Rabu, 24 Agustus 2016

Keberanian Entong Gendut Betawi Melawan Abtenar Belanda



Keberanian Entong Gendut Betawi Melawan Abtenar Belanda

Pada momentum ulang tahun kota Jakarta yang ke 489 ini, ada baiknya rubrik fragmen kali ini mengangkat salah satu pahlawan Betawi bernama Entong Gendut (tidak diketahui nama aslinya) yang barangkali nama ini tidak setenar pahlawan Betawi lainnya seperti si Pitung misalnya yang begitu terkenalnya hingga menjadi semacam cerita rakyat. Tokoh kita kali ini benar-benar nyata, bukan sekadar cerita rakyat apalagi dongeng. Cerita ini telah ditulis oleh ahli sejarahwan kondang Sartono Kartodirjo dalam bukunya Protest Movements in Rural Java sebagaimana dikisahkan kembali oleh Goenawan Mohammad dalam catatan pinnggirnya edisi 24 Februari 1979.

Dahulu di Condet, Betawi, terkenal seorang laki-laki pemberani yang dikenal dengan nama Entong Gendut. Dialah yang memimpin rakyat Condet melawan kesewenang-wenangan wedana dan mantri polisi kala itu. Sikapnya ini dilatari karena Entong Gendut trenyuh dan prihatin ketika suatu ketika menyaksikan salah satu rumah petani dibakar habis oleh tuan tanah.

Diceritakan pada zaman itu, yaitu di dasawarsa pertama abad ke-20, tuan tanah begitu serakahnya. Oleh sebuah peraturan gebernemen di tahun 1912, tuan tanah sering mengadukan ke landrad para petani yang gagal membayar cukai kepadanya. Dan tuan tanah di desa Condet di sub-distrik Pasar Rebo ini sangat getol dalam membikin perkara. Akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya dijual, atau tak jarang dibakar. Beberapa insiden dan konflikpun terjadi pada waktu itu antara lain:

Insiden pertama terjadi di Bulan Februari 1916. Menurut keputusan landrad di Meester Cornelis 14 Mei 1914, pak tani Taba dari Batu Ampar harus membayar 7.20 gulden ditambah ongkos perkara. Tanggal 15 bulan itu pak tani Taba diperingatkan, kalau tidak bisa bayar, yang berwajib akan menyita miliknya.

Rakyat dan para tetangga pak Taba marah atas perlakuan demikian. Mereka berkumpul di kebon Jaimin di sebelah utara, ketika para yang berwajib datang untuk melaksanakan hukuman. Maksud kerumunan itu taka laian ialah untuk mencegah nasib buruk yang sudah dijatuhkan kepada pak Taba. Dan Entong Gendut juga hadir di situ. Tapi walaupun mereka telah berteriak-teriak, memaki-maki dan berdoa, tetap saja tak berhasil menggagalkan eksekusi hukuman yang menimpa pak Taba.

Insiden kedua terjadi di depan Villa Nova, rumah nyonya besar Rollinson yang memiliki tanah di Cililitan Besar. Saat itu malam tanggal 15 April, sedang ada pertunjukan topeng. Tapi suasana sudah panas. Ketika sore tadi tuan tanah dari tanjung Oost, Ament, naik mobilnya lewat jembatan, ia dilempari batu. Dan ternyata ketika pertunjukan topeng menuju jam 11 malam, terdengar teriakan teriakan yang meminta acara supaya dihentikan. Perintah atau inisiatif penghentian pertunjukan topeng tersebut  datang dari Entong genudut. Rakyat patuh dan akhirnya mereka bubaran dengan tenang.  

Mengetahui pertunjukan topeng distop, wedana menjadi marah. Dia kemudian menyuruh orang memanggil Entong Gendut supaya menghadapnya di Meester Cornelis. Ketika mantri polisi dan demang datang ke Batu Ampar, mereka dapatkan Entong Gendut di rumahnya dikelilingi kawan-kawannya. Ketika Entong Gendut ditanya kenapa ia berani menghentikan pertunjukan topeng, laki-laki itu menjawab: "Demi agama". Ia hendak mencegah perjudian. Selain itu, Ia menjelaskan betapa selama ini rakyat dibebani utang dan rumah mereka dijual atau dibakar, sementara polisi Cuma membantu tuan tanah dan orang Belanda.

Mendengar penuturan Entong Gendut di atas, Mantri polisi dan demang merasa bahwa Entong Gendut sudah kurang ajar, tapi pada saat itu juga mereka tak berani, sebab Entong sudah siap nampaknya.

Tanggal 9 April 1916, ada info yang memberitahu para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis, bahwa banyak orang berkumpul di rumah Entong Gendut. Sepucuk surat rupanya telah dikirim Entong Gendut kepada demang agar demang menghapap "si Raja Muda" yaitu tidak lain Entong Gendut sendiri.

Hari Ahad dan Seninnya wedana menjadi sibuk. Ia sendiri kemudian yang memimpin patroli. Dengan diiringi sepasukan polisi, ia menuju ke rumah Entong Gendut. Rumah itu pun lalu dikepung. Wedana berteriak supaya entong keluar. Entong menjawab ia akan keluar setelah selesai shalat. Dan ketika ia keluar membawa tombak serta kerisnya, ia mengatakan bahwa dirinya raja. Ia tak tunduk pada hukum apa pun dan termasuk tak tunduk pada hukum Belanda. Para pengikutnya pun berteriak menyatakan mereka tidak takut. Akhirnya Pertempuranpun terjadi. Wedana berhasil ditangkap rakyat. Tapi tak lama kemudian bantuan datang dan akhirnya Entong Gendut mati.

Demikian kisah Entong Gendut, seorang warga yang tidak tega menyaksikan rakyat tertindas oleh kebijakan pemerintah kolonial waktu itu dan hingga dirinya mati dalam rangka aksi protes dan menentang peraturan tidak manusiawi oleh penjajah kolonial beserta segenap pegawai pribumi yang mengabdi pada pemerintah kolonial Belanda.

Artikel ini kami sadur dari buku kumpulan catatan pinggir Goenawan Moehammad, Grafiti Pres, Jakarta: 2006.

(M. Haromain)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar