Nasib
Profesor Indonesia (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Presiden
Jokowi pekan lalu (18/8/2016) dilaporkan media massa tertentu sebagai ‘marah
besar’. Penyebab ‘kemarahan’ Presiden itu adalah karena masih adanya
orang-orang Indonesia berprestasi yang justru dimanfaatkan bangsa lain.
Presiden
menyatakan: “Profesor kita di Amerika Serikat ada 74, pintar-pintar itu. Saya
belum bicara [ada berapa] di China, di Jepang…Saya tidak mau yang
berprestasi…justru tidak kita ambil, tak dimanfaatkan, justru digunakan oleh
negara lain”.
Untuk
itu, Presiden Jokowi berencana memulangkan orang-orang berprestasi [profesor]
di AS itu; mereka akan diminta mengabdi di Papua.
Jokowi
mengharap mereka—sudah 24 orang yang dihubungi—selain akan membantu Universitas
Cendana dan Universitas Papua, juga mengembangkan pusat riset padi di Meurake,
Papua.Jelas, profesor dan dosen Indonesia juga tidak hanya mengajar
dan bermukim di Amerika. Mereka juga cukup banyak mengajar dan melakukan
riset di berbagai universitas Australia, Inggris, Prancis dan negara-negara
Eropa lain. Juga cukup mudah menemukan gurubesar—termasuk yang sudah
emeritus—dan dosen Indonesia yang mengajar di pelbagai universitas di Malaysia
dan Singapura.
Presiden
Jokowi benar. Para gurubesar, dosen dan tenaga ahli lain sangat dibutuhkan
Indonesia dalam pembangunan berbagai bidang. Negeri ini rugi jika keahlian
mereka justru dimanfaatkan negara lain sehingga menciptakan brain-drain,
pengeringan otak pintar. Jika mereka kembali, Indonesia mendapat brain-gain,
perolehan otak pintar. Indonesia rugi dengan adanya profesor dan dosen yang
mengajar di negara lain, karena pemerintah telah mensubsidi mereka sejak TK,
pendidikan
dasar,
menengah sampai S1 atau bahkan S2. Meski kebanyakan mereka menyelesaikan studi
S2 dan S3 dengan dana beasiswa negara atau universitas asing tempat mereka
belajar, Indonesia tetap saja mengalami kerugian.
Menurut
data AMINEF/Fulbright sekitar 95 persen mahasiswa Indonesia yang berhasil
menyelesaikan program S2 dan/atau S3-nya di Amerika kembali ke Tanah Air.
Tingkat kembalinya ke Tanah Air (return
rate) orang Indonesia yang tamat di Amerika, paling tinggi
dibandingkan mereka yang berasal dari negara lain.
Sisanya,
jelas cukup banyak; di antara mereka ada yang memutuskan mengajar dan menetap
di AS—yang menurut Jokowi sekitar 74 profesor. Banyak pula di antara mereka
yang menekuni berbagai pekerjaan profesional lain di perusahan dan/atau lembaga
riset pemerintah dan swasta.
Kenapa
tetap saja ada orang Indonesia yang kemudian memilih menjadi profesor atau
dosen di berbagai universitas di Amerika atau bekerja di sektor lain ; tidak
kembali ke Indonesia? Banyak faktor, antara lain; gaji yang relatif besar;
jenjang karir yang jelas dan adil (fair);
otonomi dan kebebasan mengajar dan berkarya akademis; dan
fasilitas anggaran riset dan saranamemadai untuk berkarya.
Dilihat
dari segi ini, menjadi pertanyaan besar apakah para profesor yang mengajar di
berbagai tempat di luar negeri, bersedia ikhlas kembali ke Tanah Air?
Apakah idealisme belaka untuk membangun negeri cukup menjadi faktor penarik (pull factor) bagi mereka
meninggalkan tempat mereka bekerja di negara lain untuk kemudian mengabdi di
Papua atau di tempat-tempat lain di Tanah Air yang memerlukan akselarasi
pendidikan tinggi dan pembangunan.
Jawabannya
agak bernada skeptis dan pesimistis. Karena itu, Presiden Jokowi boleh
bersiap-siap untuk kecewa jika harapannya tadi tidak terpenuhi.
Kemungkinan
kekecewaan Presiden Jokowi itu berdasarkan kenyataan—atau sedikitnya,
kecenderungan—bahwa Profesor Indonesia (bersama dosen yang belum mencapai
derajat tertinggi ini) agaknya merupakan kelompok ahli dalam dunia kepengajaran
dan riset menghadapi karir dan kehidupan kian sulit. Dengan berbagai macam
kesulitan yang mengandung ketidakpastian masa depan, gurubesar dan
dosen yang kini mengajar di luarnegeri agaknya mesti berpikir berkali-kali
sebelum mengambil keputusan.
Kesulitan-kesulitan
gurubesar dan dosen di Indonesia bersumber dari berbagai kebijakan
birokratisasi yang dikeluarkan pemerintah—dalam hal ini
Kemenristek-Dikti—terhadap Profesor alias gurubesar yang hari demi hari semakin
membelenggu. Dengan belenggu yang kian ketat itu, nampaknya semakin sulit bagi
para profesor dan dosen lain bisa melepaskan diri; mereka terlihat pasrah
belaka.
Tidak
banyak Profesor yang cukup berani menyatakan penolakan mereka terhadap berbagai
kebijakan tersebut. Tidak juga rektor-rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN),
apalagi pimpinan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Semuanya memilih diam; jika
bersuara, paling menggerutu di belakang. Menjadi profesor atau dosen kini dapat
dikatakan tidak nyaman.
Kebanyakan
mereka bekerja dengan dibayangi tetek bengek kewajiban administratif dan teknis
yang hampir tidak terkait dengan dunia keilmuan ilmiah dan akademik. Semua ini
bersumber dari kebijakan atau pernyataan pejabat Kementerian yang bernada
ancaman yang bagi sebagian Profesor dan dosen lain disebut sebagai
‘intimidasi’. []
REPUBLIKA,
25 Agustus 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar