Erdogan Vs Gulen, Bencana Politik Bagi Turki (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Karena tidak sepenuhnya paham peta politik Turki kontemporer, saya
upayakan merujuk kepada pandangan intelektual publik Turki yang
sudah punya nama dunia: DR. Mustafa Akyol (1972--). Sebegitu jauh penulis
ini terkesan sangat kritikal terhadap rezim Erdogen yang autotitarian
yang mempercayai teori persekongkolan dan apresiatif terhadap Gulen dan
jaringan global Hizmet-nya.
Di antara karya Akyol yang banyak dibaca berjudul Islam
Without Extremes: A Muslim Case for Liberty (New York-London: W.W. Norton &
Company, 2013), tebal 302 halaman plus catatan akhir dan indeks. Akyol
adalah seorang intelektual dan penulis prolifik dari kelompok Muslim moderat.
Terus terang saya terkaget membaca artikel Mustafa Akyol yang
dirilis pada 18 Juli 2016 dengan judul: “Should Gulen face trial for
Turkish coup attempt?” Akyol menulis: “…sebagian teori persekongkolan
ternyata benar, sebagaimana terbukti dalam komplotan kudeta itu sendiri.
Lagi pula, masalah Gulenis tidak saja nyata, tetapi membawa maut, seperti
ditunjukkan oleh kejadian dalam beberapa hari yang lalu.” Dalam
artikel ini, Akyol telah berubah sikap, bukan untuk membela Erdogen, tetapi
ingin menyingkapkan sisi gelap dari gerakan Gulenis. Apa pula itu?
Ikuti penjelasan berikut ini: “Gerakan Gulen punya ratusan ribu
anggota, yang tampaknya percaya bahwa mantan da’i masjid itu
memiliki sejumlah bimbingan dan kearifan ketuhanan. Orang-orang dari
kelompok dalam memberi tahu saya pribadi bahwa mereka melihatnya [Gulen]
sebagai ‘seorang terpilih’—Imam Mahdi, versi Islam tentang konsep ramalan
(the messiah concept).” Kepercayaan tentang tokoh penyelamat (ratu adil)
ini terdapat dalam berbagai unit peradaban. Biasanya muncul saat krisis
berat yang menimpa sebuah bangsa. Yang sulit difahami, Turki di bawah Erdogen
telah mencatat kemajuan ekonomi dan pendidikan yang sangat berarti. Tetapi
mengapa kepercayaan tehadap ratu adil ini justru juga muncul?
Akyol melanjutkan: “Kepercayaan ini menyebabkan komunitas menjadi
sangat ketat dengan ketaatan penuh kepada Gulen. Tidak ada ruang
sedikit pun untuk menenggang perbedaan pendapat, apalagi mengeritik.” Kita
tidak tahu, apakah Gulen punya sikap dasar demikian, atau semuanya
ini dibentuk oleh kultur yang berkembang kemudian di kalangan pengikutnya
di lingkungan sufisme yang memang kuat dalam masyarakat Turki
selama berabad-abad, sejak masa Jalal al-Din Rumi abad ke-13.
Akyol menjelaskan lebih jauh: “…sekiranya pengikut Gulen hanyalah
semata-mata membangun sekolah, lembaga-lembaga amal kebaikan,
dan organisasi-organisasi LSM (lembaga swadaya masyarakat) di seantero
dunia—yang demikian terlihat kasusnya selayang pandang—tentu tidak
ada masalah…saya pun simpati terhadap mereka. Tetapi, sebagaimana banyak
kejadian, anekdot, dan laporan jurnalistik menunjukkan, pengikut
Gulen punya sisi gelap: adanya organisasi rahasia mereka dalam negara,
sebuah proyek yang telah berjalan selama beberapa dasa warsa dengan tujuan membangun
kontrol birokratik atas negara…Inilah sebenarnya latar belakang komplotan
kudeta pada hari Jumat itu.”
Jika semuanya itu yang sebenarnya terjadi, maka ”…Gulen harus
dihadapkan kepada pengadilan, dan untuk tujuan ini pemerintah Amerika harus
memulangkannya ke Turki,” tulis Akyol. Saya pun tidak mau beri komentar tentang
hubungan Turki-Amerika ini, tetapi itulah pendapat Akyol dalam artikel di
atas.
Sebagai seorang yang sungguh berharap agar Erdogen bersedia
berfikir ulang untuk tidak bersikap sewenang-wenang atas matan sekutunya,
demi menghindari Turki dari bencana politik yang lebih besar dan dalam
lagi, yang bisa melumpuhkan pembangunan jangka panjang bagi bangsa dan
negara itu. []
REPUBLIKA, 09 Agustus 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar