Isu
Kritikal Dunia Muslim (2)
Oleh:
Azyumardi Azra
Kemunculan
dan bertahannya rezim otoritarian di banyak negara Dunia Muslim sampai
munculnya gelombang demokrasi menjelang akhir 1990 di Indonesia dan akhir 2010
di Dunia Arab menimbulkan instabilitas politik berkepanjangan.
Konflik
dan kekerasan antara kelompok warga dengan aparat negara seolah tidak pernah
berakhir sampai sekarang. Gelombang demokrasi di Indonesia berikut krisis
moneter, ekonomi, dan politik pada 1997-1998 menumbangkan kekuasaan
otoritarianisme Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Selanjutnya,
transisi Indonesia menuju demokrasi berlangsung relatif lancar, sehingga
Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi ketiga di dunia atau negara Muslim
terbesar di jagad raya atau sedikitnya, negara dengan penduduk Muslim terbanyak
di muka bumi.
Sebaliknya,
gelombang demokrasi yang mulai melanda Dunia Arab sejak akhir 2010 di Tunisia
yang kemudian menyebar ke Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah terbukti tidak
memberi banyak harapan. Sebaliknya, dalam perkembangannya militer kembali ke
puncak kekuasaan di Mesir.
Sementara,
instabilitas baru muncul di Yaman dan lebih parah lagi di Syria sehingga
kemudian memunculkan ISIS. Dengan demikian, politik tidak stabil yang penuh
konflik dan kekerasan antarwarga atau antara warga dengan aparat negara tetap
menjadi isu kritikal di banyak negara Muslim di Timur Tengah dan juga di Asia
Selatan-Afghanistan, Pakistan, dan Bangladesh.
Keadaan
yang sama juga terjadi di Afrika; di negara berpenduduk mayoritas Muslim
seperti Sudan, Nigeria atau Somalia. Dengan instablitas politik berkelanjutan,
banyak negara Muslim gagal memperbaiki ekonomi masing-masing.
Mereka
tidak mampu memenuhi janji kemerdekaan untuk perbaikan ekonomi dan
kesejahteraan warga. Akibatnya, rezim-rezim yang berusaha melakukan pembangunan
dan modernisasi (modernizing regimes) kian kehilangan kredibilitas dan
legitimasi.
Keadaan
ini makin meningkatkan ketidakpuasan, konflik, dan kekerasan. Di antara
negara-negara Muslim itu hanya Indonesia dan Malaysia yang relatif berhasil
dalam pembangunan ekonominya. Menerapkan semacam soft authoritarianism yang menjadikan
stabilitas nasional sebagai salah satu prioritas utama, Presiden Soeharto
berhasil memajukan kehidupan ekonomi dan sosial-budaya, khususnya pendidikan.
Keberhasilan
ini menjadi salah satu faktor penting yang dapat meredam ketidakpuasan dan
gejolak warga. Sejumlah negara Muslim diberkahi kekayaan minyak dan gas seperti
Arab Saudi, negara-negara Teluk Persia [Teluk Arab], Libya, Nigeria, dan juga
Indonesia.
Tetapi
jelas, kekayaan alam ini tidak digunakan secara bijak untuk meningkatkan
kualitas SDM atau mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan kaum Muslim di
banyak negara. Bonanza minyak sebaliknya digunakan untuk proyek mercusuar
seperti bisa disaksikan di Arab Saudi dan negara-negara Teluk.
Dalam
pada itu, negara semacam Nigeria mengalami keadaan yang sering disebut 'kutukan
minyak' (oil curse). Minyak tidak membawa berkah, sebaliknya konflik dan
kekerasan. Indonesia tidak sempat terlanda 'kutukan minyak' karena produksi
minyaknya terus merosot sehingga kini menjadi net importer.
Minyak
kini tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pemasukan negara. Harga minyak
yang terus merosot dalam beberapa tahun terakhir membuat Arab Saudi dan
negara-negara Teluk mengalami defisit anggaran serius.
Akibatnya,
Saudi misalnya harus meminjam dana besar dari lembaga keuangan internasional.
Isu-isu kritikal dalam bidang politik dan ekonomi menimbulkan isu kritikal lain
dalam kehidupan sosial-keagamaan.
Berhadapan
dengan keadaan kian memburuk terdapat makin kalangan warga kehilangan
kesabaran, sehingga kian cepat dan mudah terjerumus ke dalam aksi kekerasan dan
teror. Keadaan kian tidak kondusif ini berakumulasi dengan peningkatan
sektarianisme agama, kabilah, suku, politik dan sosial-budaya.
Meningkatnya
sektarianisme juga terkait erat dengan munculnya semangat bernyala-nyala yang
didorong keyakinan tentang 'revivalisme Islam' (Islamic revivalism) bahwa abad 15 Hijriyah
adalah 'abad kebangkitan Islam'.
Semangat
'kebangkitan Islam' yang bernyala-nyala ini terbukti membakar segelintir Muslim
untuk dengan cepat melakukan takfir terhadap kaum Muslim lain-biasanya arus
utama mayoritas. Kelompok takfiri juga gemar melakukan hijrah-memisahkan diri
dari kaum Muslimin lain.
Mereka
selanjutnya melakukan kekerasan dan teror atas nama 'jihad' yang telah
diselewengkan dari makna dan ketentuan yang dirumuskan para ulama otoritatif.
Dalam keadaan seperti itu, di banyak negara Dunia Islam tidak ada organisasi
Islam yang dapat menjadi penyuara dan pembela Islam rahmatan lil'alamin-Islam
damai yang merupakan rahmat bagi alam semesta.
Akibatnya
sektarianisme takfiri seolah mendominasi wacana dan praksis Islam. Tak kurang
pentingnya, ketiadaan ormas Islam yang sekaligus merupakan organisasi
masyarakat madani berbasis Islam, membuat absennya kekuatan penengah dalam
kontestasi dan pertarungan politik.
Keadaan
ini membuat kontestasi, konflik dan kekerasan meruyak tanpa bisa
dihentikan. []
REPUBLIKA,
11 Agustus 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar