Hukum Sambut Kiai atau
Pejabat dengan Shalawat dan Nyanyian Religius Daerah
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami
hormati, dalam kesempatan ini kami akan menanyakan hal yang sering kita jumpai
ketika kedatangan seorang tokoh seperti kiai, pejabat, atau mubaligh yang
hendak mengisi acara pengajian. Mereka biasa disambut dengan shalawatan atau
nyanyian daerah. Yang ingin kami tanyakan adalah bagaimana hukumnya? Atas
penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Irman – Solo
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah selalu menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Kami banyak menjumpai di pelbagai daerah komunitas muslim ketika ada seorang mubaligh bahkan pejabat tertentu datang disambut dengan shalawatan yang diiringin rebana. Tradisi menyambut tamu yang dianggap istimewa sepanjang yang kami pahami adalah lebih merupakan ekspresi kegembiraan atas kedatangannya.
Hal ini sebagaimana yang berdendang ria mendengarkan musik pada saat datangnya kegembiraan yang diperbolehkan, seperti pada hari hari raya Idul Fitri atau Adha, kembalinya orang yang bepergian jauh, kelahiran seorang anak dan lain sebagainya. Semua ini menurut Abu Hamid Al-Ghazali adalah diperbolehkan.
اَلْخَامِسُ
السِّمَاعُ فِي أَوْقَاتِ السُّرُورِ تَأْكِيدًا لِلسُّرُورِ وَتَهْيِيجًا لَهُ
وَهُوَ مُبَاحٌ إِنْ كَانَ ذَلِكَ السُّرُورُ مُبَاحَا كَالْغِنَاءِ فِي أَيَّاِم
الْعِيدِ وَفِي الْعُرْسِ وَفِي وَقْتِ قُدُومِ الْغَائِبِ وَفِي وَقْتِ
الْوَلِيمَةِ وَالْعَقِيقَةِ وَعِنْدَ وِلَادَةِ الْمَوْلُودِ وَعِنَدَ خِتَانِهِ
وَعِنْدَ حِفْظِهِ الْقُرْآنَ الْعَزِيزَ وَكُلُّ ذَلِكَ مُبَاحٌ لِأَجْلِ
إِظْهَارِ السُّرُورِ بِهِ
Artinya, “Kelima, mendengarkan lagu di waktu gembira karena menguatkan dan membuatnya lebih bergairah. Hal itu hukumnya adalah mubah sepanjang kegembiraan tersebut mubah misalnya mendengarkan lagu saat hari raya, walimatul ‘ursy, kembalinya orang yang bepergian, saat walimah, aqiqah, kelahiran bayi, dan selesai hafal Al-Qur`an. Semunya boleh karena untuk menampakkan kegembiraan dengannya,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya` Ulumiddin, Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa tahun, juz II, halaman 277).
Selanjutnya Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan alasan kebolehannya. Menurutnya, bahwa dari lagu-lagu ada yang membuat bahagia, gembira, dan suka cita, sehingga setiap hal yang boleh bergembira dengannya maka boleh membangkitkan kegembiraan padanya.
وَوَجْهُ
جَوَازِهِ أَنَّ مِنَ الْأَلْحَانِ مَا يُثِيرُ الْفَرْحَ وَالسُّرُورَ
وَالطَّرْبَ فَكُلُّ مَا جَازَ السُّرُورُ بِهِ جَازَ إِثَارُهُ السُّرُورَ فِيهِ
Artinya, “Alasan kebolehannya adalah sungguh dari lagu-lagu ada yang membuat bahagia, gembira, dan suka cita, sehingga setiap hal yang boleh bergembira dengannya maka boleh membangkitkan kegembiraan padanya,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya` Ulumiddin, Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa tahun, juz II, halaman 277).
Lebih lanjut Abu Hamid mendasarkan pandangannya tersebut pada dalil naqli yang menyatakan bahwa ketika Rasulullah saw datang ke kota Madinah, beliau disambut oleh para wanita kota tersebut dengan dendangan thala‘al badru ‘alaina, wajabas syukru ‘alaina, ma da‘a lillahi da’.
Ini semua adalah bentuk ekspresi kegembiraan masyarakat Madinah atas kedatangan Rasulullah SAW. Jelas ini adalah kegembiraan terpuji, karenanya menampakkan kegembiraan dengan mendendangkan sya’ir, nyanyian maupun tarian gerakan yang baik adalah terpuji juga. Dengan catatan dilakukan untuk menyambut hal-hal yang diperbolehkan.
وَيَدُلُّ
عَلَى هَذَا مِنَ النَّقْلِ إِنْشَادُ النِّسَاءِ عَلَى السُّطُوحِ بِالدُّفِّ
وَالْأَلْحَانِ عِنْدَ قُدُومِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا ... مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ، وَجَبَ الشُّكْرُ
عَلَيْنَا ... مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعٍ.
فَهَذَا
إِظْهَارُ السُّرُورِ لِقُدُومِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَهُوَ
سُرُورٌ مَحْمُودٌ فَإِظْهَارُهُ بِالشِّعْرِ وَالنَّغَمَاتِ وَالرَّقْصِ
وَالْحَركَاتِ أَيْضًا مَحْمُودٌ
Artinya, “Dalil naqli yang menunjukkan hal ini adalah bernyanyinya beberapa perempuan di atas loteng dengan terbang dan berbagai lagu saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW di Madinah: thala‘al badru ‘alaina, min tsaniyyatil wada`, wajabas syukru ‘alaina, ma da’a lillahi da’ (telah hadir Rasulullah SAW yang laksana bulan purnama kepada kita, dari arah Tsaniyah al-Wada`, kita wajib bersyukur, selama pendo’a berdo’a kepada Allah). Hal tersebut merupakan ekspresi kegembiraan karena kedatangan beliau, dan merupakan kegembiraan yang terpuji, sehingga menampakkannya dengan syai’ir, lagu-lagu, goyangan, dan pelbagai gerakan (yang baik) adalah terpuji juga,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya` Ulumiddin, Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa tahun, juz II, halaman 277).
Jika penjelasan di atas itu ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka hukum menyambut kedatangan kiai atau pejabat publik yang memang diharapkan dan ditunggu-tunggu kedatangannya adalah diperbolehkan.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar