkok
(30-31 Juli 2016).
Dengan
tema utama "The Critical Issues and Challenges Faced by the Muslim World
from Within and Beyond" konsultasi melibatkan aktivis LSM tidak hanya
Muslim, tapi juga non-Muslim. Selain dari negara-negara Asia Tenggara, beberapa
peserta juga datang dari Jerman, Mesir, Pakistan, Bangladesh, dan Srilanka.
Memberikan
orasi kunci dalam Konsultasi AMAN, penulis Resonansi ini diminta berbicara
tentang penyebab dan dampak ekstrimisme, sektarianisme dan fobia Islam yang
menunjukkan gejala peningkatan. Lalu tentang cara-cara mengatasinya guna menuju
pembentukan masyarakat inklusif.
Lagi-lagi
peningkatan ekstrimisme dan sektarianisme di kalangan masyarakat Muslim dan
penguatan fobia Islam di lingkungan masyarakat Barat merupakan satu lagi
masalah kritikal yang dihadapi Dunia Muslim dewasa ini.
Isu
kritikal ini jelas tidak berdiri sendiri; sebaliknya terkait dengan sejumlah
isu kritikal lain yang ada di antara negara-negara Dunia Muslim. Tak kurang
pentingnya, berbagai isu kritikal itu terkait dengan realitas dan dinamika
sejarah masing-masing negara Muslim, khususnya sejak selesainya Perang Dunia
II.
Berakhirnya
Perang Dunia II memberikan kesempatan bagi banyak wilayah di Dunia Muslim untuk
mewujudkan kemerdekaan. Tetapi kemerdekaan dari penjajahan Eropa tidak serta
merta dapat menghasilkan kemajuan dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial,
budaya dan agama.
Sebaliknya
ada sejumlah faktor historis yang bekerja mengarahkan perkembangan dan dinamika
sejarah masyarakat dan negara Muslim tertentu ke arah tertentu apakah positif
atau negatif.
Sejauh
ini ada berbagai faktor dominan yang mengarahkan negara atau masyarakat Muslim
ke arah perkembangan tidak menguntungkan bagi Islam dan kaum Muslimin secara
keseluruhan.
Faktor
pertama adalah bangkitnya kekuasaan otoriter-baik sipil maupun militer-di
banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim. Keadaan ini bisa terlihat di
Indonesia dengan Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan Presiden Soekarno sejak
1959 sampai 1965.
Keadaan
yang sama juga terjadi Mesir dengan Nasserisme dalam masa Presiden Mayor
Jenderal Gamal Abdel Nasser, yang berkuasa melalui kudeta penumbangan monarki
pada 1956 sampai wafat pada 1970.
Baik
Demokrasi Terpimpin maupun Nasserisme masing-masing menampilkan otoritarianisme
sipil dan militer. Keadaan yang sama juga terjadi di banyak negara Muslim lain
sejak dari Pakistan, Irak, Suriah, Tunisia dan Libya.
Perkembangan
ini kian tidak kondusif dengan adopsi ideologi yang tidak selalu bersahabat
dengan agama-dalam hal ini Islam. Ini terlihat pada ideologi Baathisme di Irak
dan Suriah atau sekularisme-Kemalisme di Turki yang dipertahankan dengan cara
apapun oleh militer-khususnya kudeta demi kudeta.
Karena
itu, baik rezim yang berkuasa maupun ideologi negara tidak bersahabat dengan
agama (religiously
unfriendly). Semua keadaan ini menjadi alasan pokok (raison d'etre) organisasi
dan kelompok Muslim tertentu-yang kini populer disebut sebagai
'Islamis'-berusaha menumbangkan rezim dan mengganti ideologi negara dengan cara
apapun, termasuk kekerasan yang lazim disebut non-state terrorism.
Rezim
penguasa tak jarang pula melakukan kekerasan atau state-sponsored terrorism.
Indonesia dalam konteks itu sedikit lebih beruntung dibandingkan negara-negara
Muslim lain yang disebutkan di atas.
Indonesia
memiliki Pancasila sebagai dasar atau ideologi negara, yang bisa disebut
sebagai bersahabat dengan agama (religiously
friendly basis of the state). []
REPUBLIKA,
04 Agustus 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar