Pesantren dan Dunia
Kecil Bernama Ciputat
Judul
: Dari Pesantren untuk Dunia: Kisah-kisah Inspiratif Kaum Santri
Editor
: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Edisi
: Pertama
Tahun Terbit
: 2016
Penerbit
: Prenada Media
Group
Peresensi
: Muhammad Nida’ Fadlan, Peneliti PPIM UIN Jakarta dan Alumnus Pesantren
Buntet, Cirebon
Kajian mengenai
pesantren kini tidak lagi terjebak pada dikotomi tradisional dan modern.
Fenomena labelisasi agama dan ‘revolusi mental’ yang melahap hampir semua isu
kebangsaan telah menggiring pesantren bertransformasi menjadi entitas sosial
yang tetap layak untuk dikaji. Martin van Bruinessen, Indonesianis asal
Belanda, bahkan pernah membuktikan bahwa pesantren mampu menjadi lembaga
pendidikan yang adaptif terhadap laju modernisasi.
Nurcholish Madjid
pernah memberikan analisis bahwa tahun 2020 merupakan saat kebangkitan kaum
santri, yang seringkali disebut sebagai kalangan tradisionalis itu. Analisis
tersebut didasarkan pada tumbuhnya generasi santri yang meraih pendidikan
tinggi sehingga akan mengimbangi eksistensi kalangan modernis yang lebih dulu
mengenyam pendidikan tinggi.
Namun kebangkitan itu
tidak diperoleh serta-merta. Sejak dulu, progresivitas gerakan dan pemikiran
kaum santri seringkali dianggap sebagai ancaman bagi segelintir pihak. Dalang
pembantaian pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan isu dukun santet pada
tahun 1998 adalah tudingan-tudingan negatif yang telah didapatkan oleh kalangan
pesantren sejak masa lampau.
Kondisi di masa kini
juga masih belum jauh berbeda. Pesantren sebagai properti layak jual bagi
kepentingan politis, pesantren sebagai penyemai paham radikalisme, hingga
penggunaan narkoba di kalangan pesantren adalah isu terkini yang menjadi
trending topic masyarakat kita.
Dalam konteks
pendidikan juga tidak kalah pelik. Pada masa lalu, lulusan pesantren dianggap
tidak memiliki legalitas sehingga mereka tidak berhak untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang universitas. Kini, kaum santri bisa bernafas lega setelah
pemerintah mengakui pesantren penyelenggara pendidikan keagamaan terutama
setelah lahirnya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Jauh sebelum
terbitnya undang-undang tersebut, tahun 1980an dapat disebut sebagai permulaan
proses kebangkitan kaum santri. Pada masa tersebut pemerintah dan dunia global
mulai melirik kaum santri sebagai bagian penting pengembangan bangsa. Lulusan
pesantren mulai diberi jalan untuk menempuh pendidikan tinggi baik di dalam
maupun di luar negeri.
Laku hidup kaum
santri memang terlihat getir bagi para periset. Namun bagi para penulis buku
ini, kehidupan ‘kaum sarungan’ adalah sebuah pembuktian bahwa pesantren tidak
identik dengan keterbelakangan dan prediksi tentang masa depan yang suram.
Dari Pesantren untuk
Dunia menyajikan tujuh belas tulisan mengenai pengalaman hidup para santri yang
kini menjadi dosen dan peneliti di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Karya ini bukan kajian yang serius dan akademik, namun
buku ini diprediksi mampu menunjukkan peran dan kontribusi kaum santri dalam
perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia.
Buku ini ditulis oleh
para dosen-santri yang telah mengalami pergulatan dalam merasakan manisnya
hasil perjuangan yang diperoleh dari dalam pesantren. Atas hasil jerih payahnya
itu, mereka merasa memiliki hutang kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.
Mereka menyadari betul akan harapan bangsa yang disandarkan pada pundaknya.
Singkatnya, buku ini
ditulis sebagai bentuk kepedulian terhadap pengembangan pendidikan masyarakat
Indonesia. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta secara rutin menghasilkan tokoh
intelektual muslim berkaliber internasional mulai dari Harun Nasution,
Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, hingga Komaruddin Hidayat. Hal ini tidak
dapat dilepaskan dari peran strategis lembaga ini sebagai laboratorium yang
menghasilkan generasi kaum santri sehingga menjadi intelektualis muslim yang
berwawasan global.
Ciputat adalah rumah
kedua bagi mereka bahkan dapat dikatakan sebagai pesantren kedua setelah mereka
lulus dari pesantren yang sebenarnya. Seperti halnya pesantren yang adaptif dan
progresif, Ciputat juga selalu berkemas menjawab tantangan modernisasi.
Para dosen-santri ini
seolah ingin mengatakan pada kalangan pesantren bahwa para santri harus
memiliki cita-cita yang mulia, menggapai pendidikan yang tinggi, dan tidak
melupakan jatidirinya sebagai pembelajar yang sabar. Kesabaran dan cita-cita
inilah yang mampu menghantarkan para penulis meraih pendidikan maksimal di
tingkat doktor (S3) bahkan beberapa diantaranya menjadi profesor dan pernah
menduduki jabatan strategis di negara ini. Dari pesantren dan Ciputat yang
terbelakang, kini mereka muncul sebagai tokoh-tokoh berwibawa dalam menghadapi
derasnya tantangan modernisasi dunia.
Akhirnya, buku ini
seolah ingin menegaskan kebenaran prediksi Nurcholish Madjid di atas. Kaum
santri kini mulai diperhitungkan sebagai elemen masyarakat yang mampu
memberikan pengaruh bagi sekitarnya. Kebangkitan ini akan terus berjalan dan
berharap tidak kembali menjadi terpuruk.
Ringan dan santai ala
novel menjadi karakter penulisan buku ini. Bagi mereka yang ingin berkenalan,
belajar mencintai, dan bernostalgia dengan dunia pesantren sangat disarankan
untuk membaca buku ini.
Pesantren dulu, kini,
dan nanti masih akan tetap menjadi pesantren yang sebenarnya. Selamat membaca!
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar