Kamis, 11 Agustus 2016

(Buku of the Day) Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam (Jilid 2)



Perjuangan Tanpa Pamrih dari Para Guru Ngaji (2)
 

Judul                : Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam (Jilid 2)
Editor              : Abi S Nugroho, Hamzah Sahal
Penerbit            : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Tebal                : xviii + 316 halaman
Cetakan            : I, Desember 2015
Peresensi          : Fathoni Ahmad, Pengajar di STAINU Jakarta.

Pendidikan sebagai instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa tentu tidak akan berjalan jika kalkulasinya selalu materi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa mewujudkan kesejahteraan guru, khususnya di lingkungan pendidikan Islam harus diperhatikan betul, baik oleh pemerintah maupun masyarakat terkait.

Hadirnya buku jilid kedua tentang kisah para ngaji berjudul Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam Jilid 2 ini bisa menjadi inspirasi bagi para guru dan pengambil kebijakan bahwa di berbagai pelosok daerah banyak ‘mutiara terpendam’ yang masih butuh sentuhan kebijakan meski perjuangan mereka tanpa pamrih. Buku kedua yang juga diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI ini berusaha menjangkau lebih luas lagi tentang kisah para guru ngaji.

Jika di jilid pertama banyak memotret para guru ngaji di daerah pulau Jawa, dalam buku kedua yang diberi Epilog oleh pendidik dan sastrawan Madura KH D. Zawawi Imron ini lebih banyak memotret guru ngaji di luar Pulau Jawa seperti Aceh, Mataram, Manado, Pontianak, hingga Papua. Terhitung dari jumlah total 29 kisah guru ngaji dalam buku ini, 17 tulisan berasal dari luar pulau Jawa sisanya dari Pulau Jawa.

Kendati demikian, baik para guru ngaji yang berasal dari Jawa dan luar Jawa tidak ada bedanya dalam sisi perjuangan mewujudkan pendidikan yang ramah dan murah. Potret perjuangan yang penuh dengan kesederhanaan inilah yang terus dilakukan oleh para pejuang tersebut. Meski proses pembelajaran dilakukan dengan sarana dan prasarana yang belum memadai, mereka tetap berupaya mencetak generasi emas dan berakhlak mulia seperti yang menjadi misi pendidikan Islam.

Dalam buku yang ditulis oleh para penulis muda dengan pendekatan jurnalistik sastrawi ini, berbagai tulisan inspiratif dihadirkan untuk menyampaikan bahwa keterbatasan dana, dukungan, sarana, dan lain-lain tidak mengurangi sedikit pun semangat untuk terlibat aktif mencerdaskan dan menyiapkan para generasi berkualitas dari berbagai aspek ilmu dan keterampilan. Apalagi dewasa ini pendidikan Islam terus menjelma menjadi ruh di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Jika ditarik benang merah, perjungan para guru ngaji yang dikisahkan secara apik dalam buku ini berangkat dari keprihatinan mereka terhadap generasi anak bangsa yang makin jauh dari nilai-nilai moralitas. Sebut saja guru bernama Husnul Khatimah (halaman 267) yang disebut dalam buku ini sebagai Tjut Nyak Dien. Ia secara nyata membangun lembaga pendidikan Islam yang bernama Taman Pendidikan Masyarakat (TPM) “Tanyoe” di Desa Lambirah, Aceh Besar dengan biaya dari uang beasiswanya sendiri saat ia masih kuliah di UIN Ar-Raniry Aceh. 

Begitu pun dengan guru ngaji bernama Bastiah (halaman 167) yang mengabdikan dirinya dalam membina TPQ di desanya, Klirong, Kecamatan Tanggulangin, Kebumen, Jawa Tengah. Ia prihatin dengan berbagai perilaku premanisme di desanya sehingga bagi dia, penanaman nilai-nilai agama penting bagi generasi muda terutama anak-anak. Selain TPQ di Masjid, ia juga membuka pengajian di rumahnya. Pendidikan maraton ia jalani tiap hari yakni selesai mengajar di TPQ Masjid, ia lanjutkan membimbing anak-anak yang kerap sudah menunggu di rumahnya. Latar belakang menjadi TKI tidak membuatnya surut untuk membangun pendidikan Islam. Justru keputusannya menjadi TKI tidak terlepas untuk mewujudkan cita-cita mulianya. “Ya Allah, saya berangkat ingin mencukupi anak-anak yang ngaji. Perjuanganku Ya Allah,” Bastiah mengingat doanya.

Teladan lain dalam buku setebal 316 halaman ini hadir dari Ustadz Abdul Haris Sholeh (halaman 199). Guru Madrasah Diniyah di Desa Kebandungan, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini menjalani aktivitas mendidiknya disambi menekuni ternak kerbau lumpurnya. Berdasarkan semangat untuk membangun lembaga yang pendidikan Islamnya itu, Ustadz Haris secara serius mengelola peternakannya itu sehingga dapat juga memberdayakan masyarakat sekitarnya. 

Luar biasanya lagi, dia mampu membesarkan usaha ternaknya sehingga mendapat pengahargaan dari Bupati. Dari perjuangannya inilah Bupati mengusulkan Ustadz Haris menjadi Pelestari Sumber Daya Genetik (SDG) Kerbau Lumpur Tingkat Provinsi Jawa Tengah. Pria kelahiran Brebes, 12 Juni 1980 ini dinilai layak karena telah terbukti mendukung program Swasembada Daging Sapi/Kerbau tahun 2015 dengan menjunjung tinggi kearifan lokal.

Tentu kisah-kisah inspiratif lain dari 29 para pejuang pendidikan Islam bisa diteguk dalam buku ini. Yang perlu ditekankan dalam perjuangan mereka adalah bahwa kerja-kerja kultural seperti yang dikisahkan dalam buku ini tidak bisa dikalahkan oleh kerja-kerja politik dengan pendekatan kekuasaan dan uang. Perjuangan mereka adalah pembelajaran yang mewah karena berangkat dari ketulusan hati yang tidak ada tandingannya. Sebab itu, tidak jarang generasi yang muncul menjadi berkualitas secara akhlak karena berangkat dari keikhlasan jiwa. 

Tentu kisah dalam buku ini hanya sebagian kecil dari praktik yang tumbuh secara luas di masyarakat. Buku ini hanya berupaya menggambarkan ‘sebutir’ dan ‘sebongkah’ berlian yang bertebaran di berbagai pelosok dan sudut desa. Potret ini tidak serta merta ingin mengajak para pihak-pihak terkait untuk melakukan hal serupa, tetapi ingin memberikan ungkapan perjuangan kepada para pendidik lain dan para pengambil kebijakan agar keberadaan mereka juga perlu mendapat perhatian sebagai bagian dari elemen pencerdas generasi anak bangsa. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar