Perjuangan Tanpa
Pamrih dari Para Guru Ngaji (2)
Judul
: Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam (Jilid 2)
Editor
: Abi S Nugroho, Hamzah Sahal
Penerbit
: Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Tebal
: xviii +
316 halaman
Cetakan
: I, Desember 2015
Peresensi
: Fathoni Ahmad, Pengajar di
STAINU Jakarta.
Pendidikan sebagai
instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa tentu tidak akan berjalan jika
kalkulasinya selalu materi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa mewujudkan
kesejahteraan guru, khususnya di lingkungan pendidikan Islam harus diperhatikan
betul, baik oleh pemerintah maupun masyarakat terkait.
Hadirnya buku jilid
kedua tentang kisah para ngaji berjudul Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para
Pejuang Pendidikan Islam Jilid 2 ini bisa menjadi inspirasi bagi para guru dan
pengambil kebijakan bahwa di berbagai pelosok daerah banyak ‘mutiara terpendam’
yang masih butuh sentuhan kebijakan meski perjuangan mereka tanpa pamrih. Buku
kedua yang juga diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag
RI ini berusaha menjangkau lebih luas lagi tentang kisah para guru ngaji.
Jika di jilid pertama
banyak memotret para guru ngaji di daerah pulau Jawa, dalam buku kedua yang
diberi Epilog oleh pendidik dan sastrawan Madura KH D. Zawawi Imron ini lebih
banyak memotret guru ngaji di luar Pulau Jawa seperti Aceh, Mataram, Manado,
Pontianak, hingga Papua. Terhitung dari jumlah total 29 kisah guru ngaji dalam
buku ini, 17 tulisan berasal dari luar pulau Jawa sisanya dari Pulau Jawa.
Kendati demikian,
baik para guru ngaji yang berasal dari Jawa dan luar Jawa tidak ada bedanya
dalam sisi perjuangan mewujudkan pendidikan yang ramah dan murah. Potret
perjuangan yang penuh dengan kesederhanaan inilah yang terus dilakukan oleh
para pejuang tersebut. Meski proses pembelajaran dilakukan dengan sarana dan
prasarana yang belum memadai, mereka tetap berupaya mencetak generasi emas dan
berakhlak mulia seperti yang menjadi misi pendidikan Islam.
Dalam buku yang
ditulis oleh para penulis muda dengan pendekatan jurnalistik sastrawi ini,
berbagai tulisan inspiratif dihadirkan untuk menyampaikan bahwa keterbatasan
dana, dukungan, sarana, dan lain-lain tidak mengurangi sedikit pun semangat
untuk terlibat aktif mencerdaskan dan menyiapkan para generasi berkualitas dari
berbagai aspek ilmu dan keterampilan. Apalagi dewasa ini pendidikan Islam terus
menjelma menjadi ruh di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Jika ditarik benang
merah, perjungan para guru ngaji yang dikisahkan secara apik dalam buku ini
berangkat dari keprihatinan mereka terhadap generasi anak bangsa yang makin
jauh dari nilai-nilai moralitas. Sebut saja guru bernama Husnul Khatimah
(halaman 267) yang disebut dalam buku ini sebagai Tjut Nyak Dien. Ia secara
nyata membangun lembaga pendidikan Islam yang bernama Taman Pendidikan
Masyarakat (TPM) “Tanyoe” di Desa Lambirah, Aceh Besar dengan biaya dari uang
beasiswanya sendiri saat ia masih kuliah di UIN Ar-Raniry Aceh.
Begitu pun dengan
guru ngaji bernama Bastiah (halaman 167) yang mengabdikan dirinya dalam membina
TPQ di desanya, Klirong, Kecamatan Tanggulangin, Kebumen, Jawa Tengah. Ia
prihatin dengan berbagai perilaku premanisme di desanya sehingga bagi dia,
penanaman nilai-nilai agama penting bagi generasi muda terutama anak-anak.
Selain TPQ di Masjid, ia juga membuka pengajian di rumahnya. Pendidikan maraton
ia jalani tiap hari yakni selesai mengajar di TPQ Masjid, ia lanjutkan
membimbing anak-anak yang kerap sudah menunggu di rumahnya. Latar belakang
menjadi TKI tidak membuatnya surut untuk membangun pendidikan Islam. Justru
keputusannya menjadi TKI tidak terlepas untuk mewujudkan cita-cita mulianya.
“Ya Allah, saya berangkat ingin mencukupi anak-anak yang ngaji. Perjuanganku Ya
Allah,” Bastiah mengingat doanya.
Teladan lain dalam
buku setebal 316 halaman ini hadir dari Ustadz Abdul Haris Sholeh (halaman
199). Guru Madrasah Diniyah di Desa Kebandungan, Kecamatan Bantarkawung,
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini menjalani aktivitas mendidiknya disambi
menekuni ternak kerbau lumpurnya. Berdasarkan semangat untuk membangun lembaga
yang pendidikan Islamnya itu, Ustadz Haris secara serius mengelola
peternakannya itu sehingga dapat juga memberdayakan masyarakat
sekitarnya.
Luar biasanya lagi,
dia mampu membesarkan usaha ternaknya sehingga mendapat pengahargaan dari
Bupati. Dari perjuangannya inilah Bupati mengusulkan Ustadz Haris menjadi
Pelestari Sumber Daya Genetik (SDG) Kerbau Lumpur Tingkat Provinsi Jawa Tengah.
Pria kelahiran Brebes, 12 Juni 1980 ini dinilai layak karena telah terbukti
mendukung program Swasembada Daging Sapi/Kerbau tahun 2015 dengan menjunjung
tinggi kearifan lokal.
Tentu kisah-kisah
inspiratif lain dari 29 para pejuang pendidikan Islam bisa diteguk dalam buku
ini. Yang perlu ditekankan dalam perjuangan mereka adalah bahwa kerja-kerja
kultural seperti yang dikisahkan dalam buku ini tidak bisa dikalahkan oleh
kerja-kerja politik dengan pendekatan kekuasaan dan uang. Perjuangan mereka
adalah pembelajaran yang mewah karena berangkat dari ketulusan hati yang tidak
ada tandingannya. Sebab itu, tidak jarang generasi yang muncul menjadi
berkualitas secara akhlak karena berangkat dari keikhlasan jiwa.
Tentu kisah dalam
buku ini hanya sebagian kecil dari praktik yang tumbuh secara luas di
masyarakat. Buku ini hanya berupaya menggambarkan ‘sebutir’ dan ‘sebongkah’
berlian yang bertebaran di berbagai pelosok dan sudut desa. Potret ini tidak
serta merta ingin mengajak para pihak-pihak terkait untuk melakukan hal serupa,
tetapi ingin memberikan ungkapan perjuangan kepada para pendidik lain dan para
pengambil kebijakan agar keberadaan mereka juga perlu mendapat perhatian
sebagai bagian dari elemen pencerdas generasi anak bangsa. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar