Jakarta, Jawa, dan Indonesia
Oleh: Salahuddin Wahid
Setiap Idul Fitri kita disuguhi peristiwa menarik sekaligus
menyedihkan. Peristiwa itu adalah arak-arakan kendaraan di jalan tol yang mudik
dari Jakarta yang mengalami kemacetan amat parah. Bahkan tahun 2015 terjadi dua
kali kemacetan parah, yaitu pada Idul Fitri dan Natal.
Menjelang mudik Idul Fitri 2016, pemerintah tampak optimistis
masalah kemacetan akan teratasi karena jalan tol sudah selesai sampai Brebes.
Ternyata, mudik 2016 menyuguhkan situasi yang amat tragis: antrean panjang
terjadi di beberapa pintu tol. Perjalanan Jakarta ke Yogyakarta ditempuh lebih
dari 24 jam.
Antrean panjang itu menyebabkan kemacetan luar biasa sehingga
sejumlah warga meninggal akibat kelelahan dan sulit mencapai rumah sakit karena
jalan sudah macet. Pemerintah berjanji di masa depan akan mengevaluasi apa yang
terjadi dan akan memperbaikinya. Menurut pemerintah, kalau jalan tol
Trans-Jawa selesai, kemacetan akan dapat diatasi. Apakah itu realistis atau
sekadar harapan?
Jakarta adalah magnet
Kemacetan saat mudik adalah akibat jumlah pemudik amat besar dan
berlangsung saat bersamaan. Lebih dari 500.000 kendaraan dari Jakarta mudik ke
arah timur menggunakan jalan tol. Terkonsentrasinya kendaraan dalam jumlah
besar di Jakarta adalah akibat terkonsentrasinya kegiatan ekonomi,
pemerintahan, dan aspek lain di Jakarta. Mengomentari dominasi Jakarta itu,
sebuah majalah luar negeri pada 1980-an menulis: Indonesia terbagi dua, Jakarta
dan sisanya.
Sekitar 70 persen dari jumlah uang beredar di Indonesia terpusat
di Jakarta. Sebagian besar perusahaan besar dan terkemuka di Indonesia kantor
pusatnya di Jakarta. Perusahaan yang semula punya kantor pusat di provinsi lain
terpaksa pindah ke Jakarta karena perlakuan berbeda, termasuk dalam jumlah
kredit yang bisa diterima. Penyanyi dan band serta bintang film yang ingin
kariernya meningkat banyak yang pindah ke Jakarta. Politisi juga bisa
menapak karier dengan baik kalau dia berkiprah di Jakarta.
Jumlah kendaraan baru yang terjual tiap tahun kebanyakan juga di
Jakarta. Tidak heran jika hampir semua jalan di Jakarta mengalami kemacetan
amat parah pada jam kerja, bahkan pada jalan tertentu hingga larut malam.
Jumlah kendaraan yang mudik juga bertambah setiap tahun. Jadi, kemacetan di
pintu tol ke kota-kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih akan terus terjadi
walaupun jalan tol sudah sampai di Banyuwangi.
Masalah utama Jawa adalah jumlah penduduk yang amat besar. Pada
Sensus 2010, jumlahnya mencapai 136 juta. Dengan tingkat pertambahan penduduk
sekitar 1,4 persen per tahun, jumlah penduduk di Pulau Jawa kini mencapai
sekitar 146 juta. Kota-kota di Pulau Jawa sambung-menyambung, berbeda dengan
kondisi di Sumatera, apalagi di Kalimantan dan Papua.
Selain masalah kemacetan, jumlah penduduk yang banyak itu akan
menimbulkan dampak negatif dalam aspek lingkungan. Kesalahan kebijakan
pembangunan memicu kehancuran daya dukung Pulau Jawa sehingga penduduk Jawa
berada pada tingkat risiko bencana tertinggi. Data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) membuktikan, 52 persen bencana terjadi di Jawa.
Kita kerap mendengar berita tentang banjir dan longsor di Purworejo, Kebumen,
Banjarnegara, dan sejumlah tempat lain. Dalam kurun 2002-2016, jumlah korban
meninggal 12.191 jiwa dan terluka 203.354 orang.
Menurut ahli geologi Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta,
Eko Teguh Paripurno, pembangunan saat ini tidak mempertimbangkan daya dukung
lingkungan, bahkan melemahkannya. Ini meningkatkan risiko bencana. Pemberian
izin industri ekstraktif di Jawa, terutama industri pertambangan, menunjukkan
bahwa paradigma pembangunan masih eksploitatif. Jawa seharusnya moratorium
tambang karena daya dukung ekologinya sudah terlampaui.
Secara keseluruhan, Indonesia surplus air, tetapi Jawa, Bali, Nusa
Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami defisit. Dari
data neraca air pada 2003, total kebutuhan air di Jawa, Bali, NTB, dan NTT
adalah 38,4 miliar meter kubik. Defisit ini diperkirakan akan semakin tinggi
pada masa mendatang ketika jumlah penduduk dan kegiatan perekonomian semakin
meningkat.
Potensi sumber daya air di Indonesia diperkirakan 15.000 meter
kubik per kapita per tahun, jauh lebih tinggi daripada potensi rata-rata
pasokan dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun. Pada 1930,
Pulau Jawa masih mampu memasok 4.700 meter kubik per kapita per tahun.
Diperkirakan pada 2020, total potensinya tinggal 1.200 meter kubik per kapita
per tahun, di mana hanya 35 persen yang layak secara ekonomis untuk
dikelola.
Pengembangan luar Jawa
Untuk mengatasi masalah di atas, pengembangan wilayah di luar Jawa
jadi kunci. Data menunjukkan, 70 persen kawasan industri berada di Jawa,
terbanyak ada di Jawa Barat (45 persen). Kawasan industri di luar Jawa hanya
terpusat di sebagian kecil wilayah, seperti Riau, Kepulauan Riau, dan
Kalimantan Timur. Kendala untuk memindahkan industri ke luar Jawa ialah
kurangnya infrastruktur. Tak hanya jalan-pelabuhan, juga pasokan listrik dan
jaringan energi.
Selain itu, masalah lain ialah ketersediaan tenaga kerja bermutu
dalam jumlah memadai. Ini berarti, kita harus menyediakan pendidikan bermutu
secara merata di sejumlah wilayah di luar Jawa. Tentu tidak bisa dilupakan
adanya pelayanan kesehatan yang memadai di luar Jawa.
Pertambahan penduduk Jawa tiap tahun mencapai 2 juta. Dalam
beberapa puluh tahun ke depan, penduduk Jawa mencapai 200 juta, suatu jumlah
yang melampaui daya dukungnya. Apalagi diperkirakan bahwa pada 2050, jumlah
daratan Jawa akan berkurang secara berarti akibat meningkatnya tinggi permukaan
air laut. Harus ada kebijakan untuk memindahkan penduduk Jawa dalam jumlah
besar.
Untuk mengatasi begitu banyak masalah besar dan bersifat mendesak
tersebut, diperlukan langkah terintegrasi. Karena uang beredar di Jakarta
terlalu besar dan Jakarta adalah magnet yang amat kuat, perlu dipertimbangkan
memindahkan ibu kota ke luar Jawa. Pilihan utama ialah Kalimantan, yang luasnya
lebih empat kali Jawa. Jumlah penduduknya pun 14 juta-15 juta.
Pemindahan ibu kota itu bisa jadi pemicu untuk mengurangi beban
Pulau Jawa, sekaligus mengembangkan luar Jawa yang selama 70 tahun ini
belum sempat kita lakukan. Pemindahan ibu kota adalah sesuatu yang lazim
terjadi di banyak negara. AS memindahkannya dari New York ke Washington DC,
Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, Brasil dari Rio
de Janeiro ke Brasilia. Jepang dari Kyoto ke Tokyo.
Pemindahan ibu kota adalah pekerjaan raksasa yang harus
direncanakan dengan baik dan cermat. Tentu apa yang dikemukakan di atas akan
membutuhkan dana yang amat besar. Sumber utama tentu pajak dan pendapatan
negara bukan pajak. Banyak pihak, termasuk sejumlah pejabat di Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) berpendapat bahwa peningkatan pajak bisa dilakukan kalau
pemerintah memang serius. Termasuk memberi kewenangan lebih besar kepada DJP
dan menempatkan lembaga perpajakan di luar Kementerian Keuangan dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden.
Kalau kita bisa melakukan upaya di atas dengan baik, judul tulisan
ini tentu akan berubah. Dari "Jakarta, Jawa, dan Indonesia" menjadi
"Indonesia, Jawa, dan Jakarta".
Artinya, kepentingan Indonesia adalah yang utama, lalu kepentingan
Jawa, dan baru terakhir kepentingan Jakarta. Bukan sebaliknya, seperti terkesan
dari judul tulisan di atas. []
KOMPAS, 11 Agustus 2016
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar